Sesampainya di kamar, Deviana nampak berbaring di kasur.
Ketika dirinya melihat Randika masuk, Deviana mendengus dingin dan memalingkan wajahnya.
Melihat temannya ini masih energik, Randika merasa lega dan berjalan menuju sisi kasur.
"Masih marah sama aku?" Tanya Randika sambil tersenyum.
Deviana sama sekali tidak menjawab, dia masih tidak mau menatap Randika.
"Aku akui bahwa aku salah karena menciumnya secara paksa. Aku sepertinya telah melukai hatimu. Jadi biar impas bagaimana kalau kamu bisa menciumku secara paksa?" Kata Randika.
"Memangnya siapa yang mau berciuman denganmu?" Kata Deviana sambil marah-marah.
"Oh yakin? Ini penawaran satu kali dalam hidupmu lho." Randika tersenyum ketika akhirnya bisa melihat wajah temannya itu. "Kamu yakin tidak mengambil kesempatan ini? Jangan menyesal lho kalau nanti aku sudah pulang."
"Kamu ini ya…" Deviana menghela napas. Dia sama sekali tidak berdaya apabila berhadapan dengan Randika. Sejak awal kali mereka bertemu, dirinya selalu dipermainkan oleh Randika.
"Dev, aku tidak menyangka kamu berhati murni seperti itu. Bukankah aku pernah sampai merabamu?" Tanya Randika.
Deviana kehabisan kata-kata, perkataan Randika itu benar jadi kenapa kok sekarang dia marah?
"Itu berbeda." Kata Deviana dengan nada marah.
"Apanya yang beda?" Randika nampak bingung.
"Pokoknya beda!" Deviana memalingkan wajahnya.
Randika mengangguk dan menggeser kursinya hingga bertatapan muka dengannya. "Aku sepertinya paham maksudmu. Maksudmu dulu itu aku memberi peringatan sebelum merabamu sehingga hatimu siap sedangkan hari ini hatimu sama sekali tidak siap begitu?"
Kata-kata Randika ini tepat sasaran, Deviana hanya bisa tersipu malu dan tidak menjawabnya.
"Aku sedikit tidak paham denganmu." Randika menggelengkan kepalanya dan menghela napas. Dia lalu melihat buah-buahan yang ada di samping kasur. Tanpa berkata apa-apa, dia mengambilnya lalu mengupas sebuah apel dengan pisau.
"Karena aku tidak memberitahumu kalau aku ingin menciummu jadinya kamu marah-marah, setelah itu kamu malah tertabrak mobil. Ah…." Randika menghela napas. "Semua itu tidak sepadan, aku hampir saja kehilanganmu."
Setelah mengupas dan memotong apel itu menjadi beberapa bagian, Deviana masih tidak mau berbicara. Randika lalu menyerahkan apel itu. "Sudah makan apel ini dulu biar enakan, setelah itu kamu mau marah lagi tidak apa-apa."
Deviana memang merasa lapar, dia memang berniat makan siang ketika bertemu dengan Randika sebelumnya. Melihat apel itu sudah terkupas rapi, amarah Deviana sedikit mereda.
Tetapi ketika Deviana hendak mengambil apel itu, Randika segera mengambilnya kembali.
"Aku cukup sedih kamu tidak mau memakan apel yang sudah susah payah aku potongin ini." Randika mengambil satu dan memakannya. "Padahal rasanya enak."
Mendengar kata-kata Randika itu, Deviana kembali marah dan mengeluarkan suara "Huh" lalu memalingkan wajahnya.
Randika tersenyum, tangannya kembali mengambil sepotong apel. "Sejujurnya masalah ini juga bukan sepenuhnya salahku. Memang aku sebelumnya itu gelap mata tetapi kecantikanmu itu benar-benar membuatku tidak sadarkan diri. Untuk sesaat aku tenggelam dalam kecantikanmu itu."
Randika memuji Deviana sambil mengakui kesalahannya, hal ini membuat amarah Deviana sedikit mereda. Semua orang senang apabila dipuji, khususnya perempuan yang suka dipuji kecantikannya.
"Aku bersyukur bahwa orang yang menepuk pundakku itu kamu, kalau tidak bisa-bisa masalah ini makin besar." Randika menggeser kursinya lagi. Ketika mereka bertatapan, Deviana hendak memalingkan wajahnya lagi. Tetapi, ketika dia melihat senyuman Randika itu, di tangannya sudah ada sepotong apel.
"Jangan bilang kamu tidak mau makan, air liurmu sudah menetes." Kata Randika dengan senyuman hangat.
