Di hadapan singa emas, Han Sen tidak ada bedanya dengan semut. Bahkan raja cacing batu emas dalam wujud terbesarnya hanyalah binatang mungil bagi singa itu.
Dengan terkejut, Han Sen bersiap mundur. Saat dia berputar arah, dia merasa merinding dan hampir menjerit.
Dari arah dia datang, ribuan makhluk raksasa yang seperti makhluk yang dimakan singa itu berlari ke arah mereka. Langkah mereka hampir bagaikan gemuruh, membuat seluruh lembah bergetar. Perhatian Han Sen terganggu oleh singa emas yang menelan monster yang dia ikuti, dan tidak menyadari gerombolan itu sampai di sini.
Gerombolan itu hanya berada dua atau tiga mil dari Han Sen. Dengan kecepatan mereka, mereka akan sampai sebentar lagi. Han Sen menoleh ke sekeliling dan menemukan bahwa dia dikelilingi oleh tebing curam, dan satu-satunya jalan keluar dihalangi oleh singa emas raksasa.
Han Sen menggertakkan gigi dan mengeluarkan jiwa binatang berubah warnanya, berencana untuk bersembunyi di dinding gunung. Jika dia tidak bergerak terlalu cepat, tidak ada makhluk yang menyadarinya.
Saat Han Sen mau mendaki, dia menyadari awan hitam menutupi langit. Jika dilihat dengan seksama, awan hitam itu sebenarnya terdiri dari burung hitam besar dengan sayap selebar 20 kaki. Gerombolan burung itu menempati puncak gunung, mata mereka tertuju pada apa yang terjadi di bawahnya.
Burung memiliki daya penglihatan terbaik di antara para makhluk. Jika Han Sen tetap diam, perubah warna mungkin mampu mengelabui mereka. Akan tetapi jika dia mulai mendaki, akan ada jeda tertentu yang akan menonjolkan dirinya. Han Sen merasa sangat sedih dan merutuk, "Siapa bedebah yang mengatakan ada beberapa makhluk di sini? Mereka semua bertindak secara berkelompok!"
Han Sen kehabisan waktu. Gerombolan makhluk hampir tiba, dan di tebing pegunungan yang kosong tidak ada tempat sembunyi untuknya. Bahkan jika dia berdiri berpegangan pada dinding gunung, dia tidak yakin dia akan selamat dihimpit oleh banyak monster.
Dia juga tidak berani mendaki dengan adanya para burung yang menonton. Puncak gunung diselimuti oleh para burung, dan dia tidak yakin dia bisa kabur dari jutaan mata.
Tiba-tiba, Han Sen berlari ke arah singa emas.
Meskipun singa emas jelas ribuan kali lebih kuat dari gerombolan itu, dia juga lebih besar sampai-sampai Han Sen hanyalah serangga di matanya.
Dengan menggunakan perubah warna, singa emas tidak akan menyadari Han Sen.
Bukannya mengambil resiko mendaki tebing gunung, Han Sen memutuskan menjajal peruntungannya dengan singa emas. Para burung tidak akan berani mendekati singa, jadi dia bisa bersembunyi di balik bulunya dan kabur saat ada kesempatan.
Dia mencoba bergerak ke arah singa emas, yang tidak memperhatikannya. Namun, burung-burung di pegunungan di dekatnya mengepakkan sayap dan berkoar. Jelas, mereka telah melihatnya.
Banyak burung yang menukik untuk menerkamnya. Han Sen tidak ragu lagi dan berlari ke arah singa emas, yang merupakan satu-satunya cara untuk selamat.
Han Sen mulai menyesal. Dia merasa terlalu berpuas diri akhir-akhir ini. Mengetahui bahwa Pegunungan Naga Giok sangat berbahaya, dia masih berpikir dia bisa selalu aman dengan kemampuannya.
Sudah terlambat untuk menyesal. Han Sen Cuma berdoa agar singa emas tidak menanggapinya dengan serius.
Mungkin doanya berhasil. Singa emas tidak menyadari Han Sen sama sekali, tapi terganggu oleh burung-burung yang mengincarnya.
Singa itu mengayunkan kakinya dan menghancurkan salah satu burung tersebut, yang menjadi cemilannya.
Burung-burung lainnya terbang pergi sambil memekik, dan tidak lagi berani mengejar Han Sen, yang berada di samping kaki singa emas.
Tumitnya bagaikan bukit bagi Han Sen dan setiap bulu emasnya setebal lengan Han Sen. Han Sen buru-buru meraih bulu itu dan memanjat.
Dia tidak berani meninggalkan sang singa karena para burung mengawasinya. Jika dia pergi, mereka mungkin akan menyerangnya lagi.
Gerombolan monster itu hampir mendekat, dan Han Sen harus sampai di punggung singa emas agar selamat.
Untungnya, Han Sen terlalu kecil bagi singa emas untuk disadari. Sambil menggenggam bulu emas, Han Sen merangkak naik. Saat dia sampai di pahanya, tiba-tiba singa itu berdiri.
Han Sen merasa seperti terlempar dari kereta yang sedang berjalan, dan buru-buru menempel pada bulu itu menggunakan Hantu Menghantui.
Gerombolan monster yang murka berada di hadapan singa emas dan mulai menyerang. Namun, mereka bagai menggunakan telur untuk menghantam batu.
Hal itu bahkan tidak bisa disebut serangan. Gerombolan itu jelas-jelas bunuh diri.
Singa emas mampu membunuh beberapa dari mereka dalam satu kibasan. Kadang dia bahkan melemparkan seekor monster ke dalam mulutnya.
Dalam sesaat, lembah itu menjadi sungai darah, dan bangkai-bangkai menumpuk.
Singa emas bahkan tidak menanggapi ribuan monster dengan serius. Di matanya, mereka hanyalah makan malam.
Gerombolan itu terus menyerang, yang sebenarnya merupakan usaha yang sia-sia. Mereka hanya menjadi pemuas dahaga Singa Emas, dalam sekejap gerombolan itu menjadi tidak tersisa hanya dalam waktu setengah jam.
Setelah memakan beberapa daging sendirian, singa emas kehilangan minat pada bangkai itu dan berjalan lebih dalam ke dalam pegunungan.
Gerombolan burung hitam kemudian menukik turun, menikmati sisa-sisa monster itu.