Terlepas dari selesainya
pertengkaran Daniah dan Saga. Ada seseorang yang tidak bisa lari dari jerat
hukuman.
“ Menurutmu apa yang akan terjadi
pada Aran? Sangat jarang ada yang bisa keluar dengan menegakan kepala dari
ruangan pak Mun.”
“ Apa dia membuat kesalahan pada
tuan muda?” Merinding mendengar kata-katanya sendiri. Jangankan membuat kesalahan di depan tuan muda, dia sendiri bahkan belum pernah bicara secara langsung dengan tuan muda. walaupun sudah tiga tahun dia ada di rumah ini.
“ Hampir sebagian yang masuk ke
ruangan pak Mun keluar dengan membawa surat pemecatan.” Pak Mun bisa terlihat ramah, baik dan normal. Tapi sama seperti sekertaris Han, sikapnya akan berubah mengancam kalau berurusan dengan tuan muda. Semua pelayan di rumah ini sudah tahu itu.
Dua orang pelayan wanita yang cukup
dekat dengan Aran sedang duduk meluruskan kaki mereka di dalam kamar. Membicarakan nasih Aran ke depan. Posisi
kamar mereka yang bersebelahan juga mendekatkan hubungan keseharian diantara
mereka. Sampai jam segini Aran belum terlihat batang hidungnya keluar dari
ruangan pak Mun. Bahkan waktu makan malam pun sudah lewat.
“ Dia pasti belum makan malam.”
“ Tuan muda dan nona juga tidak
keluar dari kamar untuk makan malam. Sepertinya Aran benar-benar sudah terlibat
dengan urusan yang sangat berbahaya.”
Mereka mencoba menduga kesalahan
apa yang dibuat Aran, tapi tidak ada yang sampai di akal mereka berdua.
Beberapa alasan mereka sebutkan, lalu keduanya mengeleng. Karena standarisasi
kesalahan di hadapan tuan muda adalah semua atas kehendaknya.
“ Huh! Kita tunggu saja sebentar
lagi. Kau sudah bawa makanan untuk Arankan?”
“ Hemm, ini.” Dia mengeluarkan
sekotak susu dan juga jus buah. Ada coklat dan juga roti. “ Apa kita bawa mi
cup ya. Siapa tahu dia lapar.”
“ Ya sudah, ambil sana ke dapur
sama airpanasnya juga.”
Gadis itu bangun dari duduk, lalu
beranjak keluar kamar. Selang beberapa saat setelah menghilang di balik pintu,
dia membuka pintu cepat.
“ Kak! Aran sudah kembali.” Gadis
itu mengandeng tangan Aran masuk ke kamarnya.
Wajah pucat pasi Aran, tangannya
bergetar dan mulutnya komat kamit juga. Dia membawa Aran duduk di atas tempat
tidur. Mengambil sebotol jus, membukakan tutupnya.
“ Minumlah, biar kau ada tenaga.”
Dia di hukum apa sama pak Mun
sampai sepucat ini.
“ Mau makan? Kamu laparkan?” temannya
membuka bungkusan roti. Memotongnya separuh, menyuapkan ke mulut Aran. “ Pergi
ambil mi sana. Sepertinya Aran butuh makanan hangat.”
Aran masih terdiam, hanya mulutnya
yang mengunyah. Tapi dia tidak punya tenaga untuk bicara sedikitpun. Mengunyah
roti. Meneguk jus buah. Selang seling sambil di suapi. Bahunya di elus pelan.
Di tepuk perlahan juga.
“ Sabar ya Aran.”
“ Kak.” Lirih Aran bicara.
“ Ia.” Masih mengelus bahu Aran lembut.
“ Sepertinya setelah hari ini aku
akan pensiun menulis dan membaca.”
Eh kenapa? Sebenarnya hukuman apa yang di dapatnya dari pak Mun. Menulis dan membacakan hobinya selama ini.
Tapi dia tidak bertanya. Sampai mi
instan datang sekalipun, dia tidak mengobati rasa penasarannya dengan bertanya. Akhirnya mereka menyedu tiga cup, sebagai rasa solidaritas untuk
Aran. Walaupun sebenarnya mereka tidak lapar. Tapi kuah hangat dan pedas mi
instan selalu saja tetap enak di nikmati walaupun sudah kenyangkan. Aran masih
belum bicara apapun sampai mi di tangannya habis. Begitu pula kedua orang di
depannya. Walaupun setengah mati mereka penasaran, tapi mereka tetap tidak akan
bertanya.
