Setelah kejadian di kolam renang itu, Randika tidak mau lama-lama lagi di sana. Meskipun para perempuan penasaran dengan dirinya, Randika masih tidak bisa melupakan kekecewaan yang diterimanya sebelumnya. Jadi dia memutuskan untuk pergi dari sana dan berkeliling lagi bersama Hannah.
Karena cuaca sudah tidak sepanas tadi, mereka berdua sudah hampir selesai berkeliling seluruh universitas. Hannah benar-benar menjadi pemandu tur yang handal.
Setelah 1 jam mereka berkeliling, Hannah tiba-tiba ditelepon temannya dan ternyata dia diajak untuk pergi karaoke. Dia lalu pamit duluan dan memberi tahu cara Randika keluar dari kompleks universitasnya.
Tega sekali adik iparnya ini menelantarkan dirinya.
Randika berjalan keluar sambil berwajah murung. Saat dia mau berbelok keluar dari gedung, ada seorang dosen yang sedang berjalan dengan kesusahan sambil membawa banyak buku.
Karena tidak bisa melihat dengan baik, dosen ini tetap berjalan dan menabrak Randika. Dalam sekejap dia terjatuh dan bukunya jatuh berserakan.
"Ah!"
"Maaf, aku tidak menyangka akan menabrakmu." Randika segera meminta maaf dan membantunya untuk berdiri.
"Kalau jalan hati-hati ya!" Dosen itu segera memarahi Randika. Ketika dia menggenggam tangannya, Randika terpukau dengan kecantikannya.
Dosen ini, tidak, perempuan cantik ini benar-benar menawan. Umurnya mungkin sekitar 27, cukup muda bagi dosen. Dengan make upnya yang tipis, hidung mancung dan bibir mungilnya membuat ekspresi marahnya ini terlihat imut.
Namun, yang sangat disayangkan adalah dadanya yang kecil. Untuk kategori ini Randika harus sedikit bersabar menerimanya.
"Maafkan aku, aku tadi melamun." Kata Randika sambil tersenyum, dia lalu membantu untuk mengumpulkan kembali buku-bukunya.
"Anda dosen di sini?" Kata Randika.
"Iya." Melihat tingkah laku Randika yang sopan, dosen ini sedikit lebih tenang.
Setelah selesai memungut semua buku itu, 3/4 buku dibawa oleh Randika. "Sebagai permintaan maaf, biarkan aku membantu dirimu.��
Dosen ini awalnya sedikit ragu, tetapi mendengar bahwa niatan orang ini baik, akhirnya dia mengangguk.
Randika tersenyum dan menjulurkan tangannya. "Namaku Randika."
"Aku Christina."
Lalu keduanya berjalan bersama dan bertukar kabar.
"Kamu mengajar bagian apa?" Tanya Randika.
"Psikiologi." Jawab Christina. "Kalau kamu? Kamu murid sini?"
"Bukan," Kata Randika sambil tersenyum. "tapi aku anggap barusan sebagai pujian darimu."
Keduanya berbincang-bincang dengan senang dan melihat saatnya sudah tepat, Randika melancarkan serangannya. Dia bertanya. "Kamu sudah menikah?"
Christina yang mendengarnya terkejut. "Belum."
Sesuai dugaannya, meskipun dia cantik ternyata dia masih jomblo.
Ketika melihat wajah serius Randika, Christina bertanya. "Ada apa?"
Randika lalu mengangkat wajahnya dan berkata dengan serius. "Christina, aku menguasai beberapa ilmu pengobatan tradisional tetapi aku tidak tahu aku harus mengatakanmu secara terus terang atau tidak."
"Katakan saja!" Christina penasaran.
"Kau memiliki beberapa masalah di bidang kewanitaan, kita harus mengobatinya secepat mungkin."
"Ah?" Mendengar jawaban Randika, Christina dengan cepat tersipu malu. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu?
Lalu tiba-tiba Christina tersadar, sudah banyak laki yang mengejarnya selama ini dan memakai banyak cara untuk mendekatinya. Namun, yang ini benar-benar baru!
"Masa?" Christina sudah mengecap Randika sebagai salah satu orang yang ingin mendekatinya, nada bicaranya menjadi dingin.
Kalau Randika mengerti isi kepala Christina, mungkin dia sudah menggodanya hingga dia menjadi gila.
"Kau benar-benar memiliki masalah kewanitaan." Kata Randika dengan serius.
"Randika… kau memakai cara seperti ini ketika mendekati cewek?"
