"Kau pikir udang ini lobster? Mana ada udang kecil kayak punya kalian bisa semahal ini!" Beberapa dari mereka mulai meraung. "Kita tidak akan membayar makanan ini."
"Tidak membayar?" Pelayan itu menyeringai. "Saat kalian masuk ke tempat kami dan memesan makanan, kenapa kalian tidak membaca menu kami sampai habis? Sekarang kalian malah menyalahkan kami dan bahkan mengancam tidak membayar. Jangan sampai aku memanggil bosku, bisa-bisa kalian membayar lebih mahal lagi."
Setelah berkata seperti itu, pelayan itu menunjuk meja bosnya. Bosnya yang tinggi dan kekar itu menatap tajam pada meja Randika dkk.
"Bagaimana ini?" Melihat tatapan tajam itu, salah satu dari mereka mulai khawatir.
"Aku juga tidak menyangka tempat ini adalah tempat pemerasan."
Memang di seluruh tempat di Indonesia terdapat tempat-tempat seperti ini. Kejadian seperti ini biasanya menarget para turis khususnya turis asing.
"Bu Inggrid, kita tidak boleh menyerah begitu saja. Kita lebih baik memanggil polisi." Saran salah satu perempuan.
Inggrid tidak membalasnya sama sekali, dia hanya menoleh ke arah Randika. Dia sama sekali tidak menyadarinya, tetapi di saat terdesak seperti ini, dia mulai bergantung pada Randika terhadap masalah-masalah penting seperti ini. Sepertinya sosok dan pendapat Randika dapat menenangkan hatinya.
"Jangan khawatir." Randika tersenyum. "Lebih baik kita tunggu sebentar dan melihat keadaan, mungkin saja bosnya itu tidak segalak penampilannya."
"Ah? Pak Randika sudah gila? Jelas ini tempat pemerasan, mana mungkin bosnya itu tidak galak? Menurutku memanggil polisi adalah langkah yang benar." Kata salah satu dari mereka.
"Sudah tenang saja." Kata Inggrid dengan tenang.
Pada saat ini, terdengar suara teriakan dari meja samping. "Apa? Mana mungkin total semuanya 10 juta?"
Mendengar hal itu, mata semuanya tertuju pada suara orang itu.
Di meja itu, orang dengan setelan jasnya itu sedang makan bersama istri dan anaknya yang masih kecil.
��Maaf salahnya di mana ya? Totalnya sudah tertera dengan benar di tagihan bapak." Pelayan lainnya melakukan hal yang sama dengan pelayan dari meja Randika, dia menunjukan tulisan kecil di bagian paling bawah menu.
Setelah pria itu membacanya, dia membentak si pelayan. "Kalian ini sampah! Aku tidak akan membayar makanan-makanan sampah ini."
"Bisa diulangi lagi?" Pria berbadan kekar mendekati pria berjas ini. "Jika kau tidak mau membayar maka aku akan menghajarmu hingga babak belur. Lagipula, apakah kau tidak khawatir dengan istrimu yang cantik itu kenapa-kenapa?"
"Apa maksudmu itu?" Si pria berjas itu terlihat panik.
"Percayalah, kau tidak ingin itu semua terjadi." Pria kekar itu membanting mejanya.
Istrinya sudah berwajah pucat dan menarik lengan suaminya. Anaknya yang masih kecil itu sudah ketakutan dan berlindung di balik pelukan ibunya.
Melihat istri dan anaknya yang ketakutan itu, pria berjas itu menggigit bibirnya dan mengatakan. "Baiklah…. Aku akan membayarnya."
Setelah itu, dia mengambil amplop yang ada di balik jasnya dan mengeluarkan segepok uang. Melemparnya ke meja, dia lalu pergi dengan istri dan anaknya itu.
Tiba-tiba, seluruh tamu yang duduk termenung sementara waktu. Bahkan orang-orang yang makanannya baru datang ada yang langsung mengamuk.
"Hei, aku tidak memesan makanan ini."
"Bajingan, berarti harga makanan ini 300 ribu?"
"Cepat kita pergi saja sebelum dipalak."
"Tidak secepat itu!" Melihat orang-orang mau pergi, beberapa pria kekar segera menghampiri meja itu.
