Melihat sosok Randika yang menghilang itu, hati Viona menjadi sedih. Dari reaksi dan tindakan Randika itu, dia bisa melihat bahwa Inggrid adalah sosok spesial di hati orang yang dicintainya itu.
Hal ini tidak bisa disalahkan, hubungannya dengan Randika ini sungguh rumit. Bisa dikatakan mereka lebih dari teman tetapi kurang dari pasangan, melihat Randika peduli dengan perempuan lain jelas membuat Viona merasa resah.
Ketika Viona sibuk dengan pikirannya sendiri, Randika tiba-tiba masuk kembali ke dalam ruangan. Dia lalu menghampiri Viona dan mencium keningnya.
Dia lalu berkata pada Viona. "Tunggulah aku, aku akan kembali."
"Baiklah." Wajah Viona sudah tersipu malu. Kali ini ketika melihat punggung Randika yang perlahan pergi, hatinya sudah hangat.
Setelah mengetahui situasi yang dihadapi Inggrid, Randika langsung bergegas menuju bandara.
Menikah? Istrinya itu direbut dan dipaksa menikahi orang lain? Bahkan jika dia sudah mati pun, dia akan membunuh siapapun yang berani menyentuh Inggrid.
Pikiran Randika untuk membunuh setiap anggota keluarga Alfred itu sudah sangat besar, hari ini dia akan melenyapkan keluarga aristokrat satu itu.
Randika berlari menuju bandara dengan berlari. Kakinya yang dialiri oleh tenaga dalam itu melangkah dengan cepat, kecepatannya sudah bisa mengimbangi mobil balap. Tidak butuh waktu lama untuknya tiba di bandara.
"Tiket untuk ke Jakarta." Randika mendorong orang yang di depannya dan berbicara pada resepsionisnya.
Orang yang didorongnya itu marah dan menggulung lengan bajunya. "Apa kau nyari mati hah?"
Randika tidak menjawab, dia hanya menatap tajam pada orang itu. Orang itu sudah mengangkat tangannya dan hendak memukul tetapi tiba-tiba tatapan mata Randika seperti seekor hewan buas.
Orang itu langsung merinding ketakutan. Di bawah tatapan mata Randika itu, dia sepertinya kesulitan bernapas. Seakan-akan Randika berkata padanya bahwa dia bisa membunuh dirinya dalam 1 detik kalau dia mau!
Perasaan bahaya seperti ini benar-benar nyata!
Ketika Randika memalingkan wajahnya, orang itu bisa bernapas lega dan melangkah mundur dengan punggung yang basah.
"Maaf pak, pesawat ke Jakarta sudah lepas landas. Pesawat berikutnya yang menuju Jakarta baru ada jam 4 sore nanti." Kata resepsionis.
Randika mengerutkan dahinya. Dia berhasil turun dari gunung dan tiba di kota Cendrawasih jam 11 pagi. Jika dia harus menunggu hingga jam 4 sore dan tiba baru malam hari, Inggrid sudah pasti dipaksa menikah oleh keluarga Alfred.
Dengan kata lain dia tidak bisa menunggu jadwal pesawat berikutnya.
Tetapi pesawatnya itu sudah lepas landas, apa yang bisa dia lakukan?
Wajah Randika terlihat serius, otaknya berputar dengan cepat. Tiba-tiba, dia mempunyai sebuah ide yang bagus.
Siapa bilang pesawat itu satu-satunya yang terbang ke Jakarta?
Bukankah dia tinggal mencuri salah satu pesawat dan menerbangkannya sendiri? Sederhana bukan?
Randika lalu membeli tiket pesawat yang keberangkatannya paling cepat. Setelah itu Randika langsung masuk ke dalam pesawat.
Tidak lama kemudian, pesawat yang dia naiki itu lepas landas. Setelah tanda sabuk pengaman sudah hilang, Randika langsung berdiri dan berjalan menuju kokpit pesawat.
"Pak, bisa tolong duduk dengan tenang? Apabila bapak perlu sesuatu, bapak tinggal bilang saja." Kata seorang pramugari pada Randika. Tetapi Randika mencuekinya dan terus berjalan ke depan.
Penumpang yang lain tidak memperhatikan Randika sama sekali, mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
"Pak? Pak!" Pramugari itu mulai khawatir melihat Randika sama sekali tidak menjawab. Dia hanya bisa menghela napasnya.
Sesampainya Randika di bagian depan pesawat, polisi udara yang sedang menyamar itu sedang berbincang satu sama lain. Orang-orang mungkin tidak sadar bahwa setiap pesawat yang mereka naiki ada beberapa penegak hukum yang menyamar di pesawat mereka. Tugas mereka adalah memastikan tidak ada kejahatan yang terjadi di dalam pesawat. Tetapi bagi Randika, orang-orang ini tidak lebih dari seekor serangga.
Tanpa memedulikan mereka, Randika terus bergerak menuju kokpit pesawat. Namun, para polisi itu menyadari pergerakan Randika.
"Permisi pak mau ke mana ya? Area depan sana dilarang untuk penumpang jadi lebih baik bapak kembali duduk." Kata seorang polisi sambil memperlihatkan identitasnya.
Ketiga polisi itu sebenarnya sudah memegang pistol yang ada di pinggang mereka. Akhir-akhir ini marak terjadi pembajakan pesawat, jadi mau tidak mau mereka harus waspada dengan setiap ancaman.
Para penumpang yang lain juga menyadari kejadian ini dan menjadi penasaran.
Randika tidak peduli, dia tetap berjalan menuju kokpit. Pada saat ini, salah satu dari ketiga polisi itu menodongkan pistolnya dan berteriak ke arah Randika. "Jangan bergerak atau akan kutembak kau!"
Kali ini para penumpang sudah panik tidak karuan, mereka menatap takut pada Randika. Randika tidak menoleh sama sekali, dia tidak punya waktu untuk meladeni anjing-anjing ini. Sekarang di pikirannya hanya ada Inggrid. Selama dia berhasil tiba di Jakarta tepat waktu, dia akan menyelamatkannya.
Namun, entah karena gugup atau emosi yang lain, salah satu dari polisi ini menembakkan pistolnya. Suara tembakan yang menggema itu membuat semua orang panik. Semuanya langsung merunduk di tempat duduk mereka.
Setelah suara tembakan itu menghilang, para polisi ini terkejut melihat Randika yang ada di hadapan mereka ini sehat walafiat.
Tidak mungkin! Aku tidak mungkin meleset!
Ketiga polisi itu saling memandang satu sama lain lalu akhirnya menerjang ke arah Randika.
Di bawah tatapan semua orang, para polisi itu sangat cepat dan terkoordinasi. Mereka menerjang ke arah Randika untuk menangkap teroris satu ini.
Namun pada saat ini, Randika hanya berbalik badan sebentar lalu berjalan kembali menuju kokpit. Para polisi yang hendak menerjang itu tiba-tiba terhenti dan tediam di tempat.
Setelah satu detik, ketiga polisi itu terjatuh dan pingsan!
Dalam satu detik, ketiga polisi yang mumpuni ini dapat dikalahkan oleh Randika dengan mudah.
Para penumpang itu semuanya terkejut, orang itu sangat kuat! Tetapi satu pertanyaan lain langsung menggenang di hati mereka, apa yang hendak orang itu lakukan?
Apakah dia mau membajak pesawat ini?
Dalam sekejap pertanyaan itu memenuhi semua penumpang yang melihat aksi Randika sebelumnya.
"Berhenti!" Seorang bule berdiri dan menatap tajam ke arah Randika.
Sama seperti para polisi tadi, Randika mengabaikannya dan tetap berjalan menuju kokpit. Dalam satu tarikan, Randika berhasil membuka pintu khusus tersebut.
"….."
Semua penumpang yang melihatnya sudah pasrah dalam hati, sepertinya mereka telah salah memilih pesawat.
Pintu kokpit pesawat didesain khusus oleh pihak penerbangan agar pesawat tidak mudah dibajak oleh orang-orang yang berniat buruk. Apabila pintu sudah dikunci dari dalam, sudah 100% mustahil untuk membukanya dari luar. Namun, Randika dengan mudahnya membuka pintu itu hanya dengan satu tangannya.
