Ternyata orang yang masuk tanpa ijin ini adalah mantan pacar Christina yaitu Jansen. Randika sedikit bingung, kenapa bisa dia punya kunci rumah ini kalau sudah menjadi mantan?
"Christ, kau itu cewekku! Mana mungkin aku tidak ada hubungannya denganmu?" Jansen masih dalam keadaan marah.
"Siapa yang cewekmu? Kita ini sudah tidak ada apa-apa! Sudah cepat pergi sana, aku sudah muak melihat mukamu." Christina mulai menggila, pertama dia dihadapi Randika dan sekarang mantannya malah masuk tanpa ijin.
Ketika Jansen mau membalas perkataan Christina, dia merasa bahwa pundaknya ditahan. Saat dia menoleh ternyata itu adalah Randika.
"Jangan sentuh aku, orang hina sepertimu memang pantas membusuk di penjara. Kau bisa-bisanya memperdayai cewekku, kau pasti memaksanya berhubungan badan dengamu kan!" Kata Jansen dengan marah-marah.
"Sudah cukup!" Christina yang sudah memakai bajunya dengan benar ini sudah ingin menampar mulut Jansen.
"Kau juga sama saja, sejak kapan kamu punya kunci rumahku? Aku tidak pernah memberikannya padamu, aku bisa melaporkanmu ke polisi juga."
Muka Jansen terlihat sedikit tegang, dia lalu berkata dengan santai. "Tentu saja aku punya kunci, aku adalah pacarmu jadi wajar saja bukan?"
Christina sudah kehabisan kata-kata. Kenapa bisa dia dulu mau sama pria tidak tahu diri seperti ini?
Sudah menduplikat kunci rumahnya tanpa ijin, sekarang dia berceramah tentang apa yang tidak boleh dia lakukan di rumahnya.
Randika juga mengerti bahwa pria ini menduplikat kunci sembarangan dan ini membuat kesal Christina.
Pria ini benar-benar mengekang Christina.
"Dan kau, kau jangan lari. Aku akan melaporkanmu pada teman polisiku." Jansen menahan tangan Randika.
Namun, Randika bertanya sambil tersenyum. "Memangnya kau tahu apa yang kami lakukan barusan?"
Mendengar pertanyaan ini, Jansen sedikit menjadi marah. "Memangnya apa yang kalian lakukan?"
"Tentu saja….." Randika sengaja menghentikan kata-katanya dan membuat jengkel Jansen. "Tentu saja kami melakukan hu-bu-ngan ba-dan." Kata Randika dengan nada yang menjengkelkan.
Tentu saja, ekspresi Jansen benar-benar menjadi marah. Meskipun mereka telah putus, Jansen masih mencintai Christina. Meskipun mereka tidak bertemu sama sekali sejak putus, dia diam-diam mengamati Christina dari jauh. Dan setelah mengetahui Christina masih belum mempunyai pacar baru, Jansen mengira bahwa Christina masih mencintai dirinya.
Jadi, demi memperbaiki hubungan mereka, Jansen menduplikat kunci rumah Christina diam-diam. Tanpa diduganya, dia memergoki Christina yang tidak memakai baju sedang bersama seorang pria.
Wajahnya benar-benar menjadi merah setiap detiknya. Namun, Randika menyiram api ini dengan minyak. "Tadi, Tina benar-benar liar. Kelembutan dadanya di mukaku benar-benar luar biasa dan bibirnya tidak pernah lepas dariku."
Tina?
Christina yang mendengarnya juga mulai marah.
Namun, wajah Jansen justru lebih muram lagi setelah mendengarnya. Randika justru menyiram minyaknya lagi. "Tidak sampai di situ, Tina benar-benar dikuasai nafsu dan melepas semua bajunya sendiri. Oh ya, apa kau sudah tahu celana dalam kesukaannya apa? Dia suka celana dalam putih, benar-benar bagaikan malaikat."
Jansen sudah tidak bisa menahan diri lagi.
Christina justru tersipu malu ketika mendengarnya. Bajingan itu benar-benar tidak tahu diri!
Sedangkan Randika sepertinya masih menghayati peran pendongeng. "Terus di tengah-tengah ciuman panas kami, perlahan aku membuka pengait behanya itu."
"Randika!" Christina dengan cepat memotong. Entah ini karena dirinya marah atau malu, yang penting dia tidak bisa mendengar ini lebih jauh. Jansen yang mendengar semua dongeng panas ini sudah hampir gila. Christina yang memotong cerita pria tidak dikenal ini malah makin memperjelas situasi.
"Aku tidak menyangka bahwa kamu semesum itu. Bukankah dulu kau tidak ingin melakukannya sebelum menikah? Sekarang coba lihat dirimu itu? Bisa-bisanya seorang guru sepertimu berhubungan badan di siang hari!��� Dada Jansen sudah terasa sakit. Dia lalu menunjuk Randika. "Ambil perempuan murahan itu, aku tidak membutuhkan barang bekas."
Setelah melampiaskan kekesalannya, Jansen sudah berniat untuk pergi dari tempat terkutuk ini. Namun, Randika dengan santai mengatakan. "Apakah aku menyuruhmu untuk pergi?"
"Maksudmu?" Jansen mendengus dingin.
"Kau datang ke sini hanya untuk menceramahiku lalu ingin pergi begitu saja?" Wajah Randika menjadi dingin. "Kau itu makhluk yang lebih hina dariku. Kau tanpa ijin masuk ke rumah orang dan sudah memata-matai orang. Aku juga punya teman di kepolisian yang akan senang berbincang-bincang denganmu."
