Keesokan harinya.
Randika terbangun dan menyadari bahwa dirinya tertidur di sofa.
Semalam benar-benar gila, para perempuan itu mengajaknya bermain semalaman. Randika benar-benar mabuk dan pingsan.
Di tengah ruangan, Hannah dan teman-temannya pada tidur di lantai dengan segala macam suara ngorok dan gaya tidur. Beberapa bahkan memeluk satu sama lain, terlihat sangat erotis. Bahkan di dada Randika ada seseorang yang tidur.
Semalam memang benar-benar gila, setelah mereka bermain truth or dare, Randika dibawa ke lantai dansa dan menari sambil mabuk-mabukan. Yang terakhir mereka ingat hanyalah suara musik yang keras dan canda tawa mereka.
Randika lalu memindahkan perempuan yang tidur di atasnya dan berdiri. Dia lalu melihat lautan manusia yang memenuhi lantai itu.
"Gila, berapa banyak orang yang diundang Hannah?" Randika tersenyum pahit.
Randika lalu menyadari bahwa Hannah lah yang tidur di atasnya tadi. "Hei bangun, ayo cepat bangun."
Di bawah serangan guncangan Randika, Hannah akhirnya terbangun.
Setelah menguap dan mengucek matanya, Hannah akhirnya tersadar.
Pada saat ini, Ibu ipah berjalan ke ruang tamu dengan sapu di tangannya. Melihat anak-anak muda ini masih pada tidur, dia hanya bisa menghela napas. "Anak muda jaman sekarang memang mengecewakan, mau jadi apa negara ini."
"Nak Randika, sarapan sudah siap. Tolong bawa nona muda untuk makan juga."
"Ah Bu Ipah, sebelum itu kita harus membawa anak-anak ini pulang dulu." Randika lalu meminta Ibu Ipah menelepon bis sewaan dan membangunkan anak-anak ini.
Satu per satu dari mereka mulai sadar. Para perempuan yang kemarin berpesta dengan liar sudah berganti menjadi perempuan feminim kembali. Mereka tersipu malu karena telah menunjukan diri mereka yang begitu liar kemarin malam.
"Kak, tolong bantu aku antar mereka kembali dengan selamat." Kata Hannah sambil tersenyum.
"Kau hanya ingin cepat kabur dari kakakmu kan?" Kata Randika sambil menatapnya tajam.
"Bukan begitu, aku takut ada kenapa-kenapa dengan mereka. Kalau nanti kejadian di hotel Mawar itu terulang lagi bagaimana? Kalau ada kak Randika aku jadi tenang deh." Dengan cepat Hannah memberikan penjelasan.
Setelah berdebat sedikit, Randika akhirnya setuju membawa teman-temannya ini kembali ke asrama. Universitas Cendrawasih cukup jauh dari sini, jadi kekhawatiran Hannah memang ada dasarnya.
Tidak lama kemudian, dua bus sewaan telah datang dan membawa mereka semua pergi. Hannah dan Randika berbagi tugas dan berpisah.
Setelah bus tersebut tiba dengan selamat, Randika lalu menghampiri Hannah.
"Kak terima kasih ya." Hannah tersenyum manis dan mengatakan. "Aku masih ngantuk jadi aku duluan ya."
Randika lalu menatap adik iparnya itu sambil menggelengkan kepalanya. Sudah dia yang harus membayar bus tersebut sekarang dia disuruh jalan kaki ke rumah?
"Hahaha jangan marah begitu dong kak. Tadi itu aku butuh bantuanmu, aku tidak mau temanku terlibat bahaya lagi seperti sebelumnya. Bagaimana kalau kak Randika jalan-jalan saja di kampusku ini? Sapa tahu ada perempuan yang terpincut denganmu." Hannah lalu melihat jam dan menjadi panik. "Sialan, sudah jam 10! Aku ada kelas yang tidak bisa kutinggal, sampai sini dulu ya kak!"
Melihat sosok Hannah yang lari meninggalkan dirinya, Randika hanya bisa menepuk dahinya.
Setelah membayar dua bus itu, Randika sudah tidak punya uang untuk membayar taksi. Jadi dia memutuskan untuk jalan-jalan dulu saja, menikmati hari yang cerah ini di bawah pemandangan indah para bibit muda.
Namun, baru berjalan sebentar Randika sudah bertemu dengan temannya.
Di hadapannya, ada seorang dosen yang berjalan menuju dirinya. Bukankah itu Christina?
Christina tampaknya sedang memikirkan sesuatu dan tidak memperhatikan jalan. Ketika dia berjalan, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri diam di hadapannya. Dengan cepat dia bergerak ke samping tetapi orang tersebut juga ikut bergerak ke samping.
Ketika Christina mengangkat kepalanya, wajah itu terlihat familiar.
"Selamat pagi Christina, senang bertemu denganmu."
Wajah yang familiar, senyum nakal yang familiar.
Menatap Randika dengan tajam, wajah Christina segera menjadi buruk.
"Rupanya itu kamu." Christina langsung memalingkan wajahnya. "Minggir, aku ada urusan."
"Hei jangan terburu-buru begitu, aku hanya ingin bertukar kabar." Kata Randika sambil tersenyum.
"Memangnya apa yang ingin kau bicarakan?" Christina mencopot kacamatanya dan matanya dipenuhi rasa jijik. "Apa kau ingin membicarakan operasi pembesaran dada lagi?"
