Karena masih harus memasang kamera dan membuat poster bahwa dia membuka lowongan pekerjaan paruh waktu, Hannah benar-benar sibuk. Dia bahkan rela membolos kelas untuk mempersiapkan bisnis tokonya ini.
Sambil menutup mata terhadap semua masalah itu, Randika pulang sendirian.
Saat dia mencapai rumah, Inggrid ternyata sudah sampai di rumah juga.
"Sayangku ternyata sudah pulang." Kata Randika sambil tersenyum. Setelah melepas sepatunya, dia menghampiri Inggrid.
"Dari mana kamu?" Melihat Randika yang baru pulang, Inggrid langsung bertanya.
"Hmm…" Randika awalnya ingin mengatakan bahwa dia sedang membantu adik iparnya tetapi Hannah memberitahunya jangan membicarakan masalah bisnis toko ini pada Inggrid. Jadi Randika memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
"Wah aku tidak menyangka bahwa kau sangat peduli dengan suamimu ini. Sebelum itu, mana ciuman selamat datangku? Bukankah setiap istri akan menyambut kedatangan suaminya dengan ciuman hangat?"
Melihat Randika yang benar-benar ingin menciumnya, Inggrid memalingkan wajahnya. "Pasti kamu sedang menggoda perempuan cantik lainnya."
"Ah! Bisa-bisanya kau meragukan cintaku ini? Mau aku memberikanmu hukuman keluarga kita lagi?" Kata Randika sambil menyengir.
Mendengar hal ini, Inggrid langsung berteriak dan lari ke dalam kamarnya.
Tetapi siapa yang bisa kabur dari genggaman tangan Ares?
Mereka berdua menghabiskan waktu di kamar selama 10 menit. Ketika Randika keluar, wajahnya sudah terlihat puas dan bahagia. Sedangkan Inggrid yang terbaring di kasurnya berwajah merah dan napas terengah-engah.
Tentu saja, selain memberikan pukulan pantat, Randika bermain dengan tubuh Inggrid dan terakhir ditutup oleh ciuman panas.
Ketika melihat Randika keluar, Inggrid bingung harus berekspresi apa selain malu.
...........
Hari berikutnya Randika datang ke kantor seorang diri. Kejadian semalam membuat Inggrid tidak mau semobil dengannya.
"Lho pak Randika tumben datang pagi sekali?" Seorang ahli parfum terlihat terkejut melihat Randika. Biasanya atasannya ini datang saat siang hari, jadi kedatangannya di pagi hari ini benar-benar tidak biasa.
"Selamat pagi pak Randika." Meskipun terkejut, semua karyawan ini menyambut atasan mereka dengan senyuman hangat.
Sambil membalas sapaan orang-orang, Randika menyapu seluruh ruangan ini dengan tatapan matanya. Dia merasa hari ini kekurangan satu orang.
Di manakah Viona?
Seharusnya Viona sudah berada di ruangan miliknya ini. Lalu dia kepikiran apakah dia sedang berada di laboratorium milik Kelvin?
Setelah itu Randika mengambil handphonenya dan memanggil Kelvin.
"Ah halo pak Randika, ada apa?" Tanya Kelvin dari teleponnya.
"Apa Viona sedang kerja di tempatmu?"
"Tidak, memangnya kenapa?" Jawab Kelvin.
"Oke kalau begitu, nanti aku akan memeriksa hasil kerjamu." Kata Randika sambil menutup teleponnya.
Berarti Viona terlambat masuk?
Randika mengerutkan dahinya, kejadian seperti ini cukup tidak biasa.
Merasa cemas, Randika segera keluar dari ruangannya dan menuju ke lift. Saat pintu lift itu terbuka, Viona keluar dari lift. Dalam sekejap rasa cemas Randika itu segera menghilang.
"Pagi Vi." Kata Randika dengan senyuman hangat.
"Randika." Melihat bahwa yang menyapanya adalah Randika, dia segera menutup wajahnya. Apabila diperhatikan, wajah Viona terlihat buruk dan matanya merah seakan-akan telah menangis semalaman.
Melihat hal ini hati Randika terasa sakit. Dia dengan cepat bertanya. "Kamu kenapa? Kenapa wajahmu seperti itu?"
Ketika mendengar hal ini, air mata Viona malah menetes kembali.
"Ran… aku, aku…" Viona sedikit ragu-ragu mengatakan masalahnya.
Randika tanpa banyak tanya langsung memeluk Viona dan mengusap-usap rambutnya.
"Apa pun yang telah terjadi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan membantumu melaluinya." Kata Randika dengan nada menenangkan.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, Viona sudah tenang dan melepas pelukan Randika. "Kemarin nenekku masuk rumah sakit. Dia kemarin di ruangan UGD semalaman karena pertolongan tiba agak lama di rumahnya."
"Tidak apa-apa, kau tidak usah khawatir. Hari ini setelah bekerja aku akan menemanimu ke sana." Randika perlu tahu penyakit apa yang diderita neneknya sebelum bisa mengatakan bahwa dia akan membantu neneknya.