Karena apapun yang terjadi di
ruangan pak Mun, hanya orang yang memasukinya dan pak Mun yang tahu.
Malam yang tidak akan pernah dilupakan Aran seumur hidupnya.
“ Temui pak Mun untuk
mempertanggungjawabkan kesalahanmu.” Begitu suara sekertaris Han yang kembali
bergema di telingan Aran. Diucapkan dengan wajah tanpa simpati. Bahkan
sekertaris Han langsung berbalik tidak menoleh padanya lagi.
Hati Aran sakit rasanya, seperti
dia orang asing.
Aran masih mematung di depan pintu
ruang kerja pak Mun. Belum berani mengetuk pintu, selama beberapa menit dia
masih menguatkan hatinya. Mencoba menerka, apa yang akan terjadi di dalam kalau
sampai dia memasuki pintu itu.
Kenapa dia tidak mennghukumku
langsung?
Tangan Aran terlihat bergetar.
Walaupun dia merasa senang karena bukan Han yang langsung menghukumnya, tapi
kenapa perasaannya malah ngeri. Han berjanji untuk tidak memukulnya.
Apa karena itu dia tidak mau
menghukumku, karena berpegang dengan kata-katanya kalau dia tidak akaan
memukulku. Dan sekarang menyerahkanku pada pak Mun.
Wajah laki-laki yaang kadang
bersahabat itu terngiang, Aran tidak membayangkan kalau laki-laki yang sedang
ada di dalam ruangan sedang menunggunya
dengan tongkat rotan di tangan. Menepuk-nepuk tongkat di depan maatanya sambil
tersenyum.
Aaaaaa, aku takut! Masih mending
ibu memukulku pakai sapu. Aku masih bisa merengek.
Aran melangkah pelan. Menarik nafas
dalam, sambil tangannya sudah memegang handle pintu.
Pak Mun orang baik. Pak Mun orang
baik.
Begitu mantera yang ia ucapkan
sambil mendekati pintu. Mengetuk pintu perlahan. Membukanya dengan hati-hati.
Pak Mun orang baik. Pak Mun orang
baik.
Aran mundur dua langkah membentur
pintu lagi saat melihat pak Mun menatapnya dengan tatapan bercampur. Kesal,
marah dan jengah sekaligus menjadi satu. Perpadu di wajahnya.
Pak Mun orang baik. Begitu ulangnya
dalam hati. Tapi dia tidak terlihat
seperti orang baik sekarang. Menjerit lagi dalam hati. Ingin berbalik dan
keluar dari ruangan ini.
“ Duduk!”
“ Ba, baik pak.” Aran cepat
mengeser kursi dan duduk di depan meja pak Mun. Mereka berhadap-hadapan. Aran
meneriksa di meja dan melirik beberapa sudut. Dia tidak menemukan benda apapun
yang bisa dipakai pak Mun untuk memukulnya. Sejenis rotan, kayu, atau pipa
begitu.
Hei Aran, diakan punya tangan.
Memang dia tidak bisa memukulmu dengan kedua tangannya itu.
Wajah Aran langsung depresi saat
melihat tangan pak Mun yang ada di atas meja.
“ Arandita!.”
“ Ia pak Mun, maafkan saya.”
Berteriak cepat sampai suaranya mengagetkan dirinya sendiri. “ Maaf.”
Menundukan kepala.
“ Kau tahu apa kesalahanmu?” Aran
masih terdiam. Dia melihat pak Mun mengeluarkan dua buah tumpukan kertas dari
dalam laci yang dia bagi dua. Bagian kanan terlihat hanya beberepa lembar,
sedangkan bagian kiri tampak mengunung. “ Katakan apa kesalahanmu?”
“ Saya membawa nona Daniah ke rumah
saya pak.” Masih tertunduk menjawab.
“ Kau membahayakan keselamatan nona
Daniah." Itu yang utama. " Dan kau melanggar aturan yang sudah dibuat oleh tuan muda.” Menyodorkan
kertas bagian kanan. “ Aku tidak tahu kenapa sekertaris Han memberimu
kesempatan memilih. Karena kesalahan seperti yang kau lakukan hari ini tidak akan di toleransi sedikitpun biasanya."
Eh, benarkah dia menolongku. Tapi tunggu, memang aku kriminal sampai membahayakan keselamatan nona. Kamikan cuma mampir ke rumaah untuk bertemu dengan ibuku. Bahayanya dimana? Ingin protes keras.
" Lalu ini." Kata-kata pak Mun menyadarkan Aran. “ Dia memberimu pilihan. Kau di
pecat dan pergi dari sini, jangan pernah muncul di hadapan nona Daniah seumur
hidupmu.” Menyodorkan kertas di bagian kanan. “ Atau selesaikan hukumanmu malam
ini juga.” Mendorong segunung kertas di bagian kiri. " Dan kau bisa tetap bekerja di rumah ini."
Apa ini!
Tangan Aran gemetar memegang dua tumpukan kertas di depannya. Sekertaris Han memberinya kesempatan memilih. Dipecat atau menyelesaikan hukuman.
" Kenapa saya mendapat kesempatan ini pak?"
" Apa kau masih punya waktu untuk bertanya. Putuskan sekarang kau memilih yang mana?" Pak Mun melihat Aran yang binggung. " Putuskan dalam sepuluh menit."
Dipecat, pergi dari rumah ini. Artinya aku harus menghilang lagi untuk kedua kalinya. Kehilangan pekerjaan, kembali hidup serabutan di kontrakan sempit. Dan yang pasti, ya. Melepaskan kesempatan memperjuangkan perasaanku. Huh! apa untuk ini sekertaris Han menyuruhku memilih.
Aran menemukan kesimpulan penting selama dia berfikir. Kalau dia di pecat artinya hubungannya dengan Han yang belum terjalin sudah harus pecah. Bahkan sebelum di mulai.
" Saya akan menyelesaikan hukuman saya pak!" Menarik tumpukan kertas yang segunung di depannya.
Ini Apa?
" Aku tidak tahu apa motivasimu, tapi karena kau sudah memilihnya aku akan menghargainya." Pak Mun menunjuk tumpukan kertas di depannya. "Salin semua aturan yang harus kau patuhi di rumah ini. Tulis dengan tanganmu. " Lalu pak Mun mengambil lembaran kertas kosong di dalam laci. Masih sama menggunungnya. " Setelah itu buat surat permohonan maafmu. Semakin banyak semakin bagus."
Apa! gemetar-gemetar tangan Aran.
" Selesaikan malam ini juga."
" Tapi pak ini banyak sekali."
" Kalau begitu, aku sarankan, kau pilih surat pemecatan dirimu saja."
" Tidak pak! Saya bisa melakukannya." Berdiri sambil mengacuhkan tangan. " Demi gaji dan cinta." Pak Mun mengeryit mendengar teriakan Aran.
" Tulis dengan benar surat permohonan maafmu, karena tuan muda akan melihatnya."
" Ba, baik pak."
Pak Mun menatap Aran yang mulai meraih kertas kosong dan pena. Dia bangun dari duduk untuk meninggalkan Aran.
Kenapa Han sampai memberinya kesempatan begini? Dia keluar dari ruangan untuk menyiapkan makan malam masih di penuhi tanya. Bahkan dia masih mendapati sekertaris Han keluar dari ruang kerja Saga. Belum kembali pulang ke rumahnya.
" Dimana gadis itu pak? Apa yang dia pilih?" Tanya Han.
" Dia memilih tetap tinggal dan menyelesaikan hukumannya."
Tunggu, barusan Han tersenyum senangkan? Pak Mun menatap punggung Han yang meninggalkannya setelah mendengar ucapannya.
Epilog
Aaaaaaa, persetan dengan uang dan cinta, aku mau mati saja!
Aran membenturkan kepalanya ke meja berulang. Belum separuh dia menyalin buku aturan, tangannya sudah gemetar kaku.
Kalau sampai aku tidak bisa membuatmu bertekuk lutut setelah aku melakukan ini, maka. Maka apa Arandita?
" Maka aku akan pergi kencan dengan siapapun yang di jodohkan orang tuaku!, tidak! aku akan pergi kencan dengan siapapun yang mengajakku berkencan!" Berteriak keras sampai suaranya mengema di ruangan kerja pak Mun.
Bersambung