Chapter 215 Dimaafkan?

Ketika kau tidak tahu kemana sopir di

sampingmu akan membawamu, percayalah, sebuah perjalanan akan dua kali lipat

menegangkan. Daripada saat kau sudah tahu tujuan perjalananmu. Dan itu di

rasakan Aran saat ini. Dengan rasa cemas yang naik dua kali lipat daripada saat

dia baru menaiki mobil tadi. Ditambah kebisuan yang di ciptakan orang di

belakang kemudi. Membuat siapapun yang ada di kursi penumpang jantungnya

berdegup dua kali lebih kencang.

Aku mau dibawa kemana ini? Hah!

Inikan bukan jalan menuju rumah tuan Saga.

Aran melihat jalanan gelap di luar

jendela, pepohonan ataupun rumah bergerak dengan cepat. Menandakan kecepatan pengemudi membawa mobilnya.  Walaupun gelap, Aran bisa mengenali jalanan

menuju rumah utama milik tuan Saga. Dan saat ini mobil melaju ke arah yang berlawanan. Dia

menciut di tempat duduknya. Melonggarkan sabuk pengaman. Bergerak kesana kemari

dengan cemas.

Apa dia mau meninggalkanku di dalam

kegelapan? Tapi, akukan bahkan belum mengutarakan isi hatiku. Suasana hatinya

benar-benar berubah karena kedatangan dokter Harun tadi. Aaaaa, tolong Tuhan,

kenapa dokter itu harus muncul di saat terpenting hidupku si.

Sudah bicaranya tidak jelas begitu lagi.

Walaupun cemas tapi masih sempat menyalahkan

dokter Harun. Kalau laki-laki itu tidak muncul tadi masalahnya dengan Han pasti

sudah beres. Hasilnya apapun akan dia terima dengan lapang dada. Kalau dia di

maafkan atau harus menutup pintu hatinya rapat. Itu tidak masalah, seiring

berjalannya waktu semua gejolak rasa yang ada di hatinya pasti akan sirna.

Begitukan seharusnyakan, kalau dia belajar dari karakter novel yang dengan apik

dia ciptakan. Aran memang mahir dalam teori cinta, tapi minim pengalaman

menjalaninya.

Rem mobil berdecit pelan, mobil berhenti.

Han tidak mematikan mesin mobil, dia menghidupkan lampu sorot. Cahaya terang jatuh sampai beberapa radius di depan sana. Lalu dia keluar dari

mobil. Masih tanpa bicara sepatah katapun.  Sementara Aran belum berani melepas sabuk pengamannya, dia sedang membaca

situasi dan lokasi keberadaannya.

Danau? Hah! Dia tidak mau

membuangkukan!

Aran mundur saat kaca mobilnya

diketuk keras. “ Turun!” begitu perintah laki-laki di luar sana, lalu dia

berjalan ke depan mobil bersandar sambil menatap gelapnya air danau yang tersorot lampu mobil. Berkelip-kelip. Aran melihat punggung lebar itu. Ragu untuk membuka pintu.

Aku takut! Kenapa dia membawaku ke

sini si, inikan sepi sekali. Kalau sampai terjadi apa-apa padaku teriakpun

pasti tidak akan ada gunanya.

Han terlihat menjatuhkan tubuhnya.

Membuat Aran terlonjak ditempat duduknya. Dia berbaring di atas di atas mobil,

lalu mengetuk kaca mobil keras. Membuat Aran mau tidak mau keluar. Angin malam

berhembus, menembus baju yang dia kenakan. Dia mengepalkan tangan mengusir hawa

dingin yang langsung menyergap.

Dingin!

“ Kau pernah melihatku ke sini

juga?” Setelah Aran ikut duduk di sampingnya. Gadis itu mendekap kedua

lengannya dengan tangan. Menangkal dinginnya udara yang tidak bisa dia abaikan. Dia memang benci udara dingin. Ntah karena kulitnya yang tipis atau apa, tapi Aran sering kali kedingingan walaupun orang-orang di sekitarnya merasa biasa saja. Contohnya malam ini, Han terlihat sangat menikmati udara malam. Lalu, mata Aran berkeliling melihat lokasinya sekarang berada. Merasa mengenali sesuatu yang tidak asing. Menangkap ingatan di masa lalu.

Eh, benar. inikan Danau pinggiran

kota, aku pernah mengikutinya dua kali ke tempat ini.

“ Maaf.” Tidak mau menyangkal

apa-apa lagi. Apapun yang sekertaris Han tanyakan akan di jawabnya dengan

jujur. Dia ingin semua masalahnya selesai hari ini.

“ Berapa kali?” Han bertanya lagi.

Bagaimana ini?

“ Berapa kali?” ulangnya geram

karena Aran hanya diam.

“ Dua kali tuan.” Menjawab terbata,

sambil mengeser tempatnya duduk.

“ Hebat sekali kau ya.” Terdengar

Han mendesah. Tapi tidak bicara apa-apa lagi.

Hening.

Aran mendekap Bahunya semakin erat,

karena semilir angin masuk merasai kulitnya. Dia mengigit bibir karena

kedinginan.

“ Pakai ini.” Han melepas jas yang dia pakai dan langsung

meletakan jas di kepala Aran. Dia melihat gadis itu mendekap

bahunya beberapa kali.

“ Tidak usah tuan, aku tidak

apa-apa.”

“ Pakailah selagi aku bicara

baik-baik.”Perduli tapi bau akan ancaman.

“ Baik, terimakasih.” Langsung

memakainya.

Aran bisa mencium aroma tubuh Han dari

jas yang ia kenakan. Hangat. Aroma parfumnya bahkan masih tercium walaupun sudah seharian.

