Chapter 184: Hilangnya Inggrid

Name:Legenda Dewa Harem Author:Lao_Ban69
Merasa resah, Randika menelepon sekretaris Inggrid.

"Halo, apa Inggrid sedang lembur di kantor?" Suara Randika mengandung rasa cemas.

"Benar, tapi sejam yang lalu Bu Inggrid sudah pulang." Jawab si sekretaris.

Hati Randika mulai mengepal. Jika istrinya itu sudah pulang sejam yang lalu, seharusnya dia sudah lama berada di rumahnya. Hanya ada satu kesimpulan, Inggrid tertimpa masalah lagi.

Randika dengan cepat menghubungi handphone Inggrid. Meskipun berdering, tidak ada jawaban sama sekali.

Randika mencobanya lagi tapi hasilnya tetap sama.

Inggrid terlibat masalah apa?

Randika mengerutkan dahinya, dia tidak dapat menemukan petunjuk apa pun. Seharusnya dia sama sekali tidak menyinggung siapapun akhir-akhir ini. Jadi siapa yang mencari gara-gara dengannya?

Perusahaan Cendrawasih juga sedang tidak berada dalam konflik dengan perusahaan lain. Jadi Randika sama sekali tidak kepikiran siapa pelakunya.

Tidak, tidak, tidak, Randika harus berpikir apa yang aneh hari ini.

Yang dia bisa tahu adalah Inggrid hari ini berangkat sendirian memakai mobilnya karena supirnya tidak bisa datang. Berarti besar kemungkinan pelaku menyadari ini dan mengambil kesempatan.

Randika langsung kepikiran dengan dua keluarga yang ada di Jakarta itu. Tetapi setelah kedatangan kakek keduanya, bisa dikatakan bahwa masalah dengan keluarga itu sudah selesai dan kedua keluarga itu sudah tidak mengusik Inggrid lagi.

Setelah berpikir begitu lama, Randika menghela napas dalam-dalam. Prioritas pertama adalah menemukan Inggrid dulu bukan diam merenung.

Pada saat ini, Hannah turun ke lantai bawah setelah ganti baju dan melihat kakak iparnya itu sedang berdiri diam di depan meja makan. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya. "Ada apa kak?"

"Kakakmu menghilang."

Hannah terkejut. "Maksudnya kakak apa barusan!?"

Pada saat ini, Ibu Ipah juga ikut khawatir. "Apa nona terlibat masalah lagi?"

Randika dengan berat hati mengangguk. "Kemungkinan besar iya, sekarang yang harus kita lakukan adalah menemukan lokasinya."

"Kota ini terlalu besar, mustahil kita bisa menemukannya dalam semalam." Hannah sudah panik.

"Itu lebih baik daripada diam saja." Randika sendiri mengerti dengan situasi ini. Jika tidak ada petunjuk, mencari Inggrid sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Sialan, siapa lagi yang mencari gara-gara dengan dirinya.

"Jangan khawatir nak, kita akan menemukannya." Ibu Ipah berusaha menghibur.

"Benar, ayo kita cari kak Inggrid bersama-sama." Hannah dengan cepat ganti baju sekali lagi.

Randika benar-benar cemas dan pusing. Dia sudah kehilangan istrinya itu sekali dan tidak ingin hal ini terulang lagi. Bila perlu kota ini dia hancurkan demi menemukan jejak istrinya itu.

Ketiga orang ini dengan cepat naik mobil dan berkendara menuju kota. Tetapi mereka tidak tahu harus ke mana.

Randika berpikir sebentar dan mengatakan. "Kita lebih baik menelusuri jalur pulang Inggrid dari kantor. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu."

Memarkirkan mobilnya, mereka bertiga mulai berjalan kaki menelusuri jalan yang dipakai Inggrid untuk sampai ke rumah. Bila perlu, mereka akan berjalan sampai perusahaan di mana Inggrid bekerja. Selama perjalanan, Randika terus menerus menelepon handphone Inggrid meskipun tidak terjawab.

Setelah hampir 10 menit, ketiga orang ini sudah berada di dekat perusahaan Cendrawasih tetapi masih tidak menemukan jejak apa pun. Ibu Ipah dan Hannah sudah panik tidak karuan.