Randika terkejut, dia sudah dianggap mengejar dirinya. Baiklah, dirinya memang berusaha dekat dengan Christina tapi kenapa dia percaya diri sekali seperti itu?
"Christ, aku tidak bercanda. Masalahmu ini sudah serius." Randika kembali menegaskan.
Melihat Randika yang serius itu, Christina ingin mendengar taktik apa yang dipakainya. "Kalau begitu jelaskan padaku masalahnya apa?"
"Begini…" Randika sedikit ragu.
"Kenapa?" Christina mengerutkan dahinya, Dasar cowok, bisanya bermulut manis doang!
"Bukannya aku bersikap lancang, tetapi jangan terkejut ketika aku mengatakannya." Randika mulai bersiap-siap dalam hatinya.
"Tidak apa-apa, katakan saja. Aku tidak akan marah kok." Kata Christina dengan santai.
"Begini…" Randika menghirup napas dalam-dalam dan berkata dengan nada serius. "Kau perlu operasi dada."
"Apa? Coba ulangi?" Apakah dirinya salah dengar?
"Kau butuh operasi pembesaran dada!" Randika mengulanginya lagi dengan lebih pelan.
"Dasar mesum! Sini buku-bukuku." Christina marah, buat apa dirinya operasi pembesaran dada?
Dasar pria, semuanya hanya tertarik sama wajah cantik atau dada besar. Memang dirinya tergolong kecil tetapi memangnya kenapa dengan itu?
Dan orang ini dengan beraninya mengatakan aku harus membesarkan dadaku karena dadaku kecil? Apakah dia tidak mengerti kalau aku sadar akan hal itu?
"Sebentar, sebentar, aku hanya bercanda." Melihat Christina marah, Randika dengan cepat berusaha menghiburnya.
"Kau hanyalah pria mesum, aku tidak sudi bersamamu! Kembalikan bukuku atau aku akan teriak." Christina sudah menganggap Randika pria mesum dan tak tahu diri.
"Christina tolong dengarkan aku." Sebenarnya itu isi hati Randika sebenarnya, menurutnya sayang sekali apabila perempuan cantik memiliki dada kecil.
Melihat Randika tidak mau mengembalikan buku-bukunya, Christina dengan cepat menginjak kaki Randika. Serangan mendadak ini membuat Randika mengerang kesakitan. Sepatu haknya itu benar-benar menyakitkan!
Setelah mengambil buku-bukunya, Christina berkata pada Randika. "Aku harap aku tidak akan bertemu denganmu lagi."
Sialan, kenapa sekarang dia jual mahal begitu?
Lain kali kalau kita bertemu lagi, aku akan memberimu pelajaran. Randika menggertakan giginya, memangnya apa salahnya dengan operasi pembesaran dada?
Setelah sosok Christina hilang dari pandangannya, Randika memutuskan untuk pulang.
Setelah sampai di rumah, Randika melihat Inggrid sedang duduk di ruang tamu.
"Ran, aku akan pergi selama seminggu untuk melakukan kunjungan."
"Baiklah." Randika lalu berjanji pada Inggrid. "Tepati janjimu itu kalau tidak, suamimu ini akan mencarimu walau itu di ujung dunia."
Inggrid segera tersipu malu, pria ini memang ahli dalam menggoda.
Randika lalu pergi ke kamarnya hendak beristirahat, dia menghabiskan siang harinya bersama Hannah.
Namun, pada saat ini dia menerima telepon dari Viona.
"Kenapa Vi?" Tanya Randika.
"Ran, di perumahanku pakaian-pakaian orang-orang menghilang secara misterius." Suara Viona terdengar cemas di balik telepon.
"Maling?"
"Bukan." Viona dengan cepat menjelaskan. "Ini ulah boneka yang ada di perusahaan tadi pagi."
"Apa?" Randika langsung berdiri dari tempat tidurnya. "Kau lihat sendiri?"
"Iya, sekitar 30 menit yang lalu rumah di samping-sampingku melaporkan kehilangan baju-baju mereka. Jarak antar rumah terlalu sempit untuk maling biasa jadi tidak mungkin manusia yang melakukannya. Mereka juga bilang ada semacam boneka yang menginjak-injak kepalanya."
"Lalu aku sempat melihat boneka itu berjalan di tengah jalan sambil membawa pakaian orang-orang." Lanjut Viona.
"Baiklah, aku akan segera ke sana." Kata Randika.
Ketika Randika buru-buru turun dari tangga, Inggrid menjadi penasaran. Apakah ada sesuatu yang terjadi? "Mau ke mana?"
"Keluar sebentar." Randika langsung pergi ke perumahan Viona berada.