"Kak Randika."
Hannah masuk ke dalam ruangan laboratorium Randika, untungnya saja, tidak ada orang selain Randika karena semuanya sudah keluar untuk makan siang.
Jika mereka mendengar kata-kata Hannah barusan, gosipnya menikahi Inggrid Elina bisa tersebar luas.
"Hei." Randika melambaikan tangannya. "Kenapa kamu di sini?"
"Aku bosan, jadinya aku datang ke perusahaan." Hannah mengambil kursi dan duduk di samping Randika. Dia langsung melirik ke komputer Randika yang layarnya ternyata game mine sweeper.
"Kak, kakak begitu bebasnya sampai main game saat bekerja." Mulut Hannah sudah melengkung bagaikan pelangi.
"Han, bukan berarti aku punya waktu luang, aku harus menemanimu setiap harinya. Apa kamu tidak ada kelas?"Tanya Randika.
"Tidak ada kelas beberapa hari ke depan, aku tinggal menunggu hasil ujian keluar." Kata Hannah sambil tersenyum. Tiba-tiba dia merasa haus, dia kemudian mengeluarkan sebotol air putih dari tasnya.
"Apa air itu juga pemberian dari Roberto?" Tanya Randika dengan nada santai.
Hannah terlihat kaget. "Tahu dari mana kakak?"
Dia lagi!
Wajah Randika berubah menjadi serius. "Han, apa pun yang dibelikan oleh Roberto untukmu, mau itu makanan atau minuman, kamu jangan sampai memakannya ya!"
"Hah? Kenapa harus sampai segitu?" Wajah Hannah berubah menjadi cemberut. Namun ketika melihat wajah serius kakak iparnya, dia mengangguk pelan. "Baiklah, aku tidak akan menyentuhnya sama sekali."
"Coba aku lihat airmu." Kata Randika.
Hannah memberikan botol airnya itu pada Randika. Randika langsung menerawangnya dengan lampu ruangan, mencoba memeriksa apakah ada suatu kejanggalan.
"Kak, kalau kamu ambil airku, aku minum apa?"
"Nanti beli sendiri saja di luar." Balas Randika dengan santai.
Hannah menjadi marah, namun dari balik meja, tiba-tiba Randika mengeluarkan sekotak teh dan meletakannya di depan Hannah.
"Sudah tidak perlu ngambek, minum punyaku ini saja." Kata Randika dengan santai. "Kok bisa kamu ketemu Roberto hari ini?"
"Kak Randika memang yang terbaik!" Hannah dengan cepat mengambil teh tersebut dan menyesapnya. "Aku bertemu dengannya secara kebetulan. Aku pergi belanja baju sama teman-temanku sebelum ke sini, rupanya Roberto dkk juga sedang belanja. Kita semua belanja rame-rame dan di tengah jalan Roberto membelikan kita air."
Kebetulan lagi?
"Terus yang kemarin di mall itu, apakah itu juga kebetulan?" Tanya Randika.
"Iya, mereka juga kebetulan sedang jalan-jalan di mall yang sama."
Randika mengerutkan dahinya. Kebetulan? Dia tidak percaya kebetulan bisa terjadi 2x. Sudah jelas bahwa Roberto sedang membuntuti Hannah.
"Kak, aku mau ke tempat kak Inggrid ya. Terima kasih minumannya." Hannah langsung keluar dari laboratoriumnya.
Randika juga ingin makan siang, ketika dia hendak pergi, tiba-tiba Viona kembali ke ruangan.
"Lho, bukannya kamu pergi makan sama teman-temanmu?" Randika cukup terkejut.
Viona dengan wajah malunya berkata dengan nada yang pelan. "Aku pikir kamu belum makan siang jadi aku membelikanmu nasi goreng dan bergegas kembali."
Randika benar-benar tersentuh. Dilihat-lihat, Viona yang terengah-engah itu membawa kresek berwarna hitam. Sepertinya dia sangat memikirkan dirinya.
Randika dengan senang hati menerima makanan tersebut dan duduk. Viona juga duduk di sampingnya.
Ketika dia membukanya, lauknya tidak kalah banyak dengan nasinya.
Randika cukup terkejut karena bisa dibilang nasi gorengnya ini cukup lengkap dengan adanya ayam goreng, telor ceplok, dan kerupuk.
"Apakah kamu tidak suka sama makanannya?" Tanya Viona.
