"Kak, kau baik-baik saja?" Hannah yang masih memeluk Randika menoleh ke atas.
Randika yang bisa melihat kedua gunung Hannah itu tersipu malu. Meskipun begitu, dirinya sedang berdiri di tengah mayat Bulan Kegelapan dan pembunuh yang terikat itu.
"Aku baik-baik saja." Kata Randika sambil mengelus kepala Hannah. Dia lalu memindahkan mayat itu ke pinggir dulu.
Ketika Ibu Ipah melihat dua musuhnya yang mati dengan mudah itu, dia sekarang paham betul kekuatan Randika yang sebenarnya.
"Hahaha kau memang bukan pria sembarangan. Aku yakin nona akan menemukan kebahagiaannya kalau bersama dirimu." Pikirnya dalam hati.
Tapi tiba-tiba, Randika yang berdiri tegak itu memuntahkan seteguk darah dan seluruh tubuhnya jatuh ke lantai.
"Kak!" Hannah dengan cepat memangku kepala Randika di pahanya. "Kak, kau kenapa? Jangan buat aku takut lagi."
"Nak kau baik-baik saja?" Ibu Ipah juga menghampiri Randika.
Wajah Randika semakin pucat daripada sebelumnya. Tenaga dalamnya yang sebelumnya mengalir deras itu ternyata bukan karena dia berhasil menjinakkannya tetapi karena kekuatan tekadnya yang berhasil membuatnya berhasil. Sekarang, karena keadaan sudah kembali damai, kondisi tubuhnya kembali memburuk.
Mungkin kondisinya yang sekarang hanya bisa disembuhkan oleh kakek ketiganya yang ahli dalam pengobatan tradisional. Kalau dia mengandalkan dirinya sendiri, mungkin akan butuh beberapa bulan agar bisa sembuh total.
"Uhuk!" Randika mengeluarkan seteguk darah lagi. Kepalanya terasa pusing. Hannah dan Ibu Ipah melihat dirinya dengan wajah khawatir.
"Aku… tidak apa-apa." Kata Randika sambil tersenyum.
"Mukamu saja pucat seperti mayat, bagaimana mungkin kau baik-baik saja?" Ibu Ipah segera membantu Randika duduk. "Kalau kau mati bagaimana aku akan menjelaskannya ke nona muda?"
"Ah? Kak jangan mati!" Hannah langsung memeluknya lagi.
Randika masih kesusahan bernapas, sekarang badannya merupakan medan pertempuran. Kekuatan misteriusnya berusaha mengambil alih kesadarannya dan alam sadarnya meminta dirinya untuk pingsan agar bisa menjinakkannya dengan lebih baik.
Tapi Randika tidak boleh pingsan, Bulan Kegelapan masih mengintai dirinya dari balik kegelapan. Bagaimana kalau tiba-tiba kloningnya itu menyerang kembali? Bagaimana nasib Hannah dan Ibu Ipah kalau itu benar-benar terjadi?
Dia tidak boleh pingsan.
Randika memaksakan dirinya untuk tetap sadar. Seluruh tubuhnya mengucurkan keringat dan darah kembali naik ke mulutnya. Tubuhnya benar-benar terluka.
Dia menggertakan giginya tetapi darah masih merembes keluar dari celah giginya.
"Kak Randika!" Tiba-tiba ada suara memanggilnya dari arah pintu.
Safira!
Safira melihat kondisi mengerikan Randika ini dan mulai meneteskan air matanya. Dia segera memegang erat tangan kakaknya itu dan mengatakan, "Tenanglah kak, tidurlah dengan tenang. Aku membawa Arwah Garuda bersamaku."
Arwah Garuda!
Beban hati Randika sudah terpecahkan dan dirinya langsung menutup matanya dan pingsan.
Melihat bahwa Randika sudah tidak sadarkan diri, Safira menghembuskan napas lega. Dia lalu berdiri dan berkata pada Hannah dan Ibu Ipah. "Luka kak Randika tidak bisa disembuhkan di tempat ini, aku akan membawanya pergi."
......…..
Randika merasa dirinya dikejar-kejar oleh belasan Bulan Kegelapan. Tidak peduli seberapa banyak yang dia bunuh, mereka terus mengejarnya tanpa henti.
Tiba-tiba pergelangan tangannya tertangkap dan dirinya ditahan oleh empat orang. Lalu dia dipukul bergantian oleh belasan Bulan Kegelapan.
"Ah!" Randika langsung terbangun dari mimpi buruknya itu. Napasnya terengah-engah sambil berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Dia memperhatikan sekelilingnya dan menyadari bahwa dia ada di sebuah ruangan hangat yang tidak dia kenal tapi hal ini tidak membuatnya panik karena ingatan terakhirnya adalah Safira yang menjemput dirinya.
Tapi… mimpinya benar-benar buruk sekali.
Dia tidak bisa mengerti mengapa Bulan Kegelapan ini begitu menghantui dirinya? Apakah dia takut pada akhirnya terbunuh olehnya atau mungkin dia tidak bisa melindungi orang yang disayangnya dari musuh-musuhnya?
"Hmmm? Kakak sudah bangun?" Randika menoleh dan melihat bahwa Safira berada di sampingnya sambil membaca buku.
Lalu Safira pergi dari ruangan dan membawa kembali semangkuk bubur.
"Makanlah ini dulu kak, perutmu harus terisi dan kita harus tetap membuat tubuhmu hangat." Safira duduk kembali di samping Randika dan menyuapkannya.
Randika tersenyum dan melahapnya. "Hmmm enak sekali! Aku tidak menyangka kalau kamu pintar masak seperti ini."
"Tentu saja!" Safira tersenyum lebar. Melihat Randika yang lahap memakan makanannya, membuat hatinya gembira. "Ini bubur yang diajarkan kakek ketiga."
"Bubur ini enak karena mengandung cintamu kepadaku, aku bisa merasakan kehangatan di dalamnya." Randika memegang erat tangan adiknya itu. "Terima kasih…."
Safira langsung tersipu malu sambil terus menyuapi Randika. Dalam hatinya dia sangat senang bisa berguna untuk kakaknya.
Randika menatap Safira dan mengatakan, "Saf, aku ingin kau menyuapiku setiap hari."
"Baiklah kalau itu maunya kakak, Safira senang kok bisa berduaan dengan kakak." Senyum Safira dipenuhi kehangatan.
Namun, suasana romantis ini tidak berlangsung lama karena mangkok bubur itu akhirnya telah habis.
Safira mengelap mulut Randika yang belepotan sambil mengatakan, "Kak, kau barusan mimpi buruk kah? Kau terlihat tidak nyaman saat tidur tadi."
"Begitulah." Randika tidak perlu menutup-nutupinya dari Safira. "Bulan Kegelapan dan Shadow masih ada di luar sana dan mereka selalu mengincarku setiap saat. Jika mereka belum kubereskan maka aku belum bisa bernapas lega."
Masalahnya Bulan Kegelapan dan Shadow benar-benar ahli dalam menutupi jejak mereka. Hal ini membuat Randika tidak memiliki petunjuk di mana mereka berada. Dia merasa was-was dengan perasaan tidak berdaya ini.
Terlebih lagi, ketika Bulan Kegelapan dan Shadow melihat bahwa dirinya sedang terluka langsung memanfaatkannya dan menyerang dirinya.
Oleh karena itu, mereka berdua harus mati!
"Kakak tidak perlu khawatir, Arwah Garuda juga ikut menyelidiki keberadaan mereka." Kata Safira.
"Kau meminta Arwah Garuda untuk membantuku?" Randika terkejut.
"Benar." Safira mengangguk. "Kak Randika sudah menolong kami sebelumnya jadi anggap saja ini hadiahnya. Lagipula, kakak kan orang warga negara sini jadi sudah menjadi tanggung jawab kami untuk melindungimu dari serangan."
Randika menggaruk kepalanya, dia tidak menyangka bahwa adiknya ini begitu dermawan. Ini benar-benar berita bagus.
"Bagaimana cara kalian melacaknya?"
"Sayangnya aku tidak bisa menjelaskannya secara detail." Kata Safira dengan nada menyesal. "Tapi yang perlu kakak tahu, kita telah menemukan markas mereka berdua. Tetapi sayang, mereka berdua sudah kabur dan meninggalkan negara ini. Sepertinya keberadaan kami sudah diketahuinya sejak lama."
Kabur?
Randika sedikit bingung dengan perasaannya. Di satu sisi dia merasa lega karena dia bisa fokus memulihkan diri tetapi di sisi yang lain dia masih tidak terima bisa disudutkan hingga sedemikian rupa oleh mereka berdua.
Tetapi, dia memutuskan untuk menyimpan dendamnya itu dan menikmati gencatan senjata ini. Sekarang dia tidak perlu khawatir akan serangan mendadak mereka.
Terlebih, meskipun Bulan Kegelapan dan Shadow sembunyi di ujung dunia pun, mereka tidak akan bisa lepas dari takdir mereka.
Takdir dari seorang pengkhianat adalah kematian!
Hal ini menyangkut harga diri Randika sebagai salah satu Dewa dari 12 Dewa Olimpus dan yang lebih penting lagi, mereka telah mengkhianati kepercayaan yang diberikannya itu.
"Jangan khawatir kak, mereka tidak akan berani menyentuhkan kakinya lagi di negara ini." Safira menegaskan. "Arwah Garuda sudah mengirimkan beberapa orang untuk mengejar mereka dan menempatkan beberapa orang di titik-titik tertentu jadi kalau mereka masuk kembali ke negara ini maka kau pasti akan pertama yang tahu."
"Wow terima kasih!" Randika mencium kening adiknya itu. Dia benar-benar bangga adiknya menjadi bisa diandalkan seperti ini.
"Ah kak Randika ingat kau masih menikah dengan orang lain." Muka Safira segera memerah.
"Benar." Randika lalu menarik Safira ke kasurnya dan menahan dirinya. Dia lalu membelai muka cantik Safira dan berbisik di telinganya. "Hari ini kau adalah istriku, karena kita suami istri jadi tidak masalah kalau kita sedikit intim."
"Kak!" Safira tersipu malu. "Kakek, kakek belum merestui hubungan kita."
"Lupakan para penatua itu, mereka sudah pelupa." Kata Randika sambil tersenyum. "Saf, hari ini kau adalah istriku, aku tidak mau mendengar kata tidak!"
"Ah kompornya lupa aku matiin, tadi aku merebus air buat teh hangat." Safira segera mencari alasan dan berusaha mendorong Randika.
Melihat muka panik sekaligus malu Safira membuat Randika semakin menyayanginya.
Adiknya ini benar-benar seperti pengantin baru yang malu-malu. Sifatnya itu makin membuat Randika menyukainya.
Randika lalu melepasnya dan membiarkan Safira pergi ke dapur. "Saf, bagaimana keadaan tubuhku?"
Safira lalu berputar dan berkata dengan nada serius. "Kak, aku Cuma bisa menahannya sementara waktu. Kemarin, tenaga dalammu benar-benar kacau dan seluruh pembuluh darahmu membengkak. Aku rasa butuh 1 bulan untukmu sembuh."
"Bisakah tubuhku kembali ke keadaan semula?"
"Sayangnya tidak kalau aku yang merawatmu." Safira menggelengkan kepalanya. "Kemampuanku belum memadai dan aku tidak bisa menjinakkan tenaga dalammu yang luar biasa kuat itu."
"Tidak apa-apa, kakek ketiga pasti bisa mengatasinya." Randika memang harus kembali ke kampung halamannya. Tapi untuk sekarang, dia ingin bermanja-manja dengan istrinya hari ini. "Katanya kau ingin membuat teh hangat untukku?"
"Ah iya sampai lupa aku. Tunggulah di sini."
Setelah Safira kembali pun Randika masih menggoda adik kecilnya itu. Setelah beberapa saat, Safira pamit sebentar untuk memasak.
Randika sekarang duduk sendirian sambil memegangi gelas teh hangatnya.
Dia lalu melamun dan memikirkan kelanjutan kehidupannya ini.
Untuk sekarang, kesembuhan badannya benar-benar krusial. Tubuhnya ini benar-benar berantakan, dia sama sekali tidak bisa mengeluarkan kekuatannya 100%. Teknik akupuntur milik kakeknya itu hanya memberikan dirinya sekitar 80% tenaga dalamnya kembali. Yang lebih parahnya lagi, dia tidak bisa dengan cepat mengisi kembali tenaga dalamnya itu. Oleh karena itu, dia hampir saja kalah dengan 20 kloning Bulan Kegelapan.