Deviana sedikit ragu-ragu awalnya lalu dia mendengus dingin. Dia mengambil apel itu dan memakannya.
"Apel itu bukan diriku, buat apa kamu mengunyahnya keras-keras seperti itu?" Kata Randika sambil tertawa.
"Apel ini adalah kamu, aku ingin memakanmu hidup-hidup." Sambil marah-marah, Deviana terus memakan apelnya.
"Hmmm kata-katamu itu boleh juga, bagaimana kalau setelah keluar dari rumah sakit kamu bisa menikmati diriku ini di hotel?"
Mendengar kata-kata ini, Deviana sedikit bingung. Kenapa bawa-bawa hotel?
Setelah berpikir sejenak, kata-katanya tadi memang terdengar erotis!
Sambil terbatuk-batuk, Deviana menggelengkan kepalanya.
"Akhirnya kamu sudah tidak marah lagi." Randika tersenyum ketika Deviana memakan apel yang dipotongnya dengan lahap.
"Hah? Siapa bilang aku sudah tidak marah?" Deviana tetap mengunyah makanannya.
Melihat sikap malu-malu Deviana ini, entah Randika harus tertawa atau menangis. Karakter Deviana memang dewasa tetapi ketika dirinya diperlakukan dengan lembut, dia menjadi bingung dan bersikap sok kuat.
"Jadi apa yang bisa dilakukan pria hina ini untuk membuat perempuan secantik malaikat ini menjadi dirinya yang dulu?" Randika duduk kembali di kursinya.
"Aku ingin bertanya padamu." Kata Deviana.
Bertanya? Wajah Randika terlihat bingung.
Untuk sesaat, Randika sama sekali tidak berbicara.
Deviana penasaran kenapa Randika sama sekali tidak bicara.
Tetapi tiba-tiba, Randika menjentikan jarinya. "Oh! Aku mengerti."
"Hah? Mengerti apa?" Tanya Deviana. Tetapi dia melihat Randika tiba-tiba berdiri dari kursinya dan menghampiri dirinya, kedua tangannya dipegang oleh Randika dan wajah mereka sudah berdekatan.
"Hei! Apa yang mau kamu lakukan?" Deviana sedikit ketakutan.
"Tentu saja menciummu." Setelah berkata seperti itu, Randika menempelkan bibirnya di bibir kecil milik Deviana. Dalam sekejap, otak Deviana sepertinya berhenti berfungsi. Setelah beberapa detik, serangan lidah Randika benar-benar membangunkan dirinya.
Ketika dirinya ingin melepaskan diri, kedua tangannya ditahan oleh Randika.
Perawat yang ingin mengantar obat mengintip dari samping dan merasa iri dengan keduanya. Kapan dia akan punya pacar yang seberani itu?
Pada saat ini, ciuman mereka sudah berlangsung selama 1 menit dan akhirnya Randika melepaskan kuncian mautnya.
"Bagaimana?" Tanya Randika sambil tersenyum. "Kali ini aku memberi tahumu sebelum aku menciummu jadi seharusnya kamu tidak marah seperti sebelumnya."
"HAH!" Deviana benar-benar marah, logika macam apa itu?
Randika duduk di kursinya lagi dan mulai memakan sepotong apel.
"Jika kamu masih bingung, anggap saja ciumanku ini barusan hadiah dari menyelamatkan dirimu." Kata Randika sambil tertawa.
Deviana mendengus dingin, tetapi Randika tiba-tiba berbisik di telinganya. "Aku tahu kamu barusan menikmatinya, jadi jika kamu ingin meneruskannya aku bersedia."
"Memangnya siapa yang mau menciummu!" Deviana memalingkan wajahnya sambil membentak di telinga Randika.
Randika hanya menggelengkan kepalanya sambil berdiri dari kursinya. "Padahal aku tahu kamu menikmatinya."
"Siapa yang bilang!" Deviana kembali menggigit apelnya. Ketika dia melihat sosok Randika yang hendak pergi, entah kenapa hatinya terasa sakit.
Dia lalu menjilat bibirnya dan sensasi bibir Randika masih bisa dia rasakan. Sepertinya dia menyukai sensasi itu.
Ah! Apa yang kamu pikirkan Deviana? Bukankah seharusnya kamu marah?
Deviana dengan paksa membuang jauh-jauh pemikiran itu, tetapi dalam hatinya dia tahu bahwa dia tidak bisa marah dengan Randika.
Pokoknya, jika Randika berbuat seperti itu lagi tidak akan ada kata ampun!