Keesokan harinya, semuanya balik ke kota Cendrawasih dengan selamat. Setelah berpamitan, semuanya pulang ke rumah masing-masing.
"Capeknya!"
Ketika masuk ke dalam rumah, Randika segera duduk di sofa setelah menaruh barang-barang belanjaan Inggrid yang berjibun. Hari kedua dari 'liburan' ini benar-benar neraka bagi Randika. Para perempuan itu benar-benar tidak memberi ampun padanya.
Dia merasa seluruh toko di pulau kura-kura itu sudah dia jelajahi dan setiap para perempuan itu keluar, mereka pasti membawa keluar barang belanjaan! Bagaimana bisa para perempuan itu begitu kuat?
Inggrid mencuekin Randika dan memeriksa barang belanjaannya. Pada dasarnya dia suka berbelanja jadi liburan kemarin benar-benar menyenangkan baginya.
Namun, tiba-tiba Randika memeluk Inggrid dari belakang dan berbisik di telinganya. "Sayang, kenapa kau beli begitu banyak barang?"
"Karena ada kamu yang bisa membawakannya." Kata Inggrid dengan santai. Dia lalu kembali memeriksa belanjaannya itu.
Randika bingung harus berekspresi seperti apa. Namun setelah melihat ekspresi senang Inggrid, semua kelelahan itu terasa hilang dari dalam dirinya.
Meskipun dia telah menderita, bukankah pada akhirnya tujuannya adalah membahagiakan istrinya?
Tiba-tiba, setan kecil di pundak Randika mulai berulah. Randika merasa bahwa sudah lama dia tidak bermesraan dengan istri tercintanya itu. Dia juga mulai mengerti titik-titik erotis milik Inggrid.
Kalau dia tidak memberi istrinya pelajaran, bagaimana bisa dia bisa disebut suami?
Randika lalu memeluk Inggrid sekali lagi. "Sayang, apa perlu kita kembali lagi ke sana setelah ini?"
Inggrid hanya menatapnya dengan tajam. "Tidak mau!"
"Ah?"
Tiba-tiba, Randika menggandeng Inggrid dan menyeretnya ke sofa. Di sana, Randika mulai memainkan tipu muslihatnya.
"Sayang, aku perlu tahu perkembangan tubuhmu setelah kamu berjemur seharian di sana. Jangan sampai kulit putihmu ini rusak." Kata Randika sambil tersenyum. Tangannya yang seperti capit itu sudah mengunci dada Inggrid.
Pada saat ini, suara Ibu Ipah tiba-tiba terdengar dari belakang. "Selamat datang nona, apakah Anda perlu bantuanku untuk menyimpan semua barang ini?"
Terkejut, badan Randika menjadi kaku dan Inggrid segera mendorong Randika dengan wajah merah.
Randika segera berdiri dan membalikan badannya. "Ibu Ipah lama tak berjumpa."
"Jangan khawatir, ibu tidak lihat apa-apa barusan." Kata Ibu Ipah dengan santai. "Aku hanya ingin membantu nona membereskan barang-barang ini."
"Tidak apa-apa, aku bisa melakukannya sendiri." Inggrid merasa wajahnya masih panas karena rasa malunya itu. Ketika Ibu Ipah sudah pergi, Inggrid menatap Randika tajam-tajam. Randika sendiri justru tertawa ketika Ibu Ipah meninggalkan mereka.
.........
Besoknya Inggrid dan Randika berangkat bersama-sama menuju kantor. Setelah pergi beberapa hari, ada yang harus diurus oleh Inggrid.
Ketika Randika masuk ke dalam ruangannya, handphonenya tiba-tiba bunyi.
Setelah mengangkatnya, terdengar suara super dingin seorang wanita.
"Aku di bawah."
Lalu telepon itu langsung ditutup.
Randika sedikit kesal, perempuan itu kenapa tidak sopan sekali.
Ketika dia di lobi, Randika celingak-celinguk dan menyadari bahwa Elva berada di luar gedung.
Sambil berjalan keluar, tatapan Randika sama sekali tidak lepas dari dada Elva. Yah bisa dikatakan perempuan ini mengikat dadanya hingga rata seperti papan.
Benar-benar pemandangan menyedihkan baginya, kenapa gunung yang indah itu harus menderita?
Melihat tatapan mesum Randika, Elva mendengus dingin dan memalingkan wajahnya. Kenapa pria ini begitu mesum?
"Kali ini butuh apa dariku?" Kata Randika sambil tersenyum.
