Chapter 614 - Membunuh Merak

Han Sen mengejar lobster, yang telah mencapai kedalaman lebih dari seribu meter. Cahaya biru burung merak semakin redup, pertanda bahwa ia sedang sekarat.

Sayapnya dipatahkan oleh penjepit lobster. Darah merembes ke lautan dari daging yang sobek, mewarnai wilayah itu dengan kabut merah.

Han Sen hanya dapat melihat burung merak ketika cahaya biru berkedip.

Wajah merak itu rusak. Dagingnya telah dilucuti dan meleleh, memperlihatkan sebagian tengkoraknya.

Bulu-bulu anggun di sekujur tubuhnya telah dicabik-cabik. Bulu ekornya hancur karena keganasan lobster yang kejam. Burung merak yang dulunya tampak baik-baik saja dan cukup membanggakan diri di pulau sekarang lebih jelek daripada seekor ayam yang telah dikuliti.

"Sepertinya memiliki pertahanan yang tinggi adalah investasi yang lebih berharga," pikir Han Sen. Walaupun burung merak itu kuat, kekuatannya masih tidak cukup untuk melawan kekuatan lobster.

Lobster itu bukan fokus Han Sen. Makhluk super merak itu hanya bisa meninggalkan bekas goresan dangkal di atas cangkangnya; dia tidak mau mengambil risiko menjadi target potensial lobster yang berikutnya. Bahkan walaupun dia menggunakan Kekuatan Yin, dia tidak yakin apakah akan ada pengaruhnya.

Melihat merak sedang sekarat, Han Sen menyelam ke dekatnya. Darah keruh yang menodai perairan membantu menutupi pengejarannya.

Han Sen sekarang berada sekitar sepuluh meter dari mereka. Lobster itu bermain-main dengan tubuh merak yang hampir tak bernyawa, tidak menyadari bahwa dia sedang diawasi.

Burung merak tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Matanya memutih dan mulai tenggelam. Dia hanya bereaksi ketika lobster menggali dagingnya dengan kejam.

Han Sen memanggil pedang maskot jiwa binatang dan memegangnya erat-erat. Ini adalah pedang jiwa binatang amuk berdarah sakral; jika dia bisa memberikan satu pukulan dahsyat pada titik terlemah merak, dia mungkin bisa mengakhiri hidupnya untuk selamanya.

Titik lemah yang Han Sen maksudkan adalah luka paling pedih yang ditimbulkan oleh lobster.

Han Sen memposisikan dirinya dengan cermat. Dia tidak bisa membiarkan lobster menyadari kehadirannya, tetapi dia harus berada sedekat mungkin dengan merak.

Setelah mengamati keadaan merak, dia memperkirakan sejumlah luka yang mungkin diderita merak. Tapi luka manapun yang dia pilih, dia hanya punya satu kesempatan untuk memastikan pembunuhan itu. Begitu dia menyerang, lobster yang dengan riang mengunyah mangsanya akan mengetahui keberadaannya. Tidak akan kesempatan kedua.

Luka di sayap merak adalah yang paling parah. Tetapi jika dia menyerang tempat itu, itu bukan lokasi yang mematikan dan kritis.

Walaupun burung merak tampak benar-benar hancur, luka-lukanya lebih besar daripada jumlah bagian mereka. Tidak ada yang benar-benar parah. Menurutnya, penyebab kematian merak akan lebih dikarenakan tenggelam. Luka itu sendiri tidak cukup untuk menghentikan aktivitas tubuhnya atau membuatnya berdarah sampai mati.

Han Sen terus mengamati. Jika dia ingin membunuh merak dalam satu serangan, lokasi yang paling memungkinkan adalah luka yang ditinggalkan oleh tawon.

Wajah merak itu berantakan. Plasma darah bocor dari matanya, mengindikasikan bahwa otaknya telah dirusak oleh racun itu.

Han Sen menghindari plasma yang menggenang di air laut dengan hati-hati. Walaupun mirip dengan darah, plasma membeku di dalam air. Dia tidak bercampur dengan air laut dan menghitamkan air seperti yang terjadi pada darah merah.

Han Sen menyamarkan dirinya di lautan darah dan berhasil menyelinap di balik tubuh merak. Lobster besar masih menikmatil musuh berbulunya dan tidak menyadari kehadiran Han Sen.