Hati Randika sendiri sudah mengepal, tetapi dia tidak boleh menyerah. Pada saat ini, tiba-tiba teleponnya terangkat.

Hati Randika kembali bersinar, harapan untuk menemukan istrinya telah kembali. Dengan cepat dia menempelkan HPnya di telinganya.

"Di mana kamu?"

Namun, suara lelaki bersendawa terdengar dari balik telepon. Hati Randika kembali meredup.

"Hiks, ini siapa ya?" Suara lelaki itu terdengar terbata-bata dan tidak jelas.

"Ini Randika, kamu siapa? Di mana Inggrid!" Suara Randika semakin menaik. "Kenapa kamu bisa mengangkat telepon ini? Di mana Inggrid?"

Hannah dan Ibu Ipah dengan cepat berdiri di depan Randika, namun pada saat ini, lelaki yang mengangkat teleponnya itu tiba-tiba menutup teleponnya.

Tut, tut, tut.

Randika dengan cepat merasa kecewa ketika mendengar suara telepon terputus itu.

"Kak sudahlah tidak usah khawatir. Kita coba pergi ke kantornya dulu, mungkin kakak ada di sana."

Hannah berusaha menipu dirinya, dari tatapan matanya dia sudah terlihat khawatir.

Pada saat ini, sekumpulan orang mabuk sedang berjalan menghampiri mereka.

Para pejalan kaki, melihat orang yang sudah mabuk berat itu, dengan cepat menghindari mereka. Mereka takut dengan apa yang akan dilakukan orang-orang yang sudah mabuk itu.

"Hei, Roy, hik, ngapain kamu barusan? Hik." Orang mabuk itu tidak bisa berhenti cegukan.

Kumpulan orang mabuk ini terus berjalan dengan terpincang-pincang sambil terus cegukan. "Tidak ngapa-ngapain, hik."

Mereka melewati kelompoknya Randika sambil terus bercanda. Randika sama sekali tidak mempedulikan mereka sampai akhirnya seseorang berkata pada temannya yang mabuk. "Aku hanya, hik, mengambil HP jatuh dan, hik, ada orang yang menelepon HP itu. Suara orangnya marah-marah jadi kututup langsung."

Temannya itu tertawa. "Bajingan, matamu masih bisa melihat HP yang kecil itu?"

Roy merasa tersinggung dan membalas. "Memangnya kau kira, hik, aku lemah sepertimu? Ngambil HP jatuh seperti itu aku masih bisa! Tahu tidak? Nama orang itu lucu sekali, kalau tidak salah Randika seperti penyanyi Kangen Band itu!"

Randika, dengan pendengaran supernya, tiba-tiba menoleh dan mengejar kumpulan orang mabuk itu.

"Ulangi lagi kata-katamu." Randika dengan cepat memeriksa Roy dari atas ke bawah, di tangannya itu terlihat HP dengan casing berwarna pink.

HP itu benar-benar familier, Randika yakin itu adalah HP milik Inggrid!

"Hei! Apa maumu bocah?" Orang-orang mabuk ini menegak kembali bir yang ada di tangannya. Dia hendak melepaskan diri dari genggaman Randika namun tidak berhasil. Pada saat ini, teman-temannya sudah mendatangi Randika satu per satu.

"Hei kau ingin mati bocah?"

Meskipun pandangannya mereka sedikit kabur, mereka masih berhasil mengepung Randika di tengah-tengah mereka. Ketika para pejalan kaki melihat mereka, semuanya segera merasa kasihan pada Randika. Tindakan orang mabuk benar-benar tidak terduga dan mudah main pukul.

Randika benar-benar tidak peduli dengan situasinya, dia hanya peduli dengan keberadaan Inggrid. "Aku tanya kamu sekali lagi, di mana kamu menemukan HP itu?"

Namun, para pemabuk ini tertawa bersama-sama.

"Hei bocah, hik, kau kira kami akan bilang, hik, begitu saja?"

"Fitnah tanpa bukti itu sama saja dengan kejahatan. Pergi sana sebelum, hik, kami menuntutmu."

Seorang dari mereka menghabiskan birnya dan meletakan botol kosongnya di tanah. Di tatapan matanya itu, Randika seperti bergerak terus tanpa henti.

Teman-temannya juga mulai kesulitan berdiri. Tiba-tiba, dari arah belakang, seseorang sudah melayangkan botol birnya pada bagian belakang kepala Randika.