"Pesanan kalian sudah dibuat dengan susah payah. Kalian tidak bisa pergi begitu saja tanpa membayar." Kata pria kekar itu.
"Kalau begitu berapa maumu?" Tamu itu menelan air ludahnya.
"Tidak banyak, 250 ribu."
Tanpa berkata banyak, orang itu langsung membayar 250 ribu. Dia berpikir keadaannya masih baik daripada pria berjas tadi sebelumnya.
Pelanggan-pelanggan yang lain memandangi makanan mereka yang sudah termakan setengah itu. Mereka ragu apakah harus menghabiskannya atau tidak.
Dalam sekejap, tempat ini hanya tinggal Randika dan beberapa meja saja. Mereka yang masih belum pergi tidak berani pergi karena meja mereka penuh dengan piring makanan.
"Hahaha meja itu totalnya juga 10 juta." Tawa salah satu pria kekar sambil memegang tagihan salah satu meja.
"Hahaha bisnis seperti ini sangat mudah." Kata salah satu pelayan. "Besok kita akan memalak orang-orang bodoh ini lagi."
"Benar, banyak orang bodoh yang datang ke pulau kita setiap harinya." Pria kekar itu tertawa. Semakin banyak turis yang datang, semakin banyak uang yang dia dapat.
Mendengar obrolan menjijikan pria kekar yang merupakan dalang di balik kejadian ini, seluruh orang di meja Randika benar-benar tidak habis pikir. Ini namanya sudah perampokan bukan bisnis lagi.
Pada saat ini, pelayan sebelumnya mendatangi meja mereka lagi bersama bosnya yang kekar itu.
Ketika Randika melihat pria kekar itu, dia melihat tato yang menutupi seluruh tubuhnya, telinga yang ditindik, gaya pakaian yang berantakan, bisa dikatakan bahwa orang ini adalah preman yang sudah bergelut di dunia gangster bertahun-tahun.
Slamet, pria berbadan kekar itu, menghampiri meja Randika sambil mengemut sebuah tusuk gigi. Tatapan matanya benar-benar bengis, didukung oleh wajah sangarnya itu. Orang-orang yang melihatnya pasti segera ketakutan.
"Aku dengar kalian menolak untuk membayar?" Slamet menatap dingin mangsanya sambil mengangkat kakinya ke meja. Para perempuan di meja ini segera panik.
Randika hanya berdiri dan tersenyum. "Oh? Siapa memangnya kamu?"
"Aku adalah Slamet, bos dari tempat ini."
"Hahaha." Randika lalu tertawa tanpa sebab.
"Pelayanku ini ngomong kalau kalian keberatan dengan harga makanan kalian?"
"Siapa yang memangnya mau membayar orang jahat semacam kalian? Ini jelas-jelas perampokan." Salah satu perempuan memberanikan diri memprotes.
"Kalian memang pintar, aku dulu memang perampok." Slamet tertawa. "Tagihanmu ini memang salah. Sebentar aku akan menghitungnya lagi. Untuk makanan dan minuman kalian habis 5 juta, untuk membuang waktu dan tenagaku kalian kukenakan 5 juta lagi. Karena kalian telah menyinggung perasaan kami, maka totalnya mencapai 15 juta."
Mendengar penjelasan Slamet ini, semua orang di meja terkejut. Pria ini dengan santainya menagih mereka 3x lipat dari sebelumnya. Bahkan salah satu dari mereka merasa ingin pingsan.
"Kenapa? Harga ini sudah termasuk adil menurutku." Slamet lalu mengangkat kakinya ke meja. Tiba-tiba aura mengerikan terpancar dari dirinya.
Slamet merasa targetnya kali ini sangat mudah. Dia harus memerasnya sekeras mungkin.
Para wanita ini, khususnya Inggrid, benar-benar terlihat kaya. Dia sangat yakin bahwa para wanita ini pada akhirnya akan membayarnya.
"Lha kok murah sekali? Seharusnya tidak semurah itu." Randika memecah keheningan. Tawa Randika itu juga menarik perhatian Slamet.
"Oh? Kok bisa begitu?" Slamet pertama kali melihat orang yang seperti ini.
"Tentu saja ini masih kemurahan. Bagaimana mungkin 3x lipat sudah cukup? Aku juga telah menghitung waktu dan tenaga yang kami perlukan untuk datang ke sini dan makan. Jadi menurutku kau perlu membayar kami 50 juta."