Han Sen mulai merasa waspada. Jika dia ditemukan, dia tidak punya pilihan lain selain mundur, karena dia tidak mungkin bisa bertarung melawan lobster yang jauh dari wilayahnya sendiri; dalam laut.

Walaupun lobster tidak menyeramkan seperti tawon, cangkang lobster membuatnya kebal saat ini. Selain itu, walaupun Han Sen adalah perenang yang sangat tangkas, tidak ada diragukan lagi bahwa lobster akan jauh lebih cepat daripada dirinya. Dia tidak berani membuatnya kesal.

Jika mereka berada di darat, maka mungkin dia akan memiliki kesempatan untuk melawan. Dia tidak berani bertarung di sini. Han Sen hanya bisa berdoa agar dia tidak ditemukan.

Untungnya, keberuntungan ada di pihak Han Sen. Dia berhasil mendekati sisi merak tanpa disadari oleh lobster.

Jika dia ingin menyerang mata burung merak, dia akan mengalami kesulitan. Lobster menghadap ke arah itu, jadi dia pasti terlihat.

Han Sen menempel dekat dengan tubuh merak untuk sementara waktu, menunggu kesempatan yang sempurna. Sayangnya, kesempatan itu tidak pernah datang.

Setelah mengulur waktu lebih lama, kesempatan yang dia tunggu masih tidak datang. Tetapi sekarang dia kehabisan waktu, karena burung merak itu tampak seperti mulai menyerah. Kepalanya meliuk-liuk di air dan kedutan tubuhnya semakin samar dalam setiap gigitan lobster.

"Tidak. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika aku tidak melakukannya, burung merak akan mati. Ini risiko yang harus aku ambil." Han Sen menggertakkan giginya, memegang pedang maskot jiwa binatang dan menatap kepala yang terayun-ayun.

Dia melemparkan Mantra Klenik dan Kekuatan Giok Matahari. Dengan jantung seperti generator, dia diberkahi dengan cadangan kekuatan yang tak terbatas. Kekuatannya berada pada kapasitas maksimal dan dia siap untuk menyerang.

Han Sen memilih untuk tidak berubah menjadi Putri Salju. Dia memutuskan untuk menggunakan Peri Ratu. Tetapi dia membutuhkan kejelasan visi yang lebih besar untuk menganalisis kepala burung merak dan pergerakan lobster dengan lebih baik.

Dia menggunakan indra ketujuhnya dan mengumpulkan gambaran terperinci dari setiap adegan itu sehingga dia bisa memprediksi setiap kemungkinan.

Serangan seperti ini pasti akan menarik perhatian lobster. Dan setelah itu, dia hanya bisa melarikan diri. Kehidupan Han Sen bergantung pada apakah dia bisa lolos dari pengejaran lobster; oleh karena itu, dia tidak dapat membuat sedikitpun kesalahan. Dia tidak bisa gegabah.

Tapi kemudian kesempatan muncul dengan sendirinya. Tanpa membiarkannya lewat, dia langsung bertindak. Dia berenang langsung ke kepala burung merak seperti torpedo, pedang di tangan dan siap menyerang.

Saat Han Sen bergerak, lobster menjadi sadar. Penjepit yang sebelumnya merusak tubuh merak sekarang beralih ke Han Sen.

Mata Han Sen tampak dingin. Sejak dia membuka kunci gennya dengan Kulit Giok, dia bisa menjadi tanpa emosi dan tidak takut mati sesuai dengan keinginannya.

Penjepit lobster terlalu cepat. Dia tahu jika dia melanjutkan serangannya pada merak, dia tidak akan bisa menghindari cakar.

Jika Han Sen melarikan diri sekarang, bagaimanapun dia tidak akan diberi kesempatan kedua untuk membunuh burung merak.

Matanya tampak berbeda. Pedang maskot kuno itu dihunuskan pada mata burung merak berulang kali, dan pada saat yang sama, dia memanggil baju baja emasnya dan piktograf gargoyle. Dengan tangannya yang lain, dia berusaha menghentikan penjepit.

Pedang maskot jiwa binatang itu didorong jauh ke dalam mata burung merak, sejauh empat kaki. Tidak ada perlawanan.

Tetapi pada saat yang sama, jepitan besar ungu dari lobster datang menimpa Han Sen. Dia menamparnya.

Pang!

Tangan Han Sen terlempar ke dadanya sendiri. Han Sen memuntahkan darah, dan diluncurkan seperti bola meriam sejauh beberapa puluh meter dalam laut.