Indra menatap Randika dengan rasa penasaran. Kenapa kakak seperguruannya ini tiba-tiba berkata akan pergi ke Jakarta? Dia hanya pernah mendengar Jakarta dari cerita-cerita gurunya. Dia tahu bahwa tempat itu adalah ibukota negara dan tempat paling maju di Indonesia.
"Aku akan menyelamatkan seseorang!" Kata Randika dengan santai. "Aku tidak tahu akan pergi berapa lama, jadi jaga dirimu selama aku pergi."
"Kak, aku akan ikut bersamamu!" Kata Indra dengan wajah serius. "Meskipun aku masih tidak tahu kenapa kakak pergi ke Jakarta, tapi jika kakak ingin menyelamatkan orang berarti kita akan menghajar orang jahat bukan? Kakak harus membawaku kalau ingin berhasil!"
Randika menatap Indra, hatinya terasa hangat ketika dia mengetahui bahwa Indra khawatir pada dirinya. Tapi dia sendiri tahu bahwa Indra juga mulai bosan dengan kehidupan kota yang monoton.
"Bukankah guru juga mengatakan bahwa aku harus mengikutimu selama di kota? Jadi kau harus membawaku bersamamu kak." Indra memang licik, dia menggunakan nama kakeknya untuk membuat dirinya membawanya.
"Baiklah, kalau begitu bersiap-siaplah." Kata Randika sambil tersenyum. Pada saat ini, boneka ginseng di tempat tidur tiba-tiba melompat ke pundak Indra, menari dan tertawa.
Randika menatap boneka ginseng itu, kenapa tiba-tiba ia bersemangat?
Indra menatapnya dan bertanya. "Apa kamu juga mau ikut?"
Boneka ginseng juga ingin ikut?
Ketika boneka ginseng ini mendengar pertanyaan Indra, wajah mungilnya tersenyum lebar dan mulutnya seperti sedang berteriak ingin ikut. Ditambah lagi kepalanya tidak bisa berhenti mengangguk, sepertinya ia tidak ingin ditinggal sendirian.
Tanpa menunggu lama, Randika segera membawa Indra dan boneka ginseng itu ke bandara. Pada saat di jalan, Indra sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Dia lalu mengeluarkan handphonenya dan mulai menulis pesan untuk gurunya. Namun, Indra rasanya tidak mengerti caranya mengirim pesan. Dia malah menulisnya di bagian sebuah kertas dan mengirimnya via foto.
Randika masih cemas dengan Inggrid jadinya dia tidak terlalu memedulikan Indra.
"Guru… Indra pergi ke Jakarta bersama kakak seperguruan."
......…
Tak lama kemudian, mereka sampai di bandara dengan selamat dan naik pesawat yang paling cepat.
Dua jam kemudian, Randika dan Indra tiba di Jakarta.
Setelah itu Randika langsung mencari taksi.
"Mau ke mana pak?" Supir itu bertanya dengan aksen yang berbeda.
"Rumah keluarga Laibahas." Kata Randika. Laibahas merupakan nama keluarga Inggrid, mungkin karena dia kabur ke Cendrawasih, Inggrid tidak menggunakan nama keluarganya itu. Randika memiliki dugaan kuat bahwa hilangnya Inggrid berkaitan erat dengan masalah keluarganya. Meskipun dia tidak tahu alamatnya, dia berharap supir taksi ini tahu.
"Baiklah." Supir ini tidak banyak omong dan memacu mobilnya. Mendengar nama keluarga Laibahas membuatnya sedikit tegang.
Nama Laibahas sudah melekat di hati para penduduk Jakarta. Meskipun keluarga itu tidak mencolok, reputasi keluarga itu sudah menyebar luas.
Beberapa keluarga aristokrat seperti keluarga Laibahas ataupun Alfred sudah menempati Jakarta bahkan sebelum kemerdekaan.
Tidak lama kemudian, supir taksi ini membawa Randika dan Indra ke suatu perumahan yang benar-benar mewah dan berhenti di salah satu rumah paling besar di Jakarta.
"Sudah sampai." Supir itu membantu membukakan pintu Randika dan berkata. "Totalnya 75 ribu."
Randika mengeluarkan 100 ribu. "Tidak usah kembalian."
Setelah keluar dari taksi, Randika menatap bagian depan rumah yang super gede ini. Di bagian tembok sebelah pagar, ada plakat besar yang bertuliskan "Laibahas".
Bahkan pagar rumahnya ini terkesan kuno bagaikan yang ada di film-film dengan kepala singa sebagai genggamannya. Di setiap sisi pagar ada 2 patung singa yang menatap tajam siapapun yang berani datang ke rumah ini.
Rumah keluarganya Inggrid ini benar-benar kuno, orang mungkin merasa telah berjalan melampaui waktu apabila pertama kali melihat rumah ini.
Dari luar rumahnya saja orang bisa mengerti seberapa besar kekuatan keluarganya Inggrid ini. Harga tanah di Jakarta sudah benar-benar mahal dan mereka bisa mempunyai lahan yang seluas itu. Sebagian besar lahan tetap mempertahankan citra kunonya sedangkan gedungnya tampak telah mendapatkan pembaharuan.
Orang akan tersesat dengan mudah kalau mereka tidak tahu jalannya ketika mereka masuk.
Randika memperhatikan pagar ini dan mendorongnya.
"Berhenti!"
Kedua petugas keamanan segera menghentikan Randika ketika dia menerobos masuk.
"Namaku Randika, aku ingin bertemu dengan kepala rumah." Kata Randika.
Randika? Mereka tidak pernah mendengar nama ini.
Dalam sekejap, mereka mengerti bahwa Randika bukanlah siapa-siapa.
"Tunggu sebentar. Tuan sedang menerima tamu, tunggulah di sini." Kata salah satu dari mereka.
"Baiklah aku akan menunggu."
Randika kemudian bersandar di tembok bersama dengan Indra.
Ini adalah rumah keluarga intinya Inggrid, Randika tidak boleh bertindak gegabah. Dia harus menunggu respon dari keluarganya. Bagaimanapun juga, Inggrid adalah istrinya jadi dia harus sopan terhadap keluarga mertuanya itu. Kalau tidak, bisa-bisa mereka meminta Inggrid membatalkan pernikahan mereka.
Saat waktu kembali berjalan, kedua petugas itu mengawasi Randika dan Indra sambil tertawa. Mereka tertawa karena orang ini begitu polos. Kalian kira kami akan membiarkan kalian masuk?
Sepuluh menit, setengah jam, empat puluh lima menit telah berlalu. Akhirnya kesabaran Randika sudah hilang, dia sudah capek menunggu.
"Aku harap kalian memberitahu kedatangan kami." Kata Randika. "Aku di sini ingin bertemu dengan Inggrid."
"Bukankah kita mengatakan bahwa tuan sedang ada tamu?" Balas salah satu dari mereka. "Aku juga tidak senganggur itu untuk memenuhi permintaanmu."
Randika sudah marah dalam hatinya. Ketika dia mendengar nada bicara petugas keamanan yang meremehkan dirinya ini, mau tidak mau dia menjadi marah tetapi Randika berhasil menenangkan dirinya.
Setelah menghela napas, Randika berkata sekali lagi. "Masuklah dan beritahu kedatanganku."
"Kau pikