Ketika Vero melihat kedua orang itu tidak menoleh sama sekali, dia dengan cepat menjadi marah dan menyuruh kedua pengawalnya untuk menghentikan mereka.
"Aku bilang berhenti!"
Suara Vero benar-benar keras, dia tertatih-tatih mengejar Randika dan Indra. Untungnya kedua pengawalnya berhasil mencegat mereka.
Randika mengerutkan dahinya dan menoleh ke arah Vero. "Kau memanggil kami?"
"Siapa lagi memangnya yang ada di sini? Apa kau tidak dengar aku berteriak dari tadi?" Omel Vero dengan napas terengah-engah. Keringatnya mengalir deras dan membuat bajunya menjadi basah.
"Banyak pejalan kaki yang berjalan sama kita, bagaimana caranya aku tahu kau memanggilku? Aku punya nama dan jelas itu bukan 'hei' ataupun 'berhenti'."
"Kau!" Vero tidak menyangka Randika akan bersifat kurang ajar seperti itu. Dia sekali lagi meledak. "Aku tidak punya urusan denganmu, pergi sana dasar pria miskin!"
Vero dengan cepat menoleh ke arah Indra dan berkata dengan nada dingin. ��Aku ingin membeli benda itu, katakan hargamu."
"Aku tidak berniat menjualnya." Indra menggelengkan kepalanya.
"Ha? Ini yang membuatku benci dengan orang macam kalian. Dikasih kesempatan menjadi kaya kalian malah menolaknya." Vero menggelengkan kepalanya. "Lima juta!"
Randika dengan santai mengatakan. "Lima juta? Apa kau tidak sekaya seperti dugaan kami? Jelas-jelas kau bisa membelinya dengan lima puluh juta."
Vero menatap tajam ke arah Randika. "Siapa memangnya kamu? Tiba-tiba nimbruk tidak jelas."
"Dia adalah kakak seperguruanku, aku mendengarkan kata-katanya." Jawab Indra.
Vero terkejut mendengarnya, dia lalu menatap Randika dan mengatakan. "Sepuluh juta!"
Randika menatap jijik padanya. "Yakin kau itu orang kaya?"
"Lima belas juta!" Jawab Vero.
"Sudahlah, jika kau tidak punya uang jangan memaksa. Aku tidak peduli dengan penawaranmu yang rendah itu." Mata Randika lalu menjadi dingin dan pergi meninggalkannya.
"Kau harus menjualnya padaku hari ini! Apa pun yang terjadi, boneka itu akan pulang denganku!" Vero mulai marah, tidak ada barang di dunia ini yang tidak bisa dia beli.
"Dua puluh lima juta!"
Vero terus menawar tanpa henti.
Meskipun sudah tidak berjalan, Randika tidak menoleh sama sekali.
"Dua puluh lima itu sudah cocok buat kalian. Dengan uang sebanyak itu kalian tidak perlu khawatir membayar kos-kosan kalian lagi, jangan terlalu serakah."
Randika menoleh dan membentak Vero. "Mau berapa juta pun, aku tidak sudi menerima uang haram dari orang tidak tahu diri sepertimu!"
Anggapan bahwa uang bisa membeli segalanya membuat Randika jijik terhadap perempuan ini. Apalagi dia menganggap dirinya ini orang miskin, ini yang benar-benar tidak bisa diterima oleh Randika.
Uang tidak bisa membeli segalanya!
"Apa?" Vero menjadi marah dan menjulurkan telunjuknya ke hidung Randika. Sebelum dia bisa mengancamnya, Randika sudah mencengkeram erat jari itu dan meremasnya dengan kuat. Tiba-tiba Vero berteriak kesakitan.
"Uang bukanlah segalanya di dunia ini, jika kau meremehkan setiap orang yang kau lihat maka orang yang kau remehkan sekarang ini bisa membunuhmu!" Tatapan Randika menjadi serius. "Lain kali kalau kau berani meremehkanku lagi, aku akan memotong jarimu ini."
Namun, Vero berteriak keras. "Tolong aku! Ada pencuri"
Mendengar hal itu, Randika menghela napas dingin. Dia lalu melepas jari Vero tetapi dia berhasil menekan beberapa titik akupuntur sebelum dia melepasnya.
Vero dengan cepat berlindung di balik kedua pengawalnya. Tatapan matanya dipenuhi dengan kebencian pada Randika.
Pada saat ini, orang-orang mulai berkumpul karena teriakan minta tolong Vero. Boneka ginseng di pundak Indra merasa penasaran kenapa begitu banyak orang berkumpul. Ia menjadi cemas dan melompat tidak karuan di atas kepala Indra.
Randika tidak berbicara maupun bergerak. Namun, tiba-tiba para penonton ini berteriak histeris.
Vero merasa bangga atas kepintarannya itu, dia tidak ingin membunuh Randika melainkan membuatnya malu.
Tetapi, dia merasa ada yang aneh. Para pejalan kaki itu menunjuk ke arahnya.
Ada apa memangnya?
Tiba-tiba, Vero merasa ada yang mengalir ke celananya dan raut wajahnya segera berubah. Kenapa dia mengompol?
Para pejalan kaki yang melihatnya semua tertawa melihatnya.
Air pipis yang kuning itu dengan cepat menjadi genangan air dan Vero tidak bisa menghentikannya meskipun sudah ngeden.
"Hahaha!"
Semua pejalan kaki itu merasa terhibur.
"Wah nenek lupa pakai popoknya!"
"Percuma kaya kalau tidak bisa menjaga tata krama, masa pipis saja di jalan."
"Ternyata orang kaya bisa ngompol juga."
Mendengar ejekan ini, Vero merasa sudah tidak punya wajah. Dia menatap pria yang dia rasa bertanggung jawab terhadap semua kejadian memalukan ini.
Dasar bajingan!
"Aku akan membunuhmu bocah desa!"
Kedua pengawalnya dengan cepat menerjang Randika. Namun, keduanya dibuat melayang oleh Randika dengan satu tendangan dan menabrak Vero dengan keras.
"Jangan sentuh aku, aku ini gila kebersihan tahu!" Kata Randika dengan santai.
Pada saat ini, Vero tertindih oleh salah satu pengawalnya. Genangan air pipisnya membuat bajunya semakin basah, hal ini membuatnya menjadi semakin malu.
Para pejalan kaki yang melihatnya semakin tertawa keras.
"Apanya yang lucu!" Vero dengan cepat berdiri dan berteriak ke arah kerumunan.
Randika sudah berniat untuk pergi meninggalkan tempat itu tetapi tiba-tiba Vero berteriak ke arahnya. "Hei bocah miskin, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!"
Vero dengan cepat menghampiri Randika dengan sebuah pisau yang dibawanya. Tetapi, tatapan dingin Randika membuatnya merinding ketakutan.
Vero menghentikan langkahnya dan merasa panik di dalam hatinya.
Selama perempuan ini yang menyerangnya, Randika akan dianggap membela diri. Tetapi perempuan ini sekarang terdiam jadi dia tidak bisa menyerangnya. Justru keadaan buntu ini membuat Randika bisa berpikir jernih. Berapa persen kekuatan tendangan yang perlu dia berikan pada perempuan gemuk ini, dia khawatir akan membunuhnya apabila terlalu kuat menendangnya.
Melihat tatapan dingin dan tajam Randika, tanpa sadar membuat Vero mengambil satu langkah mundur. Tetapi mendengar suara tawa para pejalan kaki membuat dia membulatkan tekadnya.
"Mati kalian berdua!" Teriak Vero sekuat tenaga.
Para penonton terkejut mendengar teriakan Vero itu. Kedua pengawal Vero tidak punya pilihan selain untuk ikut menerjang.
"Jangan biarkan kedua bocah miskin ini lari dari sini, aku ingin melihat mayat mereka dikubur hari ini juga!" Kemudian Vero menunjuk ke arah boneka ginseng. "Benda itu jangan kalian bunuh, benda itu milikku!"
"Nyonya tidak perlu khawatir." Meskipun mereka terpental tadi, tatapan mata mereka tidak menunjukan rasa takut sedikitpun.
"Sekarang kalian akan menyesal tidak menerima penawaranku yang tadi. Sekarang aku akan membuat kalian menderita!" Tatapan mata Vero sudah seperti orang gila, dia merasa bahwa kedua orang ini akan tergeletak di rumah sakit sebentar lagi.
Beberapa pejalan kaki hanya bisa melihat mereka. Perempuan paruh baya itu benar-benar kejam. Dengan adanya senjata dan kedua pengawal itu, para pejalan kaki itu sudah siap menelepon ambulans buat Randika.
"Kak, biarkan aku yang menghajar mereka." Kata Indra dengan ekspresi serius. Randika lalu menghalanginya sambil mengatakan. "Biarkan aku saja, kau tidak bisa mengatur kekuatanmu dengan baik."
Kedua pengawal itu mencoba pendekatan yang berbeda, mereka akan mengepung kedua orang yang menyinggung perasaan majikannya itu. Mereka merasa tendangan Randika yang tadi hanyalah kebetulan karena mereka meremehkannya. Sekarang mereka akan bertarung sekuat tenaga.
Keduanya segera menerjang Randika dan Vero sudah tertawa seperti orang gila di samping. Para pejalan kaki sudah berdoa untuk kesalamatan Randika.
Tetapi, salah satu dari pengawal itu mendarat tepat di kaki Vero.
Tawa Vero tidak lagi terdengar dan keprihatinan para pejalan kaki menjadi kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ketika mereka menatap Randika, dia ternyata sudah berhasil menangkap pergelangan tangan si pengawal dan menaruhnya di belakang punggungnya.
Lalu Randika menendangnya dan dia mendarat tepat di kaki Vero.
"Kalian menganggap diri kalian seorang pengawal? Kalian hanya dua orang lemah!" Kata Vero pada kedua pengawalnya itu. "Kalian bahkan tidak bisa mengalahkan dua bocah miskin itu, kalau kalian tidak segera membunuhnya kalian akan kupecat!"
Kedua pengawal ini dengan cepat berdiri dan perlahan menghampiri Randika.
Randika lalu mengejek mereka dengan meludah di tanah dan menyuruh mereka menyerangnya bersamaan.
Kali ini, kedua pengawal ini menyerang dari kiri dan kanan. Randika dengan cepat menghampiri salah satu dari mereka dan mencengkeram erat pergelangan tangannya. Randika lalu memutar tangannya dan tubuh si pengawal tersebut langsung berlutut di tanah. Dia merasa tangannya mau patah.
Saat ini, serangan pengawal satunya sudah hampir mengenai Randika. Hanya menggeser kepalanya sedikit Randika berhasil menghindarinya. Lalu Randika mencengkeram erat pergelangan tangannya dan sekarang kedua pengawal tersebut ditahan oleh Randika.
Satu per satu lalu dibuat pingsan oleh Randika. Setelah itu Randika menatap tajam pada Vero yang tidak jauh darinya.
Melihat hal ini Vero sudah gemetar ketakutan. "Kalian… Kalian mau apa!"
Randika berjalan menghampirinya dan berkata dengan nada dingin. "Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhmu. Aku tidak mau mengotori tanganku yang bersih ini."
Dengan cepat Vero berlari menjauhi Randika namun dia tersandung. Bajunya yang sudah tidak muat itu menjadi robek oleh karenanya. Perut gemuknya dengan cepat menyembul keluar dan terekspos.
"Ah!" Vero berteriak kesakitan dan para pejalan kaki ini menikmati hiburan tidak biasa ini.
"Indra, cepat ikat orang ini di sana!" Kata Randika pada Indra.
"Oh…" Indra lalu menuruti Randika dan mengangkat Vero yang masih tergeletak di tanah. Dia lalu mengikat Vero di tiang rambu yang ada di pinggir.
Vero, dengan perutnya yang menyembul keluar, terikat kuat di tiang dan menjadi bahan tertawaan banyak orang.
Randika dan Indra lalu meninggalkan perempuan tua itu dan melanjutkan rencana makan siang mereka.
Selagi mereka berjalan, boneka ginseng itu tiba-tiba mengeluarkan suara seakan-akan sedang meminta maaf pada Indra.
Lalu, di bawah tatapan tajam Randika, boneka ginseng itu meluncur turun dari pundak Indra dan belari.
"Kau tidak bisa kabur!" Randika dengan cepat berusaha menangkapnya tetapi usahanya lagi-lagi gagal.
Boneka ginseng ini sekali lagi menghilang.
Randika menampar tanah dengan keras sedangkan Indra hanya menggaruk-garuk kepalanya. "Kak, aku tidak mengerti mengapa dia pergi."
Randika lalu berdiri. "Tidak apa-apa. Nanti kalau dia datang lagi, beritahu aku."
"Baiklah." Indra menganggukan kepalanya.
Lagi-lagi misi Randika untuk menyembuhkan dirinya itu tertunda lagi.