" Ini sudah terlalu lama. Kakak kebanggaanmu itu tidak balik-balik. Sepertinya dia gagal menangkapnya." Kata Elva sambil menahan rasa sakit di dadanya.
"Elva, kau harus percaya dengan kak Randika. Kenapa kau begitu kasar padanya? Kak Randika pasti ngapa-ngapain kamu ya?" Safira tertawa sambil menusukan jarum akupuntur ke Elva.
"Cedera internalmu cukup serius, aku hanya bisa membantu untuk menahannya untuk saat ini. Kau harus ke rumah sakit setelah ini." Kata Safira.
"Tidak usah khawatir, luka semacam ini bukan apa-apa." Kata Elva. "Yang aku tidak habis pikir adalah kenapa kau bisa segitu percayanya dengan Randika? Penyamaran Brian sudah kelas dunia, mustahil dia bisa menemukan Brian."
Safira kembali tersenyum. "Aku akan menunggu kak Randika pulang sampai kapan pun itu. Dia selalu pulang dan menepati janjinya."
"Kau benar-benar mencintainya segitunya?"
"Ha? Apanya!" Safira langsung tersipu malu. "Segitu bencinya kamu dengan kak Randika?"
"Tentu saja! Aku tidak sabar ingin mengoyak tubuhnya dan memotong alat kelaminnya itu." Sejak hari di hotel itu, ambisi balas dendam Elva sama sekali tidak mereda.
"Hahaha jarang-jarang perempuan cantik selalu memikirkanku setiap hari. Aku bersyukur mempunyai kalian." Tawa keras terdengar dari belakang dan Elva langsung mengerutkan dahinya.
"Kak! Kau sudah kembali." Mata Safira langsung bersinar dan Randika menghampirinya sambil menggotong Brian.
"Iya aku kembali dengan selamat." Randika tersenyum sambil mengelus kepala adiknya itu. "Nih buronanmu."
Safira lalu mengecek kondisi Brian terlebih dahulu dan menusukan jarumnya agar dia tidak sadarkan diri selama beberapa jam.
"Terima kasih kak, aku akan menelepon markas dan meminta bantuan."
"Eits sebelum itu mana dulu?" Randika langsung menyela.
"Hmmm? Maksudnya?"
"Ciuman terima kasihku." Randika lalu menunjuk pipinya.
Safira hanya tersipu malu sambil memukul kakaknya itu.
Tidak butuh waktu lama, sebuah van berwarna hitam tiba di gedung terbengkalai ini.
"Kak, aku akan membawa Brian pergi. Aku minta tolong sesuatu, cedera Elva cukup serius aku minta tolong kakak untuk membawanya ke rumah sakit." Safira lalu tersenyum. "Aku hanya bisa memberikan pertolongan pertama jadi dia butuh penanganan secepat mungkin."
"Ah?"
Elva terkejut ketika mendengar perkataan Safira, dia harus ke rumah sakit dengan bajingan ini?
Randika melirik Elva yang masih terkapar dan memegangi dadanya itu. "Saf, mau dilihat bagaimanapun juga, kaki dan tangan Elva sama sekali tidak patah. Dia pasti kuat pergi ke rumah sakit seorang diri. Lebih baik sekarang aku mengantarmu kembali ke markas dan kita bisa mengobrol lebih lama."
"Kau!" Tatapan Elva semakin tajam dan penuh dengan amarah. Bajingan ini benar-benar pintar bersandiwara.
Safira tertawa melihat kedua orang ini. "Kak, jangan menggoda Elva terus-terusan. Lagipula semua orang organisasiku ada di sini jadi Brian tidak akan bisa kabur lagi. Kau lebih baik membawa Elva ke rumah sakit saja."
Setelah itu, Safira dan Brian, yang masih pingsan dan terikat, masuk ke dalam van.
"Ingat bawa Elva ke rumah sakit, bukan ke tempat yang aneh!" Kata Safira sebelum menutup pintu.
Setelah van itu pergi, tinggal Randika dan Elva saja yang berada di gedung terbengkalai ini?
Elva langsung mendengus dingin dan memalingkan wajahnya. Dia terdiam cukup lama dan ketika dia menoleh ke arah Randika, bajingan itu sudah tidak ada.
