Ibu! Kenapa bicara yang tidak-tidak
si. Memalukan.
Aran sampai menundukan kepalanya
dalam. Mengesekan jari ke kursi, menahan perasaan malu. Sementara Daniah bisa
menanggapi pembicaraan ibu tanpa canggung. Ibunya Aran sedang bicara tidak tahu
bersumbu dan bermuara kemana. Banyak sekali yang dia ceritakan, saat
membicarakan Aran dengan semua cerita yang sedikit di lebihkan dimana-mana.
“ Terimakasih sudah menjaga Aran
nona.” Meraih tangan dan mengengam tangan Daniah. Aran sampai menarik lengan baju
ibunya. Wanita itu malah melotot. "Apa?" Dengan bahasa bibir tanpa suara.
“ Aran bekerja dengan baik bibi.
Dia gadis yang pekerja keras.” Daniah menepuk bahu tangan ibu Aran. “ Bibi
memang pantas untuk berbangga.”
“ Ia benar, dia reporter pekerja
keras. Kalau bukan karena sekertaris itu, Aran pasti punya pekerjaan hebat
sekarang.” Ibu masih belum bisa menrima kenyataan.
Lagi-lagi ibu memaki sekertaris
Han. Daniah melihat Aran.
Ternyata masalah cintamu rumit ya
Aran. Kau menyukai sekertaris Han yang acuh padamu, sementara itu ibumu
membenci laki-laki yang kamu sukai.
“ Ayahmu bilang dia mau
menjodohkanmu dengan anak temannya.” Kata-kata ibu sudah seperti petir menyambar di siang bolong.
“ Ibu, ibu kenapa si tiba-tiba.” kesal. Pembicaraan tentang perjodohan tidak pernah ada selama ini. Sekalipun ketika Aran berada di pelarian dan hanya sebulan sekali menghubungi ibunya.
“ Tiba-tiba apanya, sudah dari lama
ibu bilang menikah saja. Menikah dengan laki-laki baik dan menjadi ibu rumah
tangga. Toh karirmu juga sudah berhentikan.” Ibu selalu punya pilihan kata yang jenius.
“ Jangan membahas menikah lagi bu. Aku
mohon. Sekarang aku akan fokus bekerja dan melunasi rumah ini. Baru kita
bicarakan itu nanti.” Menjejakan kaki ke lantai. "Rumah ini saja belum lunas, aku masih harus bekerja mengumpulkan uang. Jadi berhenti bicara tentang perjodohan."
Membayangkan perjodohan saja sudah pasti merepotkan.
“ Nona, apa nona tahu, kalau gadis
bodoh ini jatuh cinta dengan laki-laki yang sudah menghancurkan karirnya.” Ibu beralih menatap Daniah.
“ Ibu, akukan yang salah juga.
Jangan hanya menyalahkan sekertaris Han secara sepihak.” Membela lagi. Karena memang Aranpun merasa kalau itu juga kesalahannya.
“ Lihat, lihat kau terus
membelanya. Padahal kau sudah kehilangan karir masa mudamu. Selama berapa
tahun kamu hanya jadi penulis online Aran. Itu karena siapa? karena diakan?” Menghujam telak. Masih untung ibu tidak memaki lagi.
“ Ibu lupa, sekarang gajiku tiga
kali lipat daripada di stasiun TVXX.” Tersenyum tipis, paling tidak ada yang bisa dia pamerkan. " Karir masa muda apa, akukan masih muda sekarang, masih bisa merintis karir dari awal lagi." menepuk dadanya keras penuh percaya diri.
“ Yaaa, itu memang luar biasa.” Ibu
mengakui. Meraih tangan Daniah lagi. “ Nona Daniah tolong jaga Aran ya.”
“ Ibu kenapa bicara begitu, itukan
membebani nona.”
Plak! Pukulan di bahu Aran.
“ Karena otakmu kadang tidak waras. Makanya ibu mengatakan begini.
Sekarang ibu tanya, apa kau sering bertemu dengannya.” Menuding bahu Aran.
“ Siapa?”
“ Siapa lagi, sekertaris sialan itu.” Ibu langsung menutup mulutnya. "Maaf nona." Daniah hanya membalas dengan senyum.