Melihat aksi Randika satu ini, bule tadi langsung duduk sambil bersembunyi. Dia merasa sangat lega tidak berlari dan mencegah Randika, jika itu benar terjadi, dia tidak tahu kematian seperti apa yang menimpanya.
"Ya Tuhan, terima kasih telah menyelamatkan nyawaku!"
Randika sama sekali tidak peduli dengan para penumpang karena pikirannya sekarang tertuju pada para pilot pesawat!
Para pramugari sudah pada ketakutan di belakang, mereka tidak mungkin bisa menghentikan teroris itu. Satu-satunya penyelamat mereka yaitu ketiga polisi tadi itu masih pingsan tidak sadarkan diri.
Randika berjalan dengan santai menuju dalam kokpit di mana kedua pilot itu sedang mengendalikan pesawat.
Kapten pesawat dan wakilnya itu sudah menatap Randika dengan tajam sejak pintu mereka itu terbuka. Mereka hanya bisa tertegun sekaligus menekan rasa takut mereka. Randika lalu berkata dengan nada seriusnya. "Bawa pesawat ini ke Jakarta."
"Siapa kamu? Kenapa kamu bisa masuk ke tempat ini? Apa kamu…." Sebelum wakil kapten itu selesai berbicara, Randika sudah memukulnya hingga pingsan.
Hati si kapten pesawat itu langsung mengepal, dia tidak tahu harus berbuat apa. Lalu Randika memecah keheningan dengan mengatakan. "Pindahkan jalur pesawat menuju Jakarta dan jangan buat aku mengulangi kata-kataku ini sekali lagi. Kalau kamu tetap tidak mematuhi kata-kataku, aku akan menjatuhkan pesawat ini."
Di bawah ancaman Randika, sang kapten tidak mempunyai pilihan selain mengganti jalur pesawat. Dia memang terlihat tenang tetapi dia sudah memberikan sinyal bahaya tersembunyi ke pusat Menara.
Pada saat yang sama, pusat menara bandara Cendrawasih.
Setelah mendapatkan sinyal bahaya tersebut, pusat informasi lalu lintas udara ini langsung heboh.
"Apa? Pesawat kita ada yang dibajak lagi?"
Seorang pria paruh baya itu terlihat seakan-akan mau muntah darah. Pesawatnya yang menuju Jepang kapan hari baru saja dibajak dan sekarang sudah ada kasus ini lagi? Bisa-bisa dia dipecat karena membiarkan teroris itu masuk ke dalam bandaranya.
Dalam sejarah dia bekerja, dia tidak pernah melihat kejadian yang tenggat waktunya berdekatan seperti ini.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Pria paruh baya itu menghampiri bawahannya. Keadaan sekarang kacau balau, semua orang menjadi panik dan gugup.
"Kita telah mengunci lokasi pesawat dan masih memantaunya." Kata salah satu bawahannya.
"Apa ada cara untuk berkomunikasi dengan pilot pesawat?" Tanya si pria paruh baya.
"Tidak bisa, sepertinya pilot sedang disandera. Hmm? Jalur ini… Pesawat mengubah arahnya menuju Jakarta!"
Setelah mendengar kata-kata ini, semua orang terkejut. Jakarta?
Semua personel penting berada di ruangan ini. Mendengar kata Jakarta hati mereka sudah mengepal bukan main. Apakah kejadian World Trade Center akan terulang di Indonesia? Apakah target mereka adalah istana kepresidenan?
"Segera hubungi pihak kepolisian Jakarta." Pria paruh baya itu segera membuang pikiran buruknya itu dan menenangkan dirinya.
Pada saat yang sama, dia juga memerintahkan agar istana kepresidenan diberi kabar tentang pembajakan pesawat ini.
Untuk menangani masalah seperti ini, apalagi jika mengancam keselamatan sang presiden, pria paruh baya ini memilih untuk main aman.
Di dalam pesawat, para penumpang masih duduk dengan tegang. Mereka hanya tahu bahwa kokpit pesawat mereka sudah bukan dikendalikan oleh pilot yang seharusnya.
Sedangkan Randika sejak awal tidak berniat membahayakan para penumpang ini, fokusnya adalah keluarga Alfred di Jakarta itu. Sesampainya di Jakarta, dia akan membunuh seluruh manusia-manusia busuk itu!