"Tentu saja aku sangat suka, apa pun yang kamu berikan pasti enak! Tapi lebih enak lagi sih kalau kamu suapin aku…" Randika melirik Viona dengan tatapan manja.
"Ran, jangan gitu, kita masih di kantor. Sudah ayo cepat dimakan, nanti keburu selesai jam istirahatnya." Viona terlihat malu namun hatinya benar-benar bahagia.
Randika mulai mengambil sendok plastiknya dan mencicipinya. Setelah mengunyah nasinya, dia terdiam. Ketika dia mengambil ayam gorengnya, dia juga terdiam.
Viona menatap Randika dengan cemas. "Apakah enak?"
Randika menutup matanya dan membuat suara 'hmmm' yang lumayan panjang. "Benar-benar enak! Kamu pintar juga nyari makanan seperti ini."
Setelah mendengar pujian Randika, hati Viona menjadi senang. "Kalau begitu habiskan ya!"
"Vi, aku tahu kamu tadi pagi datang lebih awal kan? Kamu pasti tidak sempat sarapan, ayo sini kusuapin." Kata Randika.
"Hentikan…" Viona terlihat sedikit marah, tetapi wajahnya menunjukkan beberapa ekspresi yang berbeda. Namun hatinya masih mengingatkan dirinya bahwa ini masih tempat kerjanya.
"Hmm, kenapa? Sudah tenang saja, mereka semua masih makan siang. Sudah ayo buka mulutnya, ahhh…" Randika mengambil sesendok penuh nasi gorengnya, Viona pada akhirnya juga membuka mulutnya dan menerima suapan pertamanya itu.
"Enak bukan?" Kata Randika sambil tersenyum.
"Iya enak." Viona menganggukan kepalanya.
"Ayo satu suap lagi." Kali ini Randika mengambilkan sepotong ayam gorengnya. Setelah itu, dia berkata pada Viona. "Ayo gantian, sekarang giliranmu menyuapiku."
Wajah Viona sudah merah, tetapi dia tetap mengambil sendoknya dan mengambilkan sesendok penuh nasi gorengnya. Perlahan, dia menyuapi Randika meski dengan tangan yang gemetar.
Randika mengunyah dan menelannya, setelah itu dia berkata dengan santai. "Seandainya saja ada dua sendok, kita bisa gantian menyuapi satu sama lain."
"Ran…" Wajah Viona masih tetap merah. "Bagaimana kalau tiba-tiba ada yang datang?"
"Tidak perlu khawatir, mereka seharusnya baru balik lagi setengah jam lagi. Mana mungkin monyet-monyet itu kembali dengan cepat?"
Ketika baru saja Randika selesai berbicara seperti itu, dari luar muncul sebuah suara. "Pak, bisa-bisanya Anda mengatai kita monyet?"
Randika terkejut, Viona juga terkejut, mereka langsung menjauhi satu sama lain.
Tetapi semua sudah terlambat. Ketika Adrian masuk, dia sudah melihat bungkusan nasi dan sendok di atas meja. Terlebih lagi, Viona duduk persis di samping Randika meskipun tempat ini sangat sepi.
Dalam sekali lirik, Adrian bisa menyimpulkan apa yang telah terjadi.
"Pak Randika enak rek, beruntung sekali hidupmu." Tatapan mata Adrian terlihat iri. "Kapan aku bisa disuapin sama pacar, seandainya saja hidupku sebagus pak Randika."
"Ngomong omong kosong apa kamu?" Randika menatapnya dengan tajam. "Sudah berhenti ngomong yang tidak-tidak, ini aku ada botol air yang perlu diperiksa."
"Pak, aku tidak omong kosong." Adrian lalu bertanya. "Memangnya mana sendok pak Randika?"
Sendok? Bukannya ada di atas meja?
Randika menurunkan kepalanya dan melihat bahwa sendok itu tidak ada di sana. Pada saat ini, dia baru menyadari bahwa dia tadi meminta Viona untuk menyuapi dirinya.
Mati aku!
Hati Randika benar-benar panik, Viona yang duduk di sampingnya terlihat menggenggam erat sendoknya dan wajahnya sudah merah seperti tomat.
Randika terbatuk dua kali dan berkata dengan nada yang serius. "Adrian, sepertinya aku perlu memberi laporan pada Kelvin bagaimana kinerjamu selama ini."
"Ampun pak, ampun, aku akan tutup mulut." Seketika itu juga, Randika melemparkan botol airnya kepada Adrian. Dengan cepat pegawai satu ini mengecek kandungan yang ada di dalam air.