"Ha? Operasi apa? Mana mungkin aku sevulgar itu!" Randika langsung terlihat panik.
Christina mendengus dingin. Bagaimanapun juga, orang ini sudah menyelamatkan dirinya dari benda aneh itu sebelumnya. Mungkin dia hanya sedang khawatir pada dirinya ini.
"Tapi… topik hari ini tetap tentang dada kecilmu itu." Ketika mendengar hal tersebut, ekspektasi Christina benar-benar hancur dan dia sudah muak melihat wajah Randika.
"Pergi sana!" Randika masih menghalangi Christina untuk pergi.
Wajah Christina yang marah namun tetap cantik itu membuat Randika tidak bisa meninggalkannya tanpa mencicipinya.
"Christ, aku cuma bercanda barusan. Aku hanya ingin kita berbicara denganmu mengenai masalah yang serius." Randika terus menghalangi jalur kabur Christina.
Wajah Christina masih sedingin sebelumnya. "Topikmu hanya topik yang menyinggung diriku."
Randika mengerutkan dahinya. "Apakah akhir-akhir ini dadamu terasa sakit?"
Christina yang awalnya ingin kabur itu tiba-tiba berhenti. Dia lalu melihat tatapan mata Randika terlihat serius ketika mengatakannya. Bagaimana mungkin orang ini tahu keadaan dirinya yang sakit ini?
Memang awalnya dadanya hanya terasa sedikit sakit, tetapi lama kelamaan, rasa sakit itu terus terasa dan makin kuat.
Christina sudah pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya, tetapi kata dokter tidak ada masalah apa pun. Christina juga memastikannya dengan pergi ke 3 rumah sakit lainnya, tetapi rasa sakit itu masih terus terasa hingga sekarang.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Christina menatap Randika.
Randika lalu menjawab sambil tersenyum. "Tentu saja aku tahu, aku bisa melihatnya ketika aku menciummu waktu itu."
"Kau!" Christina sudah muak melihat Randika dan dia sudah berjalan menjauhinya. Tiba-tiba Randika menghalanginya lagi.
"Tunggu! Aku hanya bercanda tadi." Kata Randika sambil tersenyum. "Sejujurnya, penyakitmu ini agak sedikit berbeda dan rumit, rumah sakit tidak mungkin bisa melihatnya. Apakah kamu sudah mencoba pergi ke sana sebelumnya?"
Melihat Christina tidak membantahnya, Randika melanjutkan. "Penyakitmu masih tahap awal, selama kamu tidak menyembuhkannya maka rasa sakitmu itu akan bertambah sakit setiap harinya. Bisa-bisa nyawamu terancam."
Mendengar penjelasan Randika, Christina sedikit ketakutan. Apakah orang ini serius?
"Jangan meremehkan penyakitmu." Randika sepertinya bisa menduga apa yang ada di pikiran Christina saat ini. "Jika kau tidak mengobatinya segera maka hidupmu bisa-bisa berakhir tidak lama lagi."
"Bagaimana caranya untuk menyembuhkannya?" Tanya Christina.
"Simpel." Randika menyeringai. "Tuhan telah memberikan jawabannya di hadapanmu ini."
"Maksudnya kamu?" Wajah Christina langsung dipenuhi dengan keraguan. Dia mencurigai bahwa ini mungkin saja taktik Randika untuk mendekati dirinya.
"Hahaha kenapa wajahmu meragukanku begitu? Aku pernah belajar ilmu pengobatan tradisional. Meskipun aku tidak sampai menjadi ahli, aku masih bisa menyembuhkan beberapa penyakit." Melihat ekspresi Christina yang ragu itu, Randika langsung berusaha meyakinkannya.
Christina mengerutkan dahinya. "Sungguhan?"
"Hanya aku yang bisa menyembuhkan dirimu." Kata Randika dengan serius.
"Masa?"
Randika sedikit jengkel mendengarnya, apa perempuan ini tidak takut nyawanya akan melayang?
Christina masih berpikiran bahwa orang ini hanya berusaha mendekatinya.
"Jadi cuma itu yang ingin kau sampaikan?" Tanya Christina.
"Iya."
"Kalau begitu pergi sana, aku ada urusan." Kata Christina dengan nada serius.
"Ah? Tunggu!" Randika tidak habis pikir, perempuan ini benar-benar bodoh atau apa?
Christina sudah malas berurusan dengan Randika, jadi dia hanya melewatinya dengan muka dingin.
Melihat sosok Christina yang pergi itu, Randika menggaruk-garuk kepalanya. Padahal aku sudah menghindari topik pembesaran dada, kenapa dia masih mengamuk?
Penyakit Christina itu masih sedikit lama untuk mencapai tahap membahayakan, jadi Randika berusaha melupakannya dan menyelamatkannya di saat yang tepat.
Setelah berjalan beberapa menit, handphone milik Randika bergetar.
"Han, kenapa meneleponku? Bukannya kau ada kelas?" Randika tidak tahu masalah apa lagi yang menimpa adik iparnya ini.
"Kak, cepat ke sini! Ada orang bajingan yang melabrakku." Di balik suara Hannah, terdengar nada jengkel dan marah.
Dilabrak?
"Kamu di mana sekarang? Aku segera ke sana!" Randika menjadi cemas.