Deng!
Emas hijau tidak berbahan keras dan hanya setebal 1 inci. Dengan serangan Han Sen, jalan masuk setinggi 6 kaki dan selebar 1 kaki langsung muncul.
Han Sen melihat ke dalam celah dengan hati-hati dengan pedang berlian di tangannya dan tercengang dengan apa yang dilihatnya. Ada kota metropolitan bawah tanah yang bermandikan cahaya hijau. Atapnya dihiasi dengan jutaan keping emas hijau berkilau, seperti seluruh galaksi hijau.
Segala macam sel dari batu hitam berselang-seling seperti labirin. Tidak ada yang buatan. Mereka lebih seperti sarang lebah, baik yang tidak beraturan maupun yang beraturan pada saat yang sama.
Han Sen tahu bahwa sel-sel inilah yang disebut sarang. Di setiap sel mungkin berisi makhluk. Begitu makhluk itu menyadari kehadirannya, dia akan mencoba membunuhnya tanpa berpikir dua kali.
Han Sen melihat bahwa pastilah ada puluhan ribu sel dengan semua ukuran, beberapa sekecil tangannya, sementara beberapa besar seperti istana. Mereka semua saling tersambung dengan cara yang aneh dan alami.
"Segala dewa dan dewi di dunia ini, tolong berkati aku. Aku harap tidak akan terlalu banyak makhluk. Beberapa makhluk primitif juga boleh," Han Sen berdoa sambil menjinjit.
Meskipun ada cukup ruang baginya untuk terbang melintasi sarang, Han Sen tidak berencana untuk menggunakan sayapnya. Ketika dia terbang, semua makhluk bisa melihatnya dengan jelas dan berpotensi menyerangnya dalam kelompok. Atapnya juga tidak begitu tinggi sehingga dia tidak bisa menghindari semua serangan, jadi Han Sen memutuskan untuk tidak melakukannya.
Sambil mengendap-endap melewati sel, mata Han Sen terpaku pada sel itu. Jika ada sesuatu yang salah, dia akan kembali secepatnya. Untungnya, sel itu sangat sunyi sampai dia melewatinya.
Ini baru permulaan. Sel-sel hitam itu bagaikan bom waktu dengan ukuran berbeda. Han Sen tidak tahu kapan sebuah sel tiba-tiba akan meledak.
Saat Han Sen hampir mati ketakutan, dia telah melewati lebih dari ribuan sel tanpa melihat makhluk apa pun.
"Mungkinkah sarang ini kosong? Mungkin semua makhluk telah pergi?" Han Sen bertanya-tanya, "Seharusnya tidak. Menurut apa yang kubaca, kecuali telurnya pecah, sarangnya akan terus membiakkan makhluk baru. Karena dindingnya masih utuh, aku kira belum ada orang di sini. Jadi, telurnya pasti masih ada di sini. Kenapa tidak ada makhluk apapun? "
Han Sen tidak berani lengah. Meskipun semua tampak baik-baik saja, dia masih tetap waspada.
Setiap dia melewati satu sel, Han Sen selalu memandangnya, kalau-kalau ada makhluk yang menyerangnya saat dia lengah.
Namun, setelah melihat puluhan dari ribuan sel, dia tidak melihat satupun makhluk. Sepertinya sarang itu benar-benar kosong.
"Aneh sekali. Menurut Jaringan Langit, sarang-sarang yang ditemukan sebelumnya selalu memiliki setidaknya ratusan makhluk di dalamnya, dan kadang-kadang bahkan sampai ribuan. Bagaimana bisa tidak ada apa-apa di sini?"
Tiba-tiba Han Sen mendengar suara retakan. Dia langsung melihat ke arah tersebut.
Suara itu dari sel setinggi 9 kaki dan sejauh lebih dari 30 kaki darinya. Sel itu retak dan retakannya menyebar.
"Akhirnya." Han sen tidak terlalu gugup. Dia berjalan mundur dan menemukan tempat bagus dengan ruang yang lebih luas, matanya tertuju pada sel yang tampak seperti peti mati.
Saat sel itu terus meretakkan diri, sel itu terjatuh dan berhenti.
Dhuar!
Tiba-tiba sel itu terbuka oleh sesuatu dan terjatuh. Sebuah sosok menyeruak keluar dari sel.
"Makhluk humanoid?" Setelah melihat sosok itu, Han Sen tiba-tiba menggenggam pedang berliannya erat-erat.
Biasanya, makhluk humanoid umumnya adalah jenis berdarah sakral.
Makhluk itu adalah tengkorak yang tampak terbuat dari giok putih. Di antara tulang belulangnya, tidak ada celah seperti tengkorak biasa. Dengan sambungan ekstra ini, makhluk ini sangatlah lentur.
Pada tulang tengkorak itu ada banyak corak hitam, dan tangannya memegang sepasang belati.
"Senjata?" Han Sen terkejut. Makhluk humanoid ini punya senjata sendiri, yaitu dua belati, bukan satu, yang berarti makhluk ini tidaklah mudah untuk dihadapi.
Tengkorak itu menoleh ke arah Han Sen. Matanya tidak kosong, tapi terisi oleh sepasang mata putih. Sambil menatap Han Sen, tengkorak itu mendekatinya perlahan-lahan.
Awalnya, dia bergerak lambat. Lama-lama semakin cepat dan cepat. Dalam beberapa puluh langkah, dia mengelilingi wajah Han Sen bagaikan angin puyuh. Salah satu belatinya berada di leher Han Sen tiba-tiba.
Saat ini, Han Sen yakin bahwa tengkorak itu adalah makhluk berdarah sakral. Dia tidak takut. Sambil mengayunkan pedangnya, dia bermaksud menghentikan belati itu.
Belati itu cukup pendek, jadi Han Sen pasti bisa menjatuhkannya.
Akan tetapi, saat pedang berlian hampir mengenai belati itu, tengkorak itu meliuk dengan cara yang tidak wajar dan menarik belatinya. Dengan satu kibasan, belati tengkorak itu hampir mengenai salah satu alis Han Sen. Han Sen hampir merasakan rasa dingin dari belati itu menembus jubah pelindungnya.