Inggrid terdiam, apakah ini akan menjadi akhir dari kisah cintanya?
Tidak lama kemudian, suara jeritan dari arah bawah sudah tidak dapat didengar. Shadow berjalan menuju belakangnya Inggrid sambil menatap tajam ke arah tangga dan memegang pisaunya di leher Inggrid.
"Apa kamu pikir dia datang untuk menyelematkanmu? Sayang sekali, dia datang untuk melihatmu mati." Shadow menatap tajam ke arah tangga. Sesampainya Randika di lantai ini, dia akan menggorok leher Inggrid. Bahkan lawannya seorang Ares sekalipun, dia tidak mungkin bisa mencegahnya.
Inggrid menatap ke depan dan menutup matanya secara perlahan, mungkin kisah cintanya ini memang sudah berada di tahap akhir.
Namun, wajah dingin Shadow itu mengerut. Sudah semenit berlalu sejak suara dari bawah itu berhenti, tetapi kenapa tidak ada pergerakan sama sekali?
Menurut analisanya, Ares yang dipenuhi oleh api kebencian dan kemarahan itu sudah pasti berlari menuju lantai atas demi menyelamatkan perempuannya. Tetapi, kenapa tidak ada pergerakan sama sekali?
Suasana ruangan menjadi aneh, meskipun Shadow masih di posisi yang diunggulkan, rasa seperti ini membuatnya tidak nyaman. Rasa tidak nyaman ini berasal dari perjalanannya bersama Randika bertahun-tahun sebelumnya, dia sangat memahami betapa mengerikannya kekuatan Randika.
Pada saat ini, Shadow masih menatap ke depan sambil berkeringat dingin, namun tiba-tiba ada suara yang datang dari arah belakangnya. "Maaf membuatmu menunggu terlalu lama."
Ketika mendengar suara itu berasal dari belakang, Inggrid, yang sudah membuka matanya itu, terlihat senang. Sedangkan punggung Shadow sudah basah oleh keringat.
Mustahil, bagaimana bisa Randika berada di belakangnya?
Tanpa banyak berpikir, Shadow merespon dengan cepat. Pisau di tangannya sudah mengarah pada Randika. Serangan mendadak Randika ini membuat Shadow panik dan melenceng dari rencana awalnya, dia sudah melupakan Inggrid yang ada di depannya. Lagipula, buat apa dia berhasil membunuh Inggrid tetapi nyawanya sudah melayang juga?
Serangan pisau Shadow memanglah cepat, tetapi semua itu sudah terlambat.
Di hadapan Ares sang Dewa Perang, tidak ada serangan yang bisa membunuhnya!
Setelah mengelak dari serangan Shadow, Randika memukulnya, dengan tangan yang sudah dipenuhi oleh tenaga dalamnya, dan mengenai dada Shadow. Pukulan keras itu membuat Shadow muntah darah dan melayang menuju tembok. Tetapi, serangan Randika tidak berhenti begitu saja. Ketika Shadow menatap tembok, Randika sudah berada di hadapannya dan menangkap pergelangan tangannya. Dengan cepat, Randika memelintir tangan Shadow.
Jeritan tragis terdengar dari mulut Shadow, rasa sakit dari tangannya itu membuatnya tidak bisa berhenti menjerit; dia merasa seakan-akan tulangnya sudah remuk.
"ARGH!"
Ketika Shadow masih menjerit, dia menerima sebuah pukulan lagi. Pukulan keras itu membuat Shadow terbenam di lantai dan membuat retakan yang besar. Darah sudah tidak bisa berhenti mengucur dari mulutnya, sepertinya organ dalamnya yang perlahan pulih itu kembali terluka.
"Kamu bisa lari sekali, tetapi tidak ada kesempatan berikutnya." Randika berdiri di hadapan Shadow dengan wajah yang dingin, kengerian yang dimiliki Shadow sudah lama memenuhi wajahnya.
Bagaimana bisa Randika menyerangnya dari belakang?
Ketika Shadow mengangkat kepalanya, dia melihat sebuah lubang di tembok yang belum selesai dibangun. Dari situ, Ares pasti datang dari situ!
Melihat wajah Shadow yang masih menunjukan perlawanan, Randika mengangkat kakinya untuk mematahkan kedua kaki Shadow. Tetapi, dia merasakan tatapan mata Inggrid.
Ketika Randika mengangkat kakinya, hati Inggrid sudah mengepal. Tubuhnya gemetar dan keringat dingin tidak bisa berhenti mengalir, kata-kata Shadow tentang Randika telah mempengaruhi dirinya.
