Christina sudah di ambang batas kesabarannya menghadapi Randika. Bahkan seorang terpelajar seperti dirinya memiliki kesabaran. Dan dia merasa bahwa pria ini justru lebih tidak tahu diri daripada Jansen.
Setelah keluar dari rumah Christina, Randika menghampiri Viona terlebih dahulu untuk memastikan bahwa dia tidak apa-apa. Setelahnya dia kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, dia melihat Ibu Ipah sedang menonton TV di ruang tamu.
"Wah nak Randika sudah pulang?" Kata Ibu Ipah sambil tersenyum.
"Iya Bu, tadi habis main dengan teman dulu." Kata Randika sambil tertawa.
Lalu Randika naik ke lantai 2 dan bertemu dengan Inggrid yang baru saja selesai mandi.
"Wah istriku ternyata juga sudah pulang. Tumben sekali kamu pulang cepat?" Randika menyunggingkan senyuman lembut.
Inggrid masih mengeringkan rambutnya. "Iya tapi masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Dan jangan coba-coba kamu melangkah satu langkah pun. Ibu Ipah ada di bawah."
"Hahaha." Randika menarik kembali tangannya yang nakal itu. Bagaimana dirinya tidak tergoda? Bau yang harum sekaligus baju santainya itu seakan mengundangnya untuk melakukannya.
"Tapi harus kuakui, kecantikanmu tiap hari selalu bertambah. Sungguh beruntung aku memilikimu." Tiba-tiba Randika memuji Inggrid.
Inggrid yang mendengarnya merasa hatinya menghangat, tetapi semua itu menjadi rusak ketika Randika mengatakan. "Kemarilah dan peluk aku sayang."
Apakah bajingan ini tidak bisa sesekali diam?
"Pergi sana." Inggrid menampar tangan Randika yang hendak memeluknya, Inggrid lalu berjalan ke kamarnya.
Randika tentu saja mengikutinya tetapi Inggrid dengan serius mengatakan. "Aku masih ada pekerjaan mendesak, jangan ganggu aku."
Menggaruk-garuk kepalanya, Randika hanya bisa kembali ke kamarnya dan tidur.
........
Keesokan harinya Randika masih bermalas-malasan di kasur sambil bermain handphonenya. Tiba-tiba dia mendapatkan telepon dari nomor tidak dikenal.
"Selamat pagi, saya dari Bank Merah ingin menawarkan pinjaman kredit pada Anda. Bisa saya minta waktunya sebentar?"
"Halo? Halooo?"
......…
Karena tidak menjawab sama sekali akhirnya pihak penelepon menyerah dan mematikannya.
Randika kembali melihat-lihat berita di handphonenya.
Namun, tidak sampai 2 menit handphonenya kembali bergetar.
Randika sudah tidak mau diganggu lagi dan mengangkatnya sambil berkata dengan nada kasar. "Tolong jangan ganggu aku dulu, aku sedang sibuk!"
Saat Randika mau menutupnya, suara familiar terdengar olehnya. "Kak Randika, boneka ginseng ini datang lagi di tempatku!"
Apa? Boneka ginseng?
Randika, yang masih tiduran, langsung berdiri tegak. Matanya yang sayu itu menjadi terbuka lebar dan rasa malasnya dalam sekejap menghilang.
"Tunggu aku, aku akan segera ke sana."
Randika dengan cepat menutup teleponnya dan langsung mencuci mukanya sekaligus berganti baju. Bagaikan angin, dia berlari menuju pintu keluar.
"Eh nak, sarapannya lho." Ibu Ipah yang sedang menyiapkan sarapan terkejut ketika Randika pergi dengan buru-buru. Lalu Randika menghampiri meja makan dan hanya mengambil 2 pisang bersamanya.
"Maaf bu, aku ada perlu." Randika langsung lari ke rumah sewaan Indra.
"Kenapa akhir-akhir ini aku merasa kesepian." Kata Ibu Ipah sambil berkaca-kaca.
Dalam sekejap, Randika sudah berada di rumah Indra sambil mengunyah pisangnya. Dan tentu saja, boneka ginseng itu sedang bermain bersama Indra.
Melihat sosok kakak seperguruannya, Indra tersenyum. "Kak! Cepat sekali kau datang!"
Ketika boneka ginseng itu melihat Randika, ia tertawa dan melambaikan tangannya seakan-akan memberi salam.
Kau tidak akan bisa kabur hari ini!
Randika menyalurkan tenaga dalamnya terlebih dahulu dan karena ini masih pagi, tenaganya masih berlimpah.