Kenapa dia wangi begini si. Masih sempatnya berfikir yang tidak-tidak. Tapi Aran benar-benar sengaja menarik kerah jas itu sampai ke hidungnya.

“ Jangan mengharapkan lebih dari

ini dariku.” Lirih terdengar Han bicara. Tidak seperti bicara pada Aran, tapi gadis itu paham. Kata-kata itu untuknya.

Apa artinya dia sudah memaafkanku. Dia bahkan perduli padaku dan memberikan jasnya.

“ Apa ini artinya tuan sudah

memaafkan saya?” Diam tidak menjawab, hanya menataap langit yang bertabur kegelapan. Sementara

Aran duduk menatap Danau yang menghitam. Berkas cahaya rembulan yang sedikit

memantul di air danau dan kelip-kelip lampu sorot mobil mencipta panoramanya sendiri. “Tuan Han."

" Hemm."

" Selama hampir setahun saya merenungkan semua

kesalahan saya.” Aran kembali ke masa terberat dalam hidupnya. Saat ia harus

terusir dari ruangan kerja tempat dia mengabadikan hidup dan bekerja keras. Satu-satunya tempat dia mencurahkan waktu dan tenaganya. “ Saya terusir dari dunia saya.

Sayapun pergi menjauhi keluarga karena tidak mau mereka ikut menanggung

kesalahan yang saya buat. “ Pedih. Hembusan nafas Aran yang terdengar berat.

Dia menarik kerah jas milik Han, melindungi lehernya. “Tapi saya benar-benar

menyesali semuanya. Keserakahan saya pada janji nona muda saat itu benar-benar

saya sesali seumur hidup saya. Bahkan sampai hari ini.”

Hah! Bagaimana reaksi wajahnya?

Kenapa dia diam saja. Aku ingin meliriknya sedikit.

Tapi Aran bahkan tidak berani

melakukan. Dia melanjutkan bicaranya.

" Selama setahun itu saya berfikir dan menyalahkan diri saya. Apa tuan menjalani hidup dengan baik. Sesekali saya masih mencari berita tentang Antarna Group. Tidak ada yang berubah, anda masih berada di belakang tuan Saga. Sama persis seperti sebelumnya. Dengan wajah yang di kenali media."

" Kau mau bicara apa?"

Eh kenapa dia menyentuh rambutku lagi, untung aku sempat mencucinya tadi sebelum berangkat.

" Tuan." Tubuhnya langsung kaku membatu, bernafaspun pelan karena masih merasai tangan di ujung rambutnya. "Maafkan saya yang mendekati tuan dengan kebohongan, tapi saya benar-benar senang setelah mengenal tuan secara pribadi." membuat kesimpulan akhir lebih dulu sebelum tercipta salah paham. "Tuan laki-laki baik dan berhati hangat. Dan saya senang, selain tuan Saga saya adalah orang yang mengetahuinya." Aran tersenyum sendiri. Seperti halnya Han yang perduli pada tuan Saga, diapun merasakan hal yang sebaliknya. Kedua orang itu saling menyayangi dengan cara mereka masing-masing.

" Pandai sekali ya kamu bicara."

" Terimakasih atas pujiannya tuan." Merasa bangga untuk alasan yang tidak jelas.

" Cih, aku sama sekali tidak memujimu." Aran hanya tertawa, saat ini dia sudah bisa bergerak karena Han sudah melepaskan rambutnya.

" Tuan, apa saya boleh berharap?" Ntah apa maksudnya. Aran langsung menutup mulut menyesali kata-kata yang terlontar tanpa dia sadari. Berharap Han tidak paham maksud dari apa yang ia ucapkan. Tapi, bukan Han namanya kalau dia tidak tahu. Pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu itu beda lagi ceritanya. Karena Han sangat mengerti arti kata Aran barusan.

" Jagalah nona dengan baik, jangan sampai dia melakukan sesuatu yang tidak di sukai tuan muda. Kalau kau bisa melakukan pekerjaanmu dengan baik. Kau bisa berharap lebih dari ini." Han menjawab lalu bangun. Turun dari mobil. " Ayo pulang." tangannya terulur meraih jemari Aran.

Epilog

Ntah sudah berapa kali adegan teriakan dan bergulingan di tempat tidur itu diulang.

“ Aaaaaaa, apa itu artinya dia

memintaku menunggunya?” Berguling di tempat tidur lagi. Menarik selimut sampai menutupi

seluruh wajahnya. “ Jangan terlalu percaya diri Aran!” begitulah akhirnya.

Bicara dengan sangat senang tapi akhirnya jatuh karena kalimatnya sendiri. " Tapi dia bilang begitukan?"

Lakukan pekerjaanmu dengan baik, dan kau bisa berharap lebih dari ini.

" Aaaaaa, kenapa tidak katakan dengan jelas sih. Sejauh apa aku bisa berharap." Membuka selimut dengan wajah merah padam. Membuat kesimpulan sendiri. Dan akhirnya terlonjak kaget karena suara pintu yang di ketuk dari luar. Tidak, itu gedoran.

Hah! siapa itu.

Secepat kilat bangun, sampai tersandung selimutnya sendiri. Membuka pintu. teman-teman sebelah kamarnya sudah berdiri di depan pintu dengan wajah kuatir.

" Aran kenapa? Apa mimpi buruk?"

Eh, akukan belum tidur, bagaimana bisa bermimpi.

" Kenapa kamu teriak-teriak?"

" Ada kecoa di kamarmu?"

Eh kenapa ini? memang sekeras apa suaraku tadi? Tunggu, aku menyebut nama sekertaris Han tidak ya!

Bersambung