Siapapun yang mendengar cerita Shadow mengenai Randika pasti merasakan rasa tidak percaya dan menganggapnya berlebihan. Namun, setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Inggrid mulai ragu.
Apakah Randika benar-benar seorang iblis?
Meskipun Inggrid tidak mau mempercayainya, dia tidak bisa melepaskan pertanyaan itu dari kepalanya.
Shadow terbatuk dan mengeluarkan seteguk darah segar, wajahnya masih sempat tersenyum. "Sepertinya aku salah perhitungan, aku benar-benar meremehkanmu."
Randika membalas. "Dari awal kamu tidak punya kesempatan untuk menang."
Kemudian, Randika mengepalkan tinjunya dan memukul Shadow dengan tinju yang berisikan tenaga dalam!
Tenaga dalam Randika mengalir deras ke Shadow melalui tinjunya itu. Kalau diumpamakan, sekarang sedang terjadi ledakan nuklir di tubuh Shadow. Seluruh organ, sel tubuh, otot Shadow terkena oleh tenaga dalam Randika. Darah sudah mengalir dari seluruh pori-pori kulitnya dan organ dalamnya mulai gagal berfungsi.
Meskipun pukulannya ini tidak langsung membunuhnya, nasib Shadow sudah pasti tamat. Waktunya hanya satu jam sebelum hidupnya berakhir!
Shadow yang kejang-kejang itu akhirnya tenang kembali, wajahnya yang berlumuran darah itu tersenyum. "Kamu tidak membunuhku hanya karena ada perempuanmu di depanmu? Ares, kamu sudah berubah."
Randika hanya menatap dingin pada mayat berjalan bernama Shadow itu. Tidak membalas kata-kata Shadow, Randika berjalan dan menghampiri Inggrid.
Kali ini Shadow sudah tidak akan bisa mengganggunya lagi. Mulai hari ini, nama Shadow akan tertera di daftar korban Ares sang Dewa Perang.
Takdir seorang pengkhianat adalah kematian!
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada ditusuk dari belakang oleh orang kepercayaan.
Menatap sosok Randika yang berjalan menjauh darinya, sebuah tombol tiba-tiba muncul di tangan Shadow.
"Ares, kamu kira aku tidak bisa membunuh perempuanmu itu?"
Shadow tertawa keras, kemudian dia menekan tombol di tangannya itu.
Ketika mendengar kata-kata Shadow itu, Randika sudah merasakan firasat buruk. Dan benar saja, setelah tombol itu ditekan, kursi yang mengikat Inggrid itu tiba-tiba bunyi dan melesat dengan cepat menuju sebuah lubang besar di tembok.
"AH!!"
Sepertinya kursi itu didesain khusus untuk meluncur dengan cepat apabila tombol aktivasinya ditekan. Karena tombol itu sudah aktif, kursi itu melaju dengan cepat menuju bagian bawah gedung!
"Inggrid!"
Randika mengalirkan tenaga dalamnya menuju kakinya, namun kursi itu melaju terlalu cepat. Tidak ada pilihan lain, satu-satunya cara adalah menyelamatkannya di udara. Tanpa ragu, Randika menyusul Inggrid yang sudah terjun bebas itu.
Melihat kedua orang itu sudah meninggalkan dirinya, Shadow tertawa.
"Ares, apakah nanti pagi kita akan makan bersama di neraka?"
Sesudahnya berkata demikian, Shadow tidak bisa berhenti terbatuk dan darah terus keluar dari mulutnya.
Shadow berusaha menarik napasnya tetapi tidak bisa, sepertinya nyawanya akan berakhir. Lalu dia menekan tombol yang ada di tangannya untuk kedua kalinya.
DUAR!
Tiba-tiba, suara ledakan bisa terdengar dari lantai tempat Shadow berada. Dengan ini juga, Shadow telah mengaktifkan seluruh bom yang berada di tiap lantai. Tidak hanya satu, tetapi berpuluh-puluh ledakan di tiap lantai sudah siap meledak. Dari atas hingga bawah gedung, semua pilar pondasi telah dipasangi oleh bom. Gedung ini hanya butuh satu menit menjadi reruntuhan batu.
Ketika Randika terjun bebas menyusul Inggrid, dia dapat merasakan ledakan di lantai Shadow. Tetapi fokusnya kali ini adalah menyelamatkan Inggrid, dia sudah tidak peduli dengan Shadow.
Untungnya saja, Randika jatuh lebih cepat dan dia berhasil menyusul Inggrid yang terikat di kursi. Sepertinya besi-besi yang digunakan Shadow untuk mengikat Inggrid terbuat dari logam khusus, sangat sulit untuk membukanya!