Hanya dengan menguasai tubuhnya 100% dia bisa bernapas lega dan tidak takut apa pun. Dia harus berjaga-jaga apabila salah satu Dewa dari 12 Dewa Olimpus menyerangnya. Meskipun kecil kemungkinannya, kemungkinan itu masih ada.
Randika memutuskan, saatnya dia pulang kampung dan memulihkan diri.
Satu-satunya harapan baginya adalah para kakeknya.
"Hei jangan melamun begitu!" Pada saat ini, Safira masuk sambil membawa sup. "Coba makananku ini."
"Tidak mau kalau aku tidak kamu suap."
"Ah kakak kok jadi manja begini sih?" Meskipun begitu, Safira tetap mendulangnya.
"Wah enak sekali, kau benar-benar cocok menjadi istri." Randika puas dengan makanan adiknya.
"Syukurlah kalau kamu suka." Safira tersenyum dan mengatakan. "Setelah ini selesai, aku akan merawat tubuhmu."
"Hmm merawat?" Randika menatapnya.
"Iya." Safira mengangguk. "Kakak masih memiliki luka di tubuhmu, aku harus memeriksanya."
"Berarti aku akan tinggal di sini selama sebulan?" Randika tersenyum pahit.
"Bukan itu." Safira tertawa melihat kakaknya yang panik. "Cuma luka luarmu saja kok. Tetapi tenaga dalammu memang masalah utamanya."
"Tidak masalah, aku sudah memutuskan cara untuk mengatasinya." Randika kemudian mengambil supnya itu dari Safira dan melahapnya langsung. "Aku akan kembali ke kakek setelah keluar dari sini. Seharusnya kakek ke-3 punya solusi untuknya."
"Kakek ke-3 memang memiliki kemampuan untuk itu. Jika kakek yang merawatmu, kemungkinanmu untuk sembuh sangat besar."
Setelah itu, Randika langsung menghabiskan supnya dan menatap Safira.
"Masih adakah supnya? Aku masih lapar." Karena belum makan sama sekali sejak kemarin, perutnya terasa kosong dan sup saja tidak cukup memenuhinya.
"Kak, tadi itu sup obat bukan sarapanmu." Safira tertawa ketika mendengarnya. "Kita akan mencari sarapan ketika aku selesai merawatmu."
"Untuk sekarang berbaringlah." Safira mengeluarkan jarum akupunturnya.
Randika berbari di tempat tidur dan Safira mengangkat bajunya itu. Saat jarumnya itu menusuk punggungnya, kehangatan segera menyebar ke seluruh tubuhnya.
Nyaman, enak dan hangat bagaikan sinar matahari pagi.
Di saat yang sama, Safira juga memijat punggung Randika.
"Ahhh enak sekali, coba turun sedikit. Nah itu! Nikmatnya…" Randika memejamkan matanya, menikmati sensasi nikmat ini. Berkat perawatan adiknya ini, untuk pertama kalinya dia bisa rileks setelah kejadian-kejadian yang menimpanya.
"Baiklah kak, untuk hari ini sudah cukup." Safira segera mencabuti jarum-jarumnya.
"Lho sudah selesai?" Tanpa disadarinya, satu jam telah berlalu.
Safira tertawa kecil, "Kak, bukannya tadi kau lapar? Ayo kita sarapan sekarang."
"Makan? Yuk!" Randika langsung meloncat dan memakai bajunya. Perutnya benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Sekarang waktu sudah menunjukkan jam 12 siang, Randika baru terbangun dari tidurnya itu jam 10 pagi. Meskipun ini jam makan siang, untuk Randika ini masih waktunya sarapan.
Setelah mencari-cari tempat makan, mereka akhirnya tiba di restoran iga penyet.
Randika segera memesan makanannya. "Ini, ini, itu dan ini."
"Total 4 hidangan ya?" Pelayannya memastikan kembali pesanannya.
Randika terlihat bingung, "Ha? Kau salah dengar, maksudku semua yang ada di kolom ini selain 4 makanan tadi. Aku kurang begitu suka dengan tumisan sayur."
"Hah?" Pelayan itu terkejut. Ketika dia melihat menunya, ada lebih dari 10 makanan utama di kolom itu. Memangnya bisa 2 orang menghabiskan itu semua?
