Merasakan otot-otot di hadapannya itu, Hannah tersipu malu. Karena terikat dengan erat, keduanya ini bisa dikatakan berpelukan dengan erat dan dadanya sendiri itu menempel pada kakak iparnya.
Namun, Hannah tidak mempermasalahkan ini karena ini adalah situasi khusus.
Keduanya berdiri di pintu masuk gua, di atas mereka ada tebing gunung yang harus mereka taklukan. Sekarang setelah mendapatkan kekuatan lebih dari hasil latihannya, Randika siap untuk membawa Hannah keluar dari gunung ini.
Randika menghirup napas dalam-dalam, menatap Hannah dan berkata dengan wajah tersenyum. "Apa kamu siap?"
"Siap!"
Hannah lalu memeluk pinggang Randika dengan kedua tangannya. Pada saat ini tenaga dalam Randika sudah bekerja dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Tetapi tenaga dalamnya berpusat pada kedua tangannya.
Di tangan kanannya, pisau yang dia dapat sebelumnya itu juga terdapat aliran tenaga dalamnya. Dengan satu hentakan, pisau itu menancap dengan sempurna ke dalam tebing.
Setelah memastikan pegangannya itu kuat, Randika mulai memanjat. Kakinya mulai meninggalkan tanah dan tangan kirinya, yang membentuk seperti sebuah cakar, juga mulai menancap di tebing.
Dengan cara seperti ini, Randika kembali menaiki gunung ini tetapi dengan cara yang berbeda yaitu memanjat dari tebing. Namun, yang membuatnya lebih menantang adalah Hannah yang bergelantungan di depannya sambil menutup matanya. Perempuan ini benar-benar takut meskipun sudah terikat erat dengan Randika, dia hanya harus bisa bertahan sampai Randika meraih puncak.
Tangan kanannya yang menggunakan pisau dan tangan kirinya yang membentuk cakar itu dijadikan Randika sebagai alat untuk membuat pegangan di tebing. Berkat tenaga dalamnya yang melimpah, tebing batu ini sama sekali tidak bisa menghentikannya.
Perlahan, Randika dan Hannah mulai mendaki tebing ini. Dilihat dari posisinya sekarang, dia masih belum bisa melihat puncak.
Hannah terus memeluk erat Randika. Kepalanya beristirahat di dada Randika dan dia dapat mendengar detak jantungnya. Dalam hatinya dia sendiri bersorak semangat untuk kakak iparnya ini tetapi dia tidak berani membuat suara sekecil apa pun. Jika Randika itu kehilangan fokus sekali saja, bisa-bisa malam ini dia akan bertemu dengannya di surga.
Di tengah tebing ini angin berhembus dengan kuat dan pemandangan bawah seperti jurang maut itu siap menyambut kedatangan mereka. Awan putih yang menyemangati mereka seakan-akan bisa mereka genggam.
Kecepatan memanjat Randika awalnya stabil tapi lama kelamaan menjadi lebih cepat.
Pada saat yang sama, di salah satu titik gunung tempat di mana para pendaki beristirahat dan menikmati pemandangan, beberapa pendaki sedang beristirahat. Salah satu di antara mereka ada pria paruh baya yang sedang menatap puncak gunung yang masih lumayan jauh.
"Aku tidak pernah bosan melihatnya."
Sebulan sekali dia akan memanjat gunung ini dan menikmati pemandangan alam sambil melupakan kesusahan dalam hidupnya. Dia selalu terkagum-kagum dengan pemandangan gunung yang megah ini bahkan sudah berkali-kali memanjatnya.
Bersama dengan teman-temannya, mereka memanfaatkan hari libur mereka ini untuk memanjat bersama-sama.
"Hahaha kata-katamu itu sudah seperti kakek-kakek." Temannya menertawainya.
"Atau mungkin kamu sudah capek? Kan sudah berkali-kali kuingatkan jangan minum-minum sehari sebelum memanjat."
Meskipun ini adalah gunung yang cocok untuk pendaki pemula, di beberapa titik masih terdapat beberapa medan yang terjal dan sulit. Mungkin orang yang sudah tua akan sedikit kesulitan melaluinya.
Pada saat ini, seorang perempuan ikut nimbrung dalam percakapan mereka. "Jangan salahkan dia, dia hanya seorang karyawan jadi maklumi saja kalau dia mudah capek."
Mendengar lelucon ini, semuanya ikut tertawa. Tetapi tiba-tiba seseorang di antara mereka terpeleset dan hampir terjatuh ke tebing.