"Ah?" Semua orang yang ada di meja terkejut bukan main. Mereka sudah menahan napas ketika mendengar kata 50 juta tetapi mereka justru lebih kaget lagi ternyata Randika meminta pria jahat itu untuk membayar mereka 50 juta! Pemikiran seperti itu benar-benar gila.
"Apakah Randika sudah gila?" Semua pertanyaan ini menggenang di hati mereka.
Slamet juga bingung mendengarnya. "Maksudmu apa?"
"Kau tidak dengar? Aku minta kalian membayar kami 50 juta karena sudah menghabiskan waktu dan tenaga kami. Tentu saja jika kau merasa itu kemahalan, aku akan memberi potongan. Bagaimana kalau 45?"
Slamet benar-benar merasa bodoh. Orang yang diajaknya berbicara ini sehat atau tidak?
"Hahaha pertama kalinya aku bertemu dengan orang sebodoh kamu ini." Slamet tertawa lepas.
Randika lalu berkata dengan muka serius. "Aku orang yang rasional bukan bodoh. Sebaiknya kamu segera memberi uangku atau aku akan mengobrak-abrik tempatmu ini."
Slamet lalu berhenti tertawa. "Orang dengan keberanian itu masih belum lahir."
Randika tersenyum mengejek. "Mau dicoba?"
"Baiklah." Ekspresi Slamet segera berubah menjadi dingin. "Kalian berdua, hajar dia!"
Dalam sekejap, dua pria kekar mendatangi meja Randika dengan wajah bengis mereka.
Beberapa perempuan sudah ketakutan ketika melihat wajah kedua orang tersebut. Mengapa makan malam mereka yang menyenangkan menjadi menakutkan seperti ini?
Tetapi, Randika tiba-tiba menghilang bagaikan asap. Dia sudah tiba di depan kedua orang itu dan menghajarnya.
Tanpa menahan kekuatannya, Randika memukul wajah kedua orang itu sampai terpental jauh dan menabrak meja.
DUAK!
Suara meja yang patah dan kursi yang berterbangan terdengar keras.
"...."
Kedua preman itu terlihat sama sekali tidak bergerak dan langsung pingsan.
Tindakan tiba-tiba Randika ini mengejutkan semua orang. Para pengunjung memanfaatkan keadaan ini untuk kabur dari tempat itu.
Sedangkan bos dari para preman itu, Slamet, hanya menatap bodoh ke arah Randika.
Lawannya ini benar-benar terlihat seperti seorang dewa, dia dengan mudah menghajar kedua bawahannya itu.
Sambil menggigit bibir bawahnya, Slamet meraung keras. "Mati kau!"
Mendengar raungan bosnya, pria kekar lainnya menerjang maju ke Randika. Randika yang berdiri di tengah-tengah itu hanya terdiam.
Inggrid, Viona dan perempuan lainnya hanya melihat Randika yang sudah terkepung oleh preman-preman itu.
Randika dengan cepat menjadi setitik cahaya dan mengayunkan tinjunya. Dalam sekejap semua preman itu sudah melayang jauh dan jatuh kesakitan.
Yang paling parah adalah ketika Randika mencekik salah satu preman dan melemparkannya pada salah satu food truck hingga mobilnya ikut terjatuh!
Dalam sekejap preman-preman berbadan kekar itu sudah meringkuk kesakitan. Namun, Randika hanya tersenyum ke arah Slamet. "Hargaku naik lagi setelah berolahraga seperti ini."
Slamet yang mulutnya ternganga lebar itu masih tidak dapat percaya dengan pemandangan di hadapannya ini. Kenapa yang jatuh malah para bawahannya?
Teman-teman Randika juga tidak percaya dengan adegan ini. Randika memang luar biasa!
Viona yang sudah tahu kekuatan asli Randika itu justru terlihat bangga ketika teman-temannya itu menyadari kehebatan Randika.
Dia adalah orang terkuat yang mereka kenal!
Melihat Randika yang menghampirinya, Slamet mulai berkeringat dingin. Sekarang dia memandang mangsanya ini dengan kacamata yang berbeda. Dari lubuk hatinya muncul rasa kagum sekaligus takut.
Hanya kekuatan sejati yang bisa memerintah dunia!