Safira tertawa lepas melihatnya, lalu dia menatap Randika dan berkedip-kedip.
Randika menghela napas dan mengerti maksud adiknya. "Maaf yang tadi lupakan saja, aku hanya memesan 5 makanan ini saja."
"Oya, nasinya 4 ya!"
"Kak, kenapa kau begitu rakus?" Safira menjadi sedikit malu.
"Aku lapar sekali." Randika menatap Safira dan mengerti apa yang dikhawatirkan adiknya itu. "Jangan khawatir, aku masih bisa memakanmu nanti kok!"
Muka Safira langsung memerah, sejak kapan kakaknya ini menjadi begitu genit.
Melihat wajah merah adiknya, Randika tertawa. "Hahaha aku belum makan sejak kemarin siang jadi maafkan kakakmu ini."
Tentu saja karena pemakaian tenaga dalamnya yang berlebihan itu membuat Randika harus mengisi ulang tenaganya.
Tak lama kemudian makanan mereka datang. Meja mereka penuh dengan piring dan nasi yang dimakan Randika benar-benar seperti gunung. Namun, Randika melahap makanannya seperti vacuum cleaner, habis tidak tersisa.
Pemandangan ini menarik perhatian pelanggan yang lain.
"Kak pelan-pelan makannya, kita dilihati orang tahu!" Safira berbisik.
"Tidak usah mempedulikan mereka, kita kan bayar." Randika lalu memegang tangan adiknya.
"Ah… Tanganmu begitu lembut." Randika tersenyum. "Kakak benar-benar ingin memakanmu."
"Kak ini tempat umum!" Safira benar-benar malu mendengarnya.
"Tidak apa-apa. Pada akhirnya kau akan menjadi wanitaku dan aku akan mengumumkannya ke dunia. Buat apa malu menunjukan cinta kita? Biarkan cinta kita membakar mereka yang iri." Randika lalu menatap Safira dalam-dalam dan menciumnya!
Oh!
Safira menutup matanya dan membiarkan kakaknya itu menuntun dirinya. Tetapi kesenangannya harus berhenti, "Maaf… ini pesanan Anda."
Safira langsung mendorong Randika yang masih mengunci lidahnya itu. Namun, Randika tidak peduli dan masih ingin bermesraan.
Merasa tidak dihiraukan, pelayan itu terbatuk sebagai usaha terakhirnya.
Randika menoleh dan menyadari bahwa pelayan itu datang sambil membawa makanannya. Mau tidak mau Randika melepas ciumannya.
Saat pelayan itu pergi Randika memasang ekspresi kecewa. Kenapa orang itu tidak peka? Dia masih asyik bermesraan dan dia malah mengganggu dirinya.
Safira, yang sudah terbebas, tidak memberikan kesempatan Randika untuk menciumnya kembali. Dia lalu berkata dengan nada sedikit marah, "Cepat habiskan kak."
Setelah mereka selesai makan, mereka segera keluar dan berpamitan.
"Kalau kakak membutuhkanku, telepon saja dan aku akan segera datang."
"Baiklah." Randika mengangguk dan kemudian memeluknya. "Maafkan kakak yang sudah merepotimu, kakak akan segera bertambah kuat dan giliran kakak yang akan melindungimu!"
Ketika mendengarnya, Safira semakin erat memeluk kakak sekaligus calon suaminya itu. Kemudian mereka berdua saling menatap dan berciuman.
Kali ini mereka ada di gang di sisi gedung restoran tadi, tidak akan ada orang yang mengganggu mereka. Ciuman itu sangat panjang hingga Safira kehabisan napas, Randika benar-benar tidak ingin berpisah dengan bibir lembut itu.
Setelah selesai, Safira hanya bisa menunduk malu tidak berani menatap mata Randika.
Randika hanya tertawa dan memanggil taksi.
Setelah ini, Randika harus pulang dulu ke rumah Inggrid dan berkemas untuk pulang ke gunung lagi.
Tidak butuh waktu lama untuk Randika tiba di rumahnya. Ketika dia masuk ke dalam rumah, pemandangan di depannya membuat dia ngiler tidak karuan.
Buset sexy sekali!
Randika lalu menutup pintu dengan pelan sambil menelan air liurnya itu.