"Baiklah." Viona mengangguk sambil mengusap air matanya.
Waktu berjalan dengan cepat dan hari sudah berganti menjadi sore. Ketika jam kerja mereka telah selesai, Randika dan Viona berangkat bersama menuju rumah sakit umum Cendrawasih.
Selama perjalanan, Randika bertanya mengenai kejadian yang terjadi semalam. Ternyata tengah malam kemarin, nenek Viona tiba-tiba pingsan dan ambulans membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tiba di rumah neneknya. Meskipun kondisinya sudah stabil, neneknya masih tidak sadarkan diri.
Bisa dikatakan bahwa kondisi neneknya masih tidak diketahui.
"Tenang saja, semua akan baik-baik saja." Kata Randika dengan nada menenangkan. Dia percaya diri bisa menyelamatkan nenek Viona.
Setelah membeli beberapa barang, mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Tidak lama kemudian, Randika akhirnya bertemu dengan nenek Viona yang masih terbaring di ranjangnya.
"Nenek…" Ketika melihat neneknya terbaring lemah di ranjangnya, air mata Viona tidak bisa berhenti keluar.
"Vi, kamu tenang saja." Kata Randika sambil memegang tangan Viona.
Pada saat ini, dokter dari nenek Viona masuk ke ruangan. Dengan cepat Viona bertanya padanya. "Dok, apa nenekku akan baik-baik saja?"
Dokter itu menatap Viona dan menggelengkan kepalanya. "Aku harap Anda bersiap dengan kemungkinan terburuk. Keadaan beliau tidak bagus."
Ketika mendengar hal ini, Viona sudah nyaris pingsan. Untungnya Randika ada di sana bersamanya.
"Saya minta maaf karena menyampaikan berita buruk ini secara terus terang. Saya pamit dulu." Kata dokter itu pada mereka berdua.
Randika lalu menoleh dan menatap nenek Viona itu. Saat ini dia terbaring tenang dan tertidur lelap. Kemungkinan dia bangun mungkin sudah di angka 40-60.
"Biarkan aku melihatnya dulu." Kata Randika pada Viona.
Randika lalu memeriksa denyut nadi dan merasakan otot-ototnya. Setelah memeriksanya, kerutan di dahi Randika benar-benar besar.
Situasinya benar-benar lebih buruk dari bayangannya. Bisa dikatakan bahwa nenek Viona tidak memiliki penyakit berbahaya. Sebaliknya, keadaan tubuhnya benar-benar sehat. Tetapi karena dia sudah terlalu tua, organ-organ di dalam tubuhnya sudah kehilangan fungsinya. Bisa dikatakan bahwa waktu nenek Viona telah habis jadi sangat kecil kemungkinannya untuk menyelamatkannya.
Meskipun menguasai beberapa teknik pengobatan tradisional, Randika masih tidak bisa menemukan cara yang tepat untuk menyembuhkannya.
Setelah berpikir keras dan mengingat-ingat ajaran kakeknya, Randika masih tidak dapat menemukan cara.
Randika menghela napas. Bahkan jika kakek ketiganya berada di sini, mungkin situasinya tidak seberapa jauh berbeda. Meskipun kakeknya memiliki cara untuk memperpanjang umur nenek Viona, organ-organ internal neneknya ini tidak akan tahan terhadap stimulant seperti itu. Takutnya sebelum obatnya itu bekerja, organ-organ itu sudah berhenti berfungsi terlebih dahulu.
Randika lalu menoleh ke arah Viona dengan wajah murung sambil menggelengkan kepalanya. Dalam sekejap, seluruh tubuh Viona terlihat bergetar dan akhirnya dia jatuh dan memeluk neneknya dalam keadaan menangis.
"Vi jangan sedih seperti itu, aku akan memikirkan cara lain." Kata Randika dengan nada menenangkan.
Setelah menangis beberapa saat, Viona akhirnya berhenti menangis. Matanya sekarang semakin bengkak dan merah.
Randika ingin mengubah suasana dengan mengajaknya makan tetapi Viona bersikeras ingin tetap tinggal bersama neneknya. Jadi Randika pergi sendirian ke kantin.
Setelah keluar dari ruangan, isi pikiran Randika benar-benar bercampur aduk. Dia belum pernah menangani kasus seperti ini. Setelah berpikir keras, dia masih mengalami kebuntuan.
Sambil menghela napas, Randika mengambil handphonenya dan menelepon kakek ketiga.
"Mau apalagi sekarang kamu? Kalau ada masalah baru ingat rumah, kakekmu ini bukan orang sakti tahu! Sudah cepat katakan masalahmu."
Randika lalu menjelaskan situasi dari neneknya Viona dan setelah itu kakek ketiga langsung menjadi marah. "Kau ini ada-ada saja, masalahmu sendiri saja belum selesai malah ngurusin masalah orang lain. Kalau sudah buntu kamu larinya ke kakek, pusing kakek melihatmu ini."
Males mendengar ceramah kakeknya ini, Randika dengan cepat menanyakan. "Bagaimana kek, kakek bisa menyelamatkannya?"
"Tidak."