"Mati kau."

Semua pejalan kaki sudah menutup mata mereka, pemuda itu sudah tamat riwayatnya. Mungkin apa yang mereka bisa lakukan adalah menelepon ambulans.

Tetapi kejadian yang terjadi benar-benar di luar dugaan semua orang. Botol bir itu tidak mengenai kepala Randika. Randika sendiri sudah menghilang dan berdiri di samping orang yang menyerangnya. Dia lalu mencengkeram erat pergelangan tangannya.

Seluruh tubuh si pemabuk ini benar-benar terangkat dan terbanting keras di tanah.

Kali ini, semua teman-temannya yang mabuk itu menjadi marah. Mereka semua mulai melayangkan botol mereka tepat ke arah Randika.

"Dasar bocah!"

Ketika pemabuk itu menerjang, dadanya sudah menerima sikutan Randika. Orang tersebut terhuyung-huyung yang pada akhirnya terjatuh dan kepalanya membentur dengan keras, dalam sekejap dia sudah tidak sadarkan diri.

Pemabuk lainnya juga ikut menerjang dan sudah tak sadarkan diri sambil memeluk botolnya, rupanya dia tersandung botol temannya yang ditaruh di tanah sebelumnya.

Di lain sisi, Randika sudah bagaikan serigala yang masuk ke dalam kandang ayam. Dia dengan cepat mengendalikan situasi. Dalam 2 menit, yang masih sadarkan diri hanyalah pemabuk yang memungut HP Inggrid, teman-temannya sudah tidak sadarkan diri semua.

Para pejalan kaki yang melihat hal ini sudah kehabisan kata-kata. Pemuda itu benar-benar sakti!

Wajah Randika terlihat datar, isi pikirannya masih kacau dan cemas terhadap Inggrid. Kalau saja orang ini mau menjawab pertanyaannya, semua orang yang dia hajar itu masih bisa berdiri.

Roy menatap Randika dengan ekspresi ketakutan, saking takutnya dia memuntahkan isi perutnya.

"Apa maumu!" Roy sudah sadar bahwa riwayatnya sudah tamat. Tanpa berkata apa-apa, Randika mengangkatnya dan menghantamkannya ke bawah. Dalam sekejap Roy sudah merintih kesakitan.

"Di mana kamu memungut HP itu?" Randika bertanya dengan nada dingin.

"Ak… Aku…" Roy tidak bisa menghentikan rasa takutnya.

Randika lalu mengangkat tangannya. "Masih mau kuhajar?"

Para pejalan kaki sudah menelepon ambulans dan menjelaskan situasinya. Ketika mereka melihat Randika menyiksa salah satu dari pemabuk yang tersisa, mereka sama sekali tidak berani mencegahnya.

"Jangan! Tolong ampuni aku!" Kata Roy.

"Di mana kamu memungut HP itu?" Tanya Randika sekali lagi.

"Di gang sebelah sana." Kata Roy sambil menunjuk gangnya.

Randika mengambil HP Inggrid dari Roy dan langsung berjalan menuju gang tersebut.

Ibu Ipah dan Hannah dengan cepat mengikutinya, mereka bertiga langsung mencari petunjuk ketika sampai di gang tersebut.

Jika HP Inggrid ditemukan di sana, kemungkinan besar Inggrid melewati gang ini. Mungkin saja ada petunjuk yang bisa menjelaskan keberadaannya.

Setelah setengah jam berlalu, wajah Randika terlihat lemas, mereka sama sekali tidak menemukan apa pun.

Di saat mereka bertiga merasa lemas, tiba-tiba mereka mendengar suara orang tertawa dari belakang mereka.

Randika menoleh dan melihat boneka ginseng muncul dari dalam tanah.

Jadi selama ini ia bersembunyi di dalam tanah?

Randika yang masih terkejut itu tiba-tiba melihat boneka ginseng memanjat celananya dan duduk di pundaknya.

Pada saat ini, Ibu Ipah dan Hannah melihat boneka imut itu duduk dengan santainya di pundak Randika.

Randika menatap boneka ginseng yang nampaknya berusaha berbicara padanya. Tiba-tiba pertanyaan ini terlintas di benaknya. "Apa kamu tahu di mana Inggrid berada?"