“ Tentu saja aku sering bertemu
dengannya. Diakan sekertaris tuan saga, suami nona Daniah." Dimana ada tuan Saga, di situlah sekertaris Han berdiri di belakangnya.
“ Lihatkan, lihat aura wajahmu
berubah saat menyebut namanya.” Plak! memukul bahu lagi. “ Kau memang tidak waras karena
menyukainya.”
“ Ibu sakit! Kenapa memukuliku si.”
Daniah tersenyum melihat
pertengkaran ibu dan anak itu. Mereka bicara dengan keras bahkan saling
berteriak dan memukul, namun tatapan mata mereka penuh dengan kasih sayang. Saling
mencintai dengan kedekatan dan hati mereka masing-masing. Dia bahkan tidak
pernah mendapatkaan cinta yang semacam itu.
Saat sedang memandangi pemandangan
cinta kasih ibu dan anak di depannya, Daniah di kejutkan dengan suara panggilan
di hpnya.
Hah! Itukan nada dering kusus untuk
tuan Saga.
Ibu dan anak itu langsung
menghentikan pertengkaran mereka saat mendengar suara keras dari tas Daniah.
“ Hehe maaf ya. Aku angkat telfon
sebentar.” Daniah menyambar tasnya lalu berjalan keluar rumah, duduk di teras
depan.
Yang Mulia Raja memanggil. Dia
menatap layar hpnya. Nama di phonebook yang ia pakai untuk menyimpan nama
suaminya. Belum dia ganti. Dari awal dia menyimpannya dulu, karena saking jarangnya mereka berkomunikasi lewat hp. Bahkan kalau dilihat dia lebih sering mengirim pesan pada sekertaris Han, ketimbang pada Saga.
Kenapa dia menelfon si. Biasanyakan
tidak pernah.
Ragu, bahkan takut untuk menjawab. Tapi
akan tambah menjadi masalah kalau panggilan kedua kali baru diangkat.
“ Sayang, hallo.” Meremas tali
tasnya.
“ Kenapa lama sekali? Kamu dimana?” Suaranya terdengar dingin.
“ Haha, maaf sayang. Hp tadi di
dalam tas.” Daniah sudah mengkerutkan bibir. Kenapa Saga bisa menelfon sekarang. “ Aku sudah mau pulang.”
“ Pulang?” Jawabnya dengan nada satir. Seperti tahu, kalau Daniah tidak berada di ruko. Daniah langsung bangun dari duduk. Panik melihat sekelilingnya. Tidak mungkin dia di awasi sampai sejauh itukan. Lega karena merasa tidak ada yang aneh.
Apa dia ke ruko atau jangan-jangan
sudah sampai di rumah.
“ Sayang, kamu dimana?”
Habislah aku. Aaaaaaaa.
“ Menurutmu aku dimana Niah sayang?”
Benar, habislah aku. Dia memanggilku sayang kadang kalau sedang kesalkan.
“ Sayang, aku.” Terbata menjawab.
“ Dimana kamu?” Mulai tidak sabar.
“ Aku sudah pergi dari ruko, dan mampir sebentar.”
“ Dimana?”
“ Mampir ke rumah orang tua Aran
sebentar sayang. Ini sudah mau pulang.”
" Wahh, wah, kau semakin berani ya sekarang." Daniah mengigit bibir. " Padahal aku hanya mengizinkanmu pergi bekerja ke ruko."
Aran dan ibunya muncul di depan pintu. Membuat Daniah tercekik dan tidak bisa menjawab kata-kata Saga.
" Sayang."
" Kembali ke rumah dalam setengah jam." Sambungan mati.
" Maafkan saya nona." Bukan waktunya untuk kuatir terhadap nona Arandita, yang harus membuatmu kuatir adalah nasibmu sendiri. Begitu pikiran Aran. Kalau nona mungkin hanya akan dikurung di dalam rumah selama dua hari. Tapi kalau kamu, mungkin kamu akan di seret keluar dari rumah utama.
Gaji tiga kali lipatku! Hubunganku dengan sekertaris Han.
Dua hal itu terbang di bawa angin topan, berputar menuju langit yang tinggi. Menjauhinya dengan cepat.
