Setelah berkata penuh harap, Randika masih tidak bergerak ataupun menjawab kata-katanya.
Hannah langsung kembali depresi lagi.
"Kak, cepatlah bangun. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu." Hannah mengatakannya sambil berurai air mata. Pada saat yang sama, dia menutup matanya dan menggenggam erat tangan Randika sambil berdoa. "Ya Tuhan, tolong lindungilah kak Randika. Jangan biarkan dia mati atau aku akan menanggung penyesalan ini seumur hidupku."
Hannah berdoa dengan sungguh-sungguh.
"Kak, jika kamu tidak bangun seperti saat kita di gua, aku mungkin sudah mati." Hannah menatap Randika dengan serius. "Kak, aku percaya kamu bisa bangun lagi seperti kapan hari."
Kesadaran Randika masih kabur, tetapi dia dapat merasakan bahwa Hannah ada di sekitarnya. Dia ingin membuka matanya tetapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Di luar ruang perawatan, Singa dan Jin menunggu dengan tenang. Orang-orang yang lewat merasakan hal yang aneh pada mereka berdua.
Singa dan Jin bukanlah orang sembarangan. Penampilan Singa sudah mirip seorang gelandangan, bajunya compang camping dan robek di mana-mana. Tubuhnya sendiri penuh dengan luka yang mengering. Jin memakai baju yang elegan dan rapi, dia mirip seorang bangsawan.
Tetapi ketika mereka berdua duduk bersama-sama, hal ini membuat suatu pemandangan yang aneh.
Menurut orang-orang, mereka sudah mirip seorang budak dan majikannya.
"Liat apa kalian hah? Kubunuh kalian!" Tatapan sangar Singa membuat orang-orang merinding ketakutan. Hal ini langsung membuat orang-orang kabur tanpa berani menoleh ke belakang.
"Sudah diamlah." Kata Jin dengan tenang. "Ini rumah sakit, bukan jalanan."
Singa dengan santai bersandar di kursi dan menatap Jin. "Kamu ini meremehkan tuan kita ya? Tubuh tuan kita itu abnormal, beda dengan kita semua. Dia tidak apa-apa, dia hanya butuh waktu untuk istirahat."
"Istirahat?" Jin menatapnya tidak berdaya. "Tuan kita itu tertusuk di jantung…"
"Mau itu jantung, ginjal, kepala, semuanya tidak masalah." Singa menguap. "Kamu benar-benar meremehkan kemampuan tuan kita, sebentar lagi mungkin dia sudah siuman. Santai saja."
"Benarkah?" Hati Jin penuh dengan kegelisahan.
"Kamu kira aku berbicara omong kosong?" Singa menatapnya dan kembali berkata. "Apa kamu lupa betapa hebatnya bos kita di medan perang? Semakin banyak perang yang dia lewati, semakin kuat bos kita itu! Meskipun aku tidak tahu apa yang berbeda, bos kita itu bukanlah manusia biasa. Fisik kita bukanlah apa-apa apabila dibandingkan dengannya."
Jin merasa sedikit lega, kemudian dia bertanya. "Bagaimana dengan orang yang melukai tuan kita?"
"Serigala sudah mengejarnya dengan beberapa bawahannya, tetapi mereka dapat menutupi jejak mereka dengan baik. Bahkan Serigala tidak dapat menemukan jejak apa pun mengenai mereka." Jawab Singa. "Tetapi mau mereka sembunyi di mana pun, kita akan mengejarnya walau ke ujung bumi."
"Sepertinya Dion dan pasukannya gagal mengejar mereka ya?�� Kata Jin.
"Sepertinya begitu, perlu diingat bahwa musuh kita itu memakai helikopter, sangat susah untuk menyusulnya. Ketika dia berhasil mengejar pun, helikopter itu sudah terbakar agar tidak meninggalkan jejak sama sekali." Singa kembali menjelaskan. Melihat para perawat yang memakai rok mini, dia tidak bisa menahan diri untuk memuji mereka. "Sialan, mereka ini cantik-cantik!"
...
Di dalam ruangannya, Randika masih tidak sadarkan diri dan Hannah masih menggenggam erat tangannya sambil terus berdoa. Pada saat ini, Randika merasa bahwa tubuhnya sudah pulih secara total. Kesadarannya yang berada di ruangan putih itu perlahan kembali menuju tubuhnya.
Setelah beberapa saat, Randika dapat mendengar bisikan Hannah tepat di telinganya. "Kak, kamu harus bangun. Kak, kamu harus cepat pulih."
Adik iparnya ini memang perhatian…
Randika masih belum membuka matanya, di tangannya dia merasakan kembali sensasi empuk tadi.