Tetapi, bahkan Randika belum bergerak sama sekali, boneka ginseng itu berdiri dan melompat ke lantai lalu berlari ke arah jendela dan menghilang.
Randika benar-benar melongo beberapa menit. Kali ini boneka ginseng itu sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk dirinya berbuat apa-apa. Benar-benar kurang beruntung!
"Yah… dia hilang lagi kak." Indra terlihat sedih.
"Aku tahu." Randika justru lebih sedih lagi, dengan lunglai dia hendak pergi dari sini.
"Kak, mau ke mana kamu?" Tanya Indra.
"Tidur lagi."
Pada saat yang sama, Randika melempar sebuah pisang pada Indra.
"Wah kakak baik sekali membawakanku makan." Kata Indra sambil tersenyum.
Randika benar-benar sedang bersedih. Dia sudah repot-repot datang sekuat tenaga untuk menangkap boneka ginseng itu, eh boneka itu malah sama sekali tidak memberinya kesempatan.
Bagaimana caranya menangkapnya!
Randika benar-benar marah pada dirinya sendiri. Jika saja dia tahu trik untuk membuat boneka itu lengah pada dirinya. Dia sama sekali tidak punya cara untuk menangkapnya.
Melihat jam pada handphonenya, sudah terlambat baginya untuk tidur lagi. Dia lalu mencari makan pagi di pinggir jalan dan makan di tempat. Setelahnya dia mencari taksi dan langsung berangkat menuju kantornya.
Seperti biasa, Randika segera ke lantai 9 dan menuju ruangannya. Tetapi, panggilan alam memanggilnya.
Jadi Randika mampir dulu di toilet.
Lalu dengan kecepatan dewanya, Randika membuka celananya dan mengeluarkan isi perutnya.
Ketika sudah selesai, dia segera keluar tetapi pintunya itu menatap wajahnya.
Hendak memakinya, Randika terkejut ketika melihat siapa yang mendorong keras pintunya itu.
"Viona?"
Terlebih lagi, Viona tidak memakai pakaian kerjanya sekarang melainkan hot pants yang dipadu dengan tank top hitam. Kakinya yang putih dan belahan bajunya itu membuat dia terlihat sexy sekali. Dari tipisnya bajunya itu, Randika jelas melihat bahwa hari ini Viona memakai dalaman berwarna biru.
Pada saat ini Viona terlihat memegang perutnya, sepertinya dia sudah benar-benar kebelet.
"Randika?" Viona juga terkejut melihat Randika. Ngapain dia ada di toilet perempuan?
"Hei kenapa kau bisa ada di toilet perempuan?" Viona hampir lupa bahwa dia kebelet pipis.
Randika menampar dahinya, bisa-bisanya Viona melakukan kesalahan seperti ini.
"Vi, ini toilet laki-laki. Kamu salah masuk."
"Ah?" Viona tersipu malu. "Maaf aku buru-buru tadi, aku tidak melihat dengan jelas.
Viona langsung bergegas keluar tetapi, terdengar suara tawa beberapa orang dari luar. Sepertinya sekumpulan orang hendak memakai toilet ini.
Gawat!
Viona tidak bisa lari, jika dia keluar sekarang jelas mereka berpapasan. Melihat adanya Randika di toilet ini, bisa-bisa gosip tidak benar akan menyebar dengan cepat.
Apa yang harus dia lakukan?
Viona benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Pada saat ini, Randika sudah memeluk Viona, membuka pintu toiletnya dan masuk bersama.
Setelah mereka masuk dan mengunci pintunya, beberapa orang masuk sambil bercanda ria dan pipis di urinal. Tetapi, ada seseorang yang masuk ke toilet di samping Randika.
"Hei, aku dengar sahammu jatuh ya kemarin?" Salah satu dari mereka bertanya.
"Aduh jangan ingatkan aku lagi. Aku benar-benar ingin bunuh diri kemarin itu." Suara orang paruh baya terdengar sedih.
"Hahaha, anggap saja itu pajak dari kapan hari. Kamu kan sudah dapat banyak yang waktu itu. Sabar saja, beberapa hari lagi harusnya saham membaik kok."
"Aduh aku sudah tidak punya uang, aku rasanya baru investasi lagi tahun depan. Hei aku dengar ponakanmu masuk ke universitas ternama di kota ini kan?"
"Hahaha tahu saja, dia memang pintar." Suara temannya ini terdengar bangga.
Di dalam bilik, Randika sedang memangku Viona. Mereka berdua mendengarkan pembicaraan bapak-bapak ini dengan tenang.