" Aran apa menurutmu sekertaris Han memata-matai kita. Bagaimana bisa tepat sekali seperti ini si." Daniah menjerit kesal di dalam mobil. " Bagaimana dia tahu kalau kita pergi dari ruko." Sudah tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya. Sambil menjatuhkan kepala ke sandaran kursi mobil.
Alasan, buat alasan Daniah. Alasan apa ya?
Blank, pikiran Daniah kosong. Hanya wajah kesal Saga yang terbayang di kepalanya. Sampai mobil memasuki area parkir rumah utama, Daniah belum selesai menyusun kalimat jawaban. Dia bergegas turun dari mobil. Berjalan cepat masuk ke dalam rumah.
Sekertaris sialan! sepertinya makian ibu Aran memang tepat untuk mu.
Han sedang duduk dengan segelas minuman sambil memeriksa draf di tangannya. Menoleh ketika mendengar langkah kaki Daniah. Dia menutup kertas di tangannya terbalik di atas meja. Lalu bangun dari duduk.
Dug! Daniah kesal menginjak sepatu Han. "Kau sengajakan? Sudah lama aku tidak bertengkar denganmu." Ucap Daniah berkacak pinggang. " Kenapa tidak bilang kalau tuan Saga pulang lebih awal hari ini." Ingin sekali Daniah berteriak dan meremas wajah di depannya yang masih terlihat santai ini.
" Tuan muda bilang merindukan nona, jadi dia ingin memberi kejutan dengan menjemput nona di ruko." Lagi-lagi memberi penjelasan dengan suaranya yang datar. Daniah ingin menjerit. Kenapa waktunya pas sekali begini.
" Haha, dan aku benar-benar terkejut." Langsung berhenti tertawa. mendorong tubuh Han, sengaja, padahal ada banyak ruang di sebelahnya yang bisa dia lewati. Saat sudah mau sampai ke tangga dia mendengar langkah kaki Aran membuatnya berbalik.
" Nona." Aran mendekat.
Daniah berbalik mendekati Han.
" Nona, waktu setengah jam tuan muda menunggu sebentar lagi habis. Sebaiknya anda naik ke kamar." Wajah panik Daniah langsung menyeruak. Menoleh ke atas dan Aran bergantian. Dia memilih mendekati Aran. Han terlihat mendesah dan mengelengkan kepala.
" Jangan hukum Aran." Meraih tangan Aran. " Apa kau dengar sekertaris Han?"
" Tentu saja nona saya mendengarnya." tersenyum tipis. " Saya tidak akan menghukum Aran." Han melihat jam ditangannya lagi. " Waktu anda tinggal lima menit."
Cih.
" Aran, pergilah ke kamarmu. Jangan bicara dengannya." melirik Han. Aran menggangukan kepalanya. " Minggir!" Lagi-lagi mendorong Han dengan tangan. Berjalan biar terlihat keren. Menaiki tangga dia langsung berlari kecil. Mengejar waktu lima menit yang tersisa.
Huh! apa anda kangen membuat masalah nona.
Epilog
" Tuan." Aran menyapa pelan.
" Temui pak Mun untuk mempertanggungjawabkan kesalaahanmu." Han hanya bicara singkat, dengan nada dingin. lalu berbalik, kembali ke tempat duduknya. Membuka laporan yang dia baca tadi.
" Tuan, maafkan saya."
" Arandita!"
Aran langsung merasa tercekik kerongkongannya. Dia melangkah meninggalkan rumah utama. Hanya menoleh sekilas sebelum keluar dari pintu. Sekertaris Han sama sekali tidak melihat ke arahnya.
Lebih baik kau berteriak dan mengataiku bodoh. Daripada mendiamkanku begitu.
Aran bisa merasakan kekecewaan di mata sekertaris Han.
" Aran!" seorang pelayan senior memanggil.
" Ia kak."
" Pak Mun menunggumu di ruangannya."
Deg, apa ini benar-benar akhir dari pekerjaanku. Ruangan pak Mun adalah tempat yang paling tidak ingin di masuki para pelayan atau pengawal rumah ini. Karena hanya kesalahan besar yang membuatmu memasuki ruangan itu.
Bersambung