"Ada pengkhianat di organisasiku yang perlu untuk dibereskan." Kata Elva.
"Oh? Terus?"
Terus?
Elva terkejut mendengar tanggapan Randika. Apa maksudnya ini kurang jelas? Pria ini bodoh atau apa?
"Dia terlalu hebat, aku tidak bisa apa-apa melawannya." Kata Elva.
Randika lalu memperhatikan Elva. Perempuan ini benar-benar perempuan tangguh dan harga dirinya tinggi jadi dia rasa Elva belum pernah meminta bantuan orang lain.
Karena Elva terlihat judes di mata Randika, dia memutuskan untuk mendorong hal ini lebih lanjut.
Randika lalu tertawa dan mengatakan. "Terus?"
"Kau bodoh atau apa?" Elva membentak Randika.
"Aku kira kamu cuma ingin curhat, bagaimana mungkin aku tahu apa yang kau inginkan dariku kalau kau tidak mengatakannya?" Randika menggelengkan kepalanya.
Bajingan!
"Baiklah… Jadi kau bisa membantuku menangani orang itu atau tidak?" Kata Elva sambil menenangkan dirinya.
"Permintaanmu terdengar tidak tulus, aku mencium aroma amarah di kata-katamu." Randika memalingkan wajahnya. Elva ingin menangis darah sekarang juga.
"Aku mohon pertolonganmu." Kata Elva sambil menggertakan giginya.
"Masih terasa tidak tulus, mana magic wordnya?" Kata Randika sambil mengupil.
Elva benar-benar ingin menangis darah. Pertama kali dalam hidupnya dia meminta bantuan ke orang lain dan kenapa orang itu harus bajingan di hadapannya ini. Apakah dia harus berlutut dan meminta tolong?
"Tolong aku, aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu." Kata Elva sambil tersenyum canggung.
"Tidak mau." Jawaban Randika singkat, padat dan jelas. Tidak memberikan Elva kesempatan untuk menyanggahnya.
"Kenapa kau tidak bisa membantuku?" Elva jelas terkejut bukan main mendengar jawaban Randika.
Buat apa memangnya Randika membantunya secara cuma-cuma?
"Jangan lupa kalau aku sudah membantumu di kota Merak kapan hari." Elva merasa ingin berteriak di samping telinga pria itu.
Mendengar hal ini, Randika hanya tersenyum. "Kalau begitu, anggap bantuanku yang membawa ke rumah sakit sudah lunas."
Bukan kau saja yang bisa memainkan kartu ini!
Elva benar-benar tidak berkutik melawan satu orang ini. Setiap kata yang keluar dari mulut Randika berhasil memicu amarahnya. Perasaan seperti ini, baru pertama kali ini benar-benar dia rasakan selama hidupnya.
Elva sudah memalingkan wajahnya dan tidak peduli lagi dengan Randika. Ketika dia mengintip, dia melihat Randika sudah berjalan meninggalkan dirinya dan berjalan menuju gedung.
Elva lalu berbalik dan berteriak.
"Apakah kau benar-benar tidak bisa membantuku?" Elva benar-benar sedang terburu-buru dan tidak tahu harus ke mana lagi.
Randika lalu berputar sambil tersenyum padanya. "Kalau kau berjanji memperbaiki sikapmu padaku maka aku akan membantumu."
Elva tidak berkutik, dia benar-benar butuh bantuan Randika jadi dia mengangguk.
Setelah itu, Randika berjalan berdampingan dengan Elva. "Ceritakan padaku."
Melihat Randika yang serius, Elva mulai bercerita tentang permasalahannya. "Nama orang ini adalah Leo, dia adalah anggota elit dari Arwah Garuda. Dia telah menjalani misi penting dan mendapatkan banyak informasi penting. Dia sempat memiliki pemikiran untuk berkhianat setelah mendapatkan informasi-informasi berskala internasional. Tidak lama ini, dia melarikan diri bersama informasi tersebut. Untungnya, kita mengetahui masalah ini dengan cepat dan berhasil memastikan keberadaan Leo. Dia seharusnya masih berada di kota Cendrawasih ini."
"Maksudku bukan itu." Randika berhenti berjalan dan menatap kosong pada Elva.
Elva bingung dengan maksud Randika barusan. Bukankah dia ingin mengetahui targetnya kali ini?
"Maksudku." Randika lalu menatap dada Elva. "Kenapa kau begitu rata hari ini?"
Ketika mendengar hal ini, Elva langsung mengamuk dan membentak Randika. "Dasar bajingan!"