"Awas!" Teman-temannya itu langsung sigap dan berusaha menangkapnya.
"Pegangan yang kuat!" Setelah beberapa orang memegang tangannya, mereka berhasil mengangkat temannya itu.
"Dasar kamu ini, kaget-kageti saja!"
"Maaf, tiba-tiba kakiku terpeleset begitu saja. Untung saja ada kalian, kalau tidak aku pasti sudah mati."
"Ya pasti mati, kamu tidak lihat kita sudah begitu tinggi apa?"
Ketika mereka sibuk memarahi temannya yang hampir jatuh itu tadi, seseorang menyadari ada hal aneh di tebing seberang.
Eh?
Apa orang itu sedang memanjat tebing?
Orang itu jelas terkejut, bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Tebing itu sangat curam, bukankah itu sama saja dengan mencari mati?
Seakan-akan melihat hantu, orang itu menunjuk ke arah keajaiban itu. "Lihat!"
"Oi ngapain teriak-teriak gitu? Apa kamu tidak lihat aku sedang asyik memarahi teman kita satu ini?"
"Ada orang yang memanjat tebing!" Ketika dia menunjuk ke arah Randika, wajahnya menjadi pucat pasi. Dia sudah tidak mungkin salah lihat lagi, kejadian ini benar-benar nyata.
Pegunungan ini memang bagus untuk mendaki bagi semua kalangan tetapi untuk memanjat tebingnya, hal ini terkesan mustahil. Tebing yang curam menjadi kendala paling besar bagi para penikmat olahraga ekstrim itu.
Ketika teman-temannya mendengar ini, semuanya tertawa dan mengejeknya. "Apa kamu sebelum memanjat minum minuman keras? Mana ada orang bodoh yang berani memanjat tebing gunung ini?"
Temannya juga menambahkan. "Sepertinya kamu sendiri harus menuruti kata-katamu itu, bukankah kamu melarang kita untuk minum sebelum memanjat?"
Melihat teman-temannya itu tidak percaya dengannya, orang tersebut menunjuk ke arah Randika berada. "Jika tidak percaya, coba lihat ke arah situ. Orang itu benar-benar sedang memanjat tebing gunung ini."
"Sudah jangan marah seperti itu. Atau jangan-jangan kamu berhalusinasi gara-gara obat ya?" Teman-temannya lalu tertawa sekali lagi. Sepertinya hubungan mereka itu sangat baik karena bisa bercanda lepas seperti itu.
Ketika dia hendak marah, tiba-tiba salah satu temannya itu menoleh ke arah yang ditunjuknya. Pada saat itu, matanya langsung membeku seolah-olah menemukan sesuatu yang luar biasa. Di seberang mereka, ada sosok hitam kecil yang sedang bergerak ke atas. Sosok itu mirip manusia dan kecepatan memanjatnya benar-benar cepat!
Dengan cepat dia mengambil teropongnya dan melihat apa yang sedang dilihatnya itu. Matanya terbelalak ketika melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Di teropong itu, dia bisa melihat Randika yang memanjat sambil memeluk Hannah. Hebatnya lagi, orang itu sepertinya memanjat tanpa menggunakan alat bantuan sama sekali. Namun, kecepatan memanjatnya itu benar-benar cepat.
Teropong itu terjatuh ketika dia terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.
"Hmm? Kenapa?"
Orang itu lalu menunjuk ke arah Randika dan berkata dengan nada serius. "Ada orang yang memanjat tebing."
"Kamu juga ikutan gila? Mana ada orang yang berani memanjat tebing curam ini?"
Teman-temannya yang lain ini masih tidak percaya sama sekali. Salah satu dari mereka geleng-geleng dan mengambil teropong tersebut lalu melihatnya.
Ketika dia melihatnya, dia benar-benar ikut terkejut bukan main.
Apa? Dia juga ikut terkejut dan berteriak. "Oi, oi, apa yang mereka berdua katakan benar!"
"Hah? Mana teropongnya, palingan yang kalian lihat itu burung."
Pada saat yang sama, temannya itu menyerahkan teropongnya sambil menunjuk ke arah Randika.
Satu per satu dari mereka dapat melihat Randika memanjat bersama Hannah dengan cepat.
"Wow orang itu cepat sekali!"
"Apa aku salah lihat? Bukankah orang itu memanjat tanpa peralatan sama sekali sambil menggendong temannya?"
"Ah? Beneran! Gila sekali orang itu."
Mata mereka sekarang penuh dengan kekaguman.