"Ran, aku rasa semuanya sudah terlambat. Kita akan mati." Inggrid sudah pasrah.
"Bodoh! Jangan ngomong yang tidak-tidak, percayalah padaku!"
Randika masih sibuk berusaha membuka pengait itu dengan paksa.
Dengan kecepatan dan ketinggian mereka ini, sudah tidak ada harapan hidup apabila mereka mendarat. Bahkan jika Randika adalah salah satu dari 12 Dewa Olimpus, dia sama sekali tidak kemampuan untuk selamat dari kejadian ini. Dia bukanlah makhluk abadi seperti yang ada di novel-novel.
Melihat Randika yang masih sibuk berusaha melepaskan dirinya, Inggrid tidak bisa berhenti menangis.
Inggrid awalnya tidak percaya ada orang yang bisa mengisi hatinya yang dingin itu penuh dengan kehangatan. Dia merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Randika di dalam hidupnya ini.
Menggenggam tangan Randika, Inggrid berkata padanya. "Tidak peduli berapa kali aku terlahir kembali, aku akan selalu menjadi istrimu."
Randika mendengar kata-kata Inggrid ini sambil meneteskan air matanya, dia benar-benar mencintai Inggrid.
Sialan, kenapa susah sekali membuka kunci ini! Pengait yang mengikat Inggrid tinggal satu yaitu yang berada di pinggang.
"Sepertinya selama pernikahan ini aku belum pernah memanggilmu suami, di saat-saat terakhir kita bersama ini, biarkan aku menciummu sekali lagi suamiku." Selesainya itu, Inggrid langsung mencium Randika!
Setelah bersusah payah, Randika berhasil melepaskan semua pengait yang menahan Inggrid. Hatinya benar-benar lega, namun pada saat ini, Inggrid menerjang dirinya dan menciumnya!
Hmm?
Keduanya berciuman disinari oleh sinar rembulan, air mata Inggrid tampak meninggalkan jejak di udara.
Randika sendiri menikmati ciuman ini, tangannya juga mulai bergerak secara otomatis ke dada Inggrid. Eh tapi mereka belum selamat!
Semua kejadian ini berlangsung dengan cepat, keduanya sudah berada di lantai 4 dan masih terjun dengan cepat. Jika Randika gagal memperlambat kecepatan mereka, bisa dipastikan bahwa mereka akan menyusul Shadow ke alam baka.
Randika melepaskan bibir Inggrid dan berkata padanya. "Pegangan!"
Randika lalu mencopot sabuk celananya dan mengikatnya pada pegangan kursi yang telah dia patahkan. Dengan tenaga penuh, dia melemparnya ke arah gedung di seberang. Keduanya lalu melesat dengan cepat menuju gedung yang diseberang dan pegangan kursi itu menancap di tembok.
Dengan tenaga dalamnya yang mengalir di kakinya, Randika berhasil mencegah dirinya menatap tembok dengan keras. Keduanya yang sebelumnya jatuh dengan cepat itu sekarang bergelantungan di udara.
Kejadian kali ini benar-benar nyaris membunuhnya, jika tidak ada kursi itu, maka mereka sudah pasti tamat.
Inggrid yang memeluk erat leher Randika sambil menutup matanya itu berkata padanya. "Sayang, apa kita selamat?"
"Hahaha ternyata istriku bisa bodoh juga kadang-kadang ya, tentu saja kita selamat, kalau tidak mana mungkin kamu bisa melihat wajahku yang tampan ini bukan?"
Jika tangan Randika tidak sibuk, mungkin dia sudah menyentil dahi Inggrid.
Inggrid membuka matanya dan sadar bahwa mereka bergelantungan di sebuah besi yang menancap di tembok.
Kita masih hidup?
Air mata Inggrid tidak bisa berhenti mengalir, hatinya merasa lega masih bisa hidup di kehidupan ini.
Randika yang merasakan air mata itu tertawa. "Boleh aku merasakan ciuman tadi itu sekali lagi?"
Ketika mendengarnya, Inggrid tersipu malu dan berbisik padanya. "Akan kuberikan segalanya ketika kita pulang nanti."
Namun pada saat ini, ledakan dari tiap lantai mulai terdengar. Meskipun mereka berada di gedung seberang, gedung berlantai 20 yang mulai roboh itu benar-benar mengandung bahaya yang besar. Barang-barang seperti besi, pecahan tembok, alat-alat konstruksi lainnya berhamburan ke mana-mana. Randika dan Inggrid masih belum aman dari bahaya.