"Kau pikir aku takut?" Setelah berkata seperti itu, Jansen merasa tubuhnya melayang. Ternyata Randika sudah mengangkat dirinya.
Setelah membantingnya ke tembok, Randika berkata dengan nada serius. "Kau adalah orang yang paling tidak tahu diri yang pernah kutemui. Kau benar-benar telah melanggar privasi Christina, lelaki macam apa kau?"
Christina hanya melihat ini sambil mengerutkan dahi. Bukannya Randika yang tidak tahu diri dengan menyentuh dirinya? Tetapi melihat Randika membela dirinya, dia sedikit bernapas lega.
"Setidaknya aku lebih baik dari pencuri macam kamu! Sudah ambil saja pelacur itu, aku tidak butuh barang bekas semacam dirinya!"
Tiba-tiba, sebuah pukulan melayang ke arah mata Jansen. Sekarang, mata kiri Jansen benar-benar hitam dan tidak bisa dibuka.
"Kau bisa menghinaku tapi jangan sekali-kali mengata-ngatai Christina!" Randika lalu berbisik padanya. "Sepertinya kau belum paham apa maksudku, jadi biarkan aku menemanimu hari ini."
"Kau mau aku bilang apa? Jelas-jelas dia selingkuh dari aku!" Setelah itu, mata kanan Jansen terkena pukulan. Sekarang kedua matanya menjadi hitam.
Serangan kedua ini lebih pelan jadi Jansen masih bisa membuka mata kanannya.
"Sepertinya kamu masih belum paham terhadap situasimu. Kau dan Christina itu sudah MANTAN. Kalian sudah tidak punya hubungan apa pun." Kata Randika.
"Bah!" Jansen menatap Christina dengan jijik. "Perempuan itu menjanjikan segalanya untukku, dan sekarang pelacur itu sudah melupakan janjinya?"
Tanpa aba-aba, Randika memukul perut Jansen dengan keras. Jansen hanya bisa merintih kesakitan.
"Ah! Kenapa kau menyiksaku seperti ini? Lepaskan aku!" Cara bicara Jansen masih tidak berubah.
"Kenapa aku harus menurutimu?" Randika lalu menatap tajam Jansen. "Apa kau pikir aku bodoh?"
"Kau harus memanggil perempuan dengan namanya, bukan dengan sebutan kasar seperti tadi." Randika lalu menamparnya. "Dan dia itu sudah mantanmu bukan pacarmu."
"Pelacur tetap pelacur!" Jansen tidak peduli, namun Randika menamparnya lagi.
"Coba ulangi lagi?" Kata Randika.
"Murahan!" Jansen menggertakan giginya. Randika sudah tidak tahan lagi. Tangan kanannya memelintir pinggang Jansen dengan keras.
"Ah!" Jansen sudah merintih bagai babi berteriak. Namun, Randika menutup mulutnya membuat Jansen tidak bisa melampiaskan rasa sakitnya itu.
"Baiklah, kita ulangi lagi." Kata Randika sambil tersenyum.
"Christina… Namanya adalah Christina!" Jansen sudah ketakutan, dia menyadari bahwa pria di depannya ini benar-benar kejam. Jika dia tidak menurutinya mungkin saja dia akan dibunuhnya.
"Nah begitu dong." Randika mengangguk puas. "Nah sekarang kau perlu tahu kesalahanmu apa saja sampai-sampai merepotkan Christina seperti ini. Sekarang aku akan bertanya dan kau akan menjawab."
Jansen hanya merinding ketakutan ketika melihat senyuman Randika tersebut.
"Menduplikat kunci rumah ini merupakan kejahatan, mengerti?"
Jansen mengangguk.
"Karena kalian sudah putus, apakah kau memiliki hak untuk mengatur apa yang dia lakukan pada waktu luangnya?"
Jansen mengangguk. Tetapi setelah melihat wajah Randika yang menjadi marah itu dia segera menggelengkan kepalanya.
Dia tidak menyangka akan ada permainan kata di tengah-tengah interogasi yang menakutkan ini.
"Karena kau sudah mengerti, apakah berarti selama ini yang kau lakukan itu salah?" Randika sudah seperti guru anak TK yang menghukum muridnya.
Jansen mengangguk.
"Karena kau salah, apa yang harusnya kamu lakukan?" Randika lalu meletakan Jansen dan membantunya merapikan bajunya.
"Meminta maaf." Kata Jansen sambil menundukan kepalanya.
"Bukan ke aku." Lalu Randika menunjuk ke arah Christina.
Jansen lalu menoleh dan mengatakan. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahu diri selama ini. Aku tidak akan pernah menemuimu lagi."
Jansen sudah ingin muntah darah setelah mengatakannya. Lalu Christina mengerutkan dahinya. "Kalau begitu pergilah dari rumah ini."
Ketika Jansen hendak pergi, Randika mencegahnya. "Mana kuncinya."
Jansen lalu mengambil kuncinya dari saku dan berjalan keluar dari rumah dengan wajah suram.
Ketika Jansen sudah benar-benar pergi, Randika berkata sambil tersenyum. "Tina, kenapa kau tidak pernah memberitahuku bahwa kamu pernah punya pacar?"
"Hah? Kenapa kau sok akrab begitu?" Christina mengerutkan dahinya. "Sana kamu juga pergi."
"Kenapa aku harus pergi?" Randika terlihat bingung. "Bukankah barusan aku membantumu mengusir mantanmu yang agresif itu? Harusnya aku mendapatkan hadiahku dari kamu."
"Apakah kau ingin aku melepas bajuku lagi?"
"Tentu saja!" Randika dengan cepat mengangguk tetapi sebuah bantal sudah melayang ke wajahnya.
"Mati sana dasar pria mesum!"