Benda itu empuk dan elastis, mirip seperti marshmallow. Ketika dia meremasnya, benda itu mental kembali ke bentuk semula.
Benda ini kenyal dan bundar, benar-benar menyenangkan untuk dimainkan. Setelah itu, dia terus memainkannya.
Tindakan Randika ini jelas disadari oleh Hannah, perempuan ini merasa bahwa dadanya itu diremas-remas oleh seseorang.
"Kak??" Hannah benar-benar terlihat bingung, wajahnya sudah merah seperti tomat dan hatinya benar-benar senang. "Kakak sudah bangun! Doaku berhasil!"
Hannah benar-benar senang ketika melihat tangan itu terus meremas dadanya. Tetapi ketika dia melihat wajah Randika, sepertinya kakak iparnya ini belum membuka matanya.
"Kak, apa kamu sudah bangun?" Hannah menghampiri dan melihatnya lebih dekat. Tetapi dia tetap membiarkan tangannya itu meremas dadanya, dia takut jika tangannya itu dilepas maka kakak iparnya ini kembali tidur.
Dia yang sekarang hanya berharap tidak ada orang yang akan masuk dan melihatnya. Bagaimanapun juga, ini masih rumah sakit dan pemandangan ini terlalu vulgar.
"Kak? Kak Randika?"
Di tengah-tengah kesadarannya yang kembali, Randika merasa ada yang memanggilnya. Akhirnya kelopak mata Randika bergerak dan suara itu makin jelas terdengar di telinganya. Suara "Kak Randika" memenuhi telinganya.
Hannah memanggil dirinya!
Kelopak matanya berusaha membuka. Dan di bawah tatapan mata Hannah, akhirnya Randika berhasil membuka matanya. Pemandangannya yang putih dan tidak fokus itu perlahan menjadi jernih.
"Kak, kamu benar-benar bangun!" Di sampingnya ada Hannah yang terlihat bersemangat, dia hampir melompat-lompat saking gembiranya. Pada saat ini, tiba-tiba tangan Randika menggenggam erat. Hampir seluruh dada Hannah terperangkap oleh jari-jarinya.
Menghadapi serangan mendadak ini, Hannah mendesah pelan. Wajahnya merah tetapi dia tidak marah, hatinya yang sekarang benar-benar diselimuti oleh kegembiraan. Mau bagaimanapun juga, fakta mengenai kakak iparnya ini mesum tidak bisa dibantah. Sebelum ini dia sudah memainkan tubuhnya dan ketika dia bangun, dia masih memainkan tubuhnya! Benar-benar kurang ajar.
Tetapi, apa yang telah terjadi siang tadi masih segar di ingatannya. Jika Randika sampai mati ataupun cacat, Hannah akan merasa bersalah seumur hidupnya. Kondisi kakak iparnya sampai seperti ini karena dia berusaha melindungi dirinya, dan sepertinya dirinya lah yang menusukkan pisau itu tepat di jantungnya.
Randika yang sudah sadar ini berusaha untuk duduk. Hannah menyadari niat Randika ini dan langsung mengambil bantal ekstra di lemari untuk dijadikannya sandaran. "Sebentar kak, hati-hati!"
Pada saat ini, Randika ingin mengambil kembali tangannya yang ada di dadanya Hannah. Tetapi dia berhenti dan masih meremasnya
Hmm.. situasi apa ini?
Randika lumayan bingung. Seharusnya adik iparnya ini sudah berteriak dan bahkan mencoba memukulnya, yang terjadi justru dia membantu dirinya untuk duduk.
Terlebih lagi, ketika dia berusaha menyusun bantal di belakang punggung Randika, Hannah berada tepat di samping wajahnya. Dada besar itu menggantung tepat di matanya!
"Pelan-pelan kak." Setelah selesai menyusun, Hannah menyadari ada yang aneh. Ketika dia melihat ke bawah, dia menyadari bahwa kakak iparnya ini menatap dadanya lekat-lekat.
Kali ini dia merasa malu setengah mati.
Hannah dapat merasakan tatapan Randika itu menembus pakaiannya dan sedang melihat tubuh telanjangnya. Dalam sekejap wajahnya menjadi merah seperti tomat.
Namun kali ini dia sama sekali tidak marah, hanya merasa malu. Sebelum-sebelumnya, Hannah selalu melawan dan marah ketika Randika mencoba berbuat mesum padanya.
Pada saat ini, Hannah hanya berdiri seperti anak kecil dengan wajah merahnya.
Suasana ruangan menjadi canggung dan keduanya masih terdiam. Pada saat ini, tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan Inggrid berjalan masuk. Melihat sosok Randika yang duduk, istrinya ini menghembuskan napas lega.