"Bajingan tengik, aku benar-benar membencimu!" Elva langsung berteriak keras. Dia lalu berusaha berdiri sambil menggertakan giginya. Seluruh tubuhnya bercucuran keringat ketika dia berusaha berdiri. Ketika dia bertarung melawan Brian, dia mendapatkan 3 pukulan serius dan kondisi internalnya cukup kacau.
Saat dia terhuyung-huyung, sebuah tangan menopangnya agar bisa berjalan.
"Hmmm tercium aroma-aroma orang yang malu-malu kucing." Elva menoleh dan tentu saja itu Randika dengan senyuman menyebalkannya.
"Cih siapa memangnya yang butuh bantuanmu?" Elva mulai memberontak.
"Perasaan tadi ada yang menelepon butuh bantuanku deh, apakah ini sikap yang pantas terhadap orang yang telah menolongmu tadi? Ayolah Elva, sampai kapan kau malu-malu begini?"
"Sampai mati pun aku tidak sudi menerima bantuanmu." Kata Elva dengan nada mengancam.
"Oh? Apakah itu berlaku juga saat aku menolongmu di bar kapan hari? Atau di saat menyenangkan kita di hotel?" Randika menghampirinya dengan senyuman nakalnya.
Saat Randika menyinggung kata 'hotel', wajah Elva langsung memerah dan mendorong tubuh Randika.
"Bercanda, bercanda. Jangan marah-marah terus nanti cantiknya hilang lho." Randika tertawa puas. Meskipun Elva menolaknya, Randika tetap menggendongnya.
"Hei lepaskan aku!" Elva masih menolak bantuan Randika.
"Sudah, aku akan membawamu ke rumah sakit." Randika dengan cepat membawa Elva ke mobil. "Sudah jangan berontak terus, kalau bukan permintaan Safira kau sudah kutelantarkan dari tadi."
"Hei tanganmu menyentuh apa?"
"Eh maaf-maaf tidak sengaja."
Bahkan dalam perjalanan mereka ke mobil, mereka masih saling bertengkar. Mereka kemudian segera menuju rumah sakit dengan mobil yang ditinggalkan Safira.
"Ayo turun." Kata Randika.
Elva hanya menatapnya tajam meskipun Randika sudah mengulurkan tangannya. Dia akhirnya terpaksa menggendongnya.
"Aku tidak menyangka kamu ingin kita terlihat intim di rumah sakit. Segitunya kamu ingin memamerkan cinta kita?" Randika tertawa tanpa mempedulikan omelan marah Elva, dia langsung membawanya ke UGD.
Cedera Elva ini butuh ditangani segera mungkin, kalau tidak bisa-bisa terjadi pendarahan internal.
"Jangan harap aku berhutang budi padamu gara-gara kejadian hari ini." Elva masih menatap tajam Randika yang duduk di sebelahnya.
"Jangan khawatir, aku tahu bahwa kamu selalu memikirkan diriku setiap hari." Randika tersenyum.
"Dasar pria barbar!" Setiap kali dia berbicara, dia merasa bahwa Randika selalu bercanda dan menggodanya. Dia merasa bahwa percuma berdebat dengan orang ini. Namun, Elva adalah wanita yang kuat jadi dia tidak akan kalah dengan mudah.
"Hahaha Elvaku yang cantik cuma perlu tahu satu hal." Kata Randika dengan senyuman nakal. "Suatu saat nanti aku akan meminta imbalan dari kejadian hari ini, jadi jangan lupakan hal ini oke?"
Dada Elva menggebu-gebu, pria ini benar-benar menguji kesabarannya.
Tak lama kemudian, suara seseorang membuat Randika terkejut. "Tolong obat ini diminum terlebih dahulu."
Ketika Randika menoleh, dia terkejut. Betapa cantiknya perawat ini!
Benar-benar luar biasa!
Dari saat dia memandanginya, Randika langsung memindai perawat satu ini. Perempuan ini benar-benar memiliki wajah dan badan yang bisa membuat para supermodel menangis. Kulitnya terlihat mulus sekali dengan hidung mancung ala orang luar negeri. Belum lagi dadanya ya tuhan, mungkin ini tidak kalah besar dengan milik Inggrid.
Terlebih lagi, dengan baju putih perawatnya yang ketat itu Randika tidak sabar memainkan roleplay dokter dan perawat dengannya.
Kalau diperhatikan lagi, kancing baju perawat itu seakan-akan sedang berjuang sekuat tenaga untuk terus menutupi pemandangan surgawi itu.
'Setidaknya dia F'
Randika langsung menelan air liurnya.
"Permisi tuan, nyonya ini perlu meminum obatnya." Perawat ini mulai merasa jengkel karena Randika terus memelototinya.
"Hahaha maaf, maaf, silahkan." Randika langsung menyingkir. "Aku hanya terpukau dengan kecantikan nona yang begitu menawan. Maafkan diriku ini."
Ketika mendengarnya, wajah perawat ini sedikit memerah. Hatinya terasa hangat. Siapa memangnya yang tidak suka mendengar kata-kata manis?
Melihat tingkah laku Randika ini, Elva langsung jijik. Dia benar-benar tidak bisa melihat pemandangan ini dan memalingkan wajahnya.
"Pacarmu butuh beberapa hari menginap di rumah sakit." Kata perawat itu.
"Ah kau salah, dia bukan pacarku. Dia hanya rekan kerjaku, aku hanya membantu membawanya ke sini." Randika tertawa. "Jika aku ingin mempunyai pacar, aku mungkin akan memilih perempuan sepertimu. Cantik dan menawan. Aku langsung bisa membayangkan anak-anak kita seperti apa kelak, menemuimu mungkin adalah salah satu tujuan hidupku."
Randika memang jago berkata manis.
Perawat itu semakin tersipu malu sambil tersenyum.
Elva semakin jijik lama-lama mendengar Randika. Bajingan ini benar-benar tahu caranya berkata manis.
"Nona perawat, kau menjatuhkan bolpenmu." Ketika perawat itu hendak mengambilnya, tangannya bersentuhan dengan Randika.
Sentuhan tangan ini membuat perawat itu makin tersipu malu tetapi mata Randika benar-benar tidak bisa lepas dari dada besar itu.
"Nona perawat, kau sungguh menawan dan besar." Puji Randika.
Besar?
Perawat itu terkejut mendengarnya.
"Makanan apa yang kau makan sampai milikmu bisa sebesar itu?" Randika terus mengagumi dada indah itu.
"Kau!" Perawat itu segera menutupi dadanya dan menampar Randika.
Dia benar-benar malu dan segera meninggalkan ruangan milik Elva.
Randika langsung berteriak. "Hei nanti malam kau senggang tidak? Kita bisa bercakap-cakap di bawah rembulan." Hal ini membuat perawat itu berjalan semakin cepat.
Ketika perawat cantik itu pergi, Elva memasang wajah jijik dan berkata pada Randika. "Sampah sekali caramu merayu cewek."
"Oh? Aku punya banyak kemampuan selain berkata-kata manis, kau mau mencoba?"
"Huh! kau hanya bisa menggoda wanita polos!"
"Aku tidak suka menggoda yang polos, aku suka menggoda wanita yang lebih dewasa." Mata Randika berkedip-kedip melihat Elva.
"Hei… Apa yang mau kau lakukan?" Elva merasakan firasat buruk.
"Aku akan membuktikan padamu kalau aku lebih suka dengan wanita yang matang." Setelah berkata seperti itu, dia menghampiri Elva dan menciumnya!
Lidah Randika langsung menyelam dengan ganasnya!
Elva benar-benar lengah, dia tidak menyangka bahwa Randika akan menciumnya. Matanya terbelalak dan dia tidak bisa berpikir apa-apa.
Bisa-bisanya pria ini menciumku! Bahkan di tempat umum seperti ini!
Hampir 2 detik setelahnya, Elva langsung mendorong Randika sekuat tenaga.
"Bajingan!" Elva sudah hampir lepas kendali.
Randika menjilati bibirnya dan berkata sambil tersenyum puas. "Bagaimana? Masih butuh bukti lagi?"
Elva tidak membalas, dia hanya menatap tajam ke arah Randika.
"Pergi dari sini!" Teriak Elva.
"Anggap ini sebagai imbalan atas hari ini, meskipun nanti akan kutagih lagi sih. Jadi jangan cemberut, nanti cantikmu hilang lho." Kata Randika.
"Aku tidak peduli! Cepat keluar!"
Elva segera mengambil bantalnya dan melemparnya ke Randika.
Ketika Randika sudah keluar, Elva menyentuh bibirnya. Itu ciuman pertamaku dasar pria bajingan!
Ketika Randika berjalan di koridor, dia mendengar suara teriakan.
"Ah! Pak tua Ardi mati!"