Intan POV
Ketika helikopter itu mengudara, jantungku semakin berdebar tidak karuan. Aku memejamkan mataku di pelukan Mas Ricko. Mas Ricko membelai puncak kepalaku seraya tersenyum. Aku menatap wajah tampannya dan tatapan mata kami bertemu.
“Lihatlah ke bawah … “ ucapnya padaku.
Aku menggelengkan kepalaku. Aku takut untuk melihat ke bawah dari ketinggian yang tidak bisa kuhitung berapa kilometer dari tanah. Kemudian Mas Ricko meyakinkanku dan mengatakan bahwa pemandangan di sana sangat indah. Aku pun akhirnya penasaran dan mencoba untuk melihat keadaan di bawah sana, dan benar saja. Aku melihat banyak lampu kerlap-kerlip yang sangat indah di bawah sana. Ini pertama kalinya aku melihat suasana kota dari udara. Aku tercengang dan takjub melihat betapa indahnya suasana malam ini.
Setelah 30 menit mengudara karena muter-muter dulu sebelum mendarat supaya puas naiknya, begitu kata Mas Ricko, kini helikopter itu mendarat di atap sebuah gedung yang sangat tinggi. Aku berpikir dan rasanya aku pernah ke gedung ini. Akhirnya aku pun mengingatnya, ini adalah gedung hotel milik Mas Ricko.
Mas Ricko membantuku melepas sabuk pengaman dan headphone di kepalaku. Ia turun terlebih dahulu setelah itu ia mengulurkan tangannya padaku. Aku pun menerima uluran tangannya dan turun dari helikopter itu pelan-pelan. Ia menggandeng tanganku berjalan di atap gedung itu lalu masuk ke sebuah pintu dan menuruni tangga. Aku memandangnya dengan puluhan pertanyaan di kepalaku. Dia pun memandangku dengan tersenyum lembut.
Kami berjalan beriringan dengan aku memeluk lengannya. Hingga tibalah kami di depan sebuah pintu dengan seorang pegawai wanita di depan pintu itu. Saat melihat kami datang, wanita itu membukakan pintu untuk kami dengan menundukkan kepalanya sopan. Mas Ricko mengajakku masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan itu gelap, aku semakin bingung. Sebenarnya ada acara apa? Hatiku bertanya-tanya.
Ketika Mas Ricko menjentikkan jarinya, tiba-tiba lampu menyala dengan terangnya. Aku menyipitkan mataku karena silau. Setelah aku membuka mataku dengan benar, aku pun tertegun melihat betapa indahnya dekorasi ruangan itu. Aku mengangkat kedua telapak tanganku untuk menutupi mulutku yang menganga karena terkejut.
Di tengah ruangan itu ada sebuah meja makan dengan dua kursi yang saling berhadapan. Bunga mawar bertebaran di kanan kiri sisi jalan yang akan kami lewati, baunya harum sekali. Mas Ricko mengajakku berjalan di atas karpet merah menghampiri meja itu dan menarik kursi itu mundur supaya aku bisa duduk di sana. Setelah itu Mas Ricko duduk di kursi yang berada di seberangku.
Tidak lama kemudian, seorang pelayan laki-laki masuk membawa sebuah nampan tertutup yang bisa dibilang ukurannya tidak besar dan tidak kecil juga. Setelah menaruh nampan itu di atas meja, pelayan itu berlalu pergi meninggalkan kami.
“Happy birthday sayang … “ ucap Mas Ricko tiba-tiba seraya tersenyum padaku.
Aku pun terkejut. Lagi-lagi aku menutupi mulutku yang menganga dengan kedua telapak tanganku. Aku baru ingat kalau hari ini hari ulang tahunku. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk mengerjakan tugas-tugas ospekku, sehingga aku lupa bahwa hari ini aku berulang tahun. Tiba-tiba dadaku terasa sesak dan berat. Mataku berkaca-kaca. Aku terharu dengan kejutan yang Mas Ricko berikan padaku. Seumur hidupku, baru kali ini ada seseorang yang merayakan ulang tahunku, biasanya aku hanya mentraktir makan sahabat-sahabatku makan di kantin sekolah. Orang tuaku pun tidak pernah ingat kapan aku berulang tahun sehingga mereka tidak pernah merayakannya.
“Selamat ulang tahun yang ke 19 tahun istriku … “ ucap Mas Ricko seraya menghampiriku dan mengecup keningku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya air mata yang mengalir di pipiku yang bisa mewakili perasaan bahagiaku saat ini. Aku tersenyum menatapnya.
“Terima kasih Mas … “ ucapku dengan berlinang air mata. Ia pun berjongkok dan mengusap air mataku dengan ibu jarinya dengan lembut.
Setelah itu Mas Ricko berdiri dan membuka penutup nampan itu, ternyata isinya nasi tumpeng mini. Baunya sangat sedap, tiba-tiba cacing di dalam perutku meronta-ronta minta makan.
Mas Ricko pun memberikan pisau padaku dan aku memotong tumpeng mini itu. Aku menaruh potongan tumpeng itu pada sebuah piring yang berada di atas meja. Setelah itu aku menyendok nasi itu dan memasukkan suapan pertama itu ke dalam mulutku sendiri. Sedangkan Mas Ricko sudah membuka mulutnya lebar-lebar, mungkin ia mengira aku akan menyuapinya. Aku pun tersenyum menahan tawa. Kulihat Mas Ricko cemberut dan melirik sedih padaku. Aku kembali menyendok nasi itu dan mengarahkannya ke mulut Mas Ricko, tapi ia tidak mau membuka mulutnya. Karena aku sudah terlalu lapar, aku mengarahkan sendok itu ke mulutku sendiri, tapi tiba-tiba Mas Ricko memegang tanganku dan mengarahkan sendok itu ke arah mulutnya. Aku tersenyum, ternyata dia hanya pura-pura ngambek padaku.
Karena votenya kenceng, chapter ini lebih panjang dari kemarin. Kalau tidak percaya silakan dihitung. Hehe.????
Terima kasih banyak untuk yang sudah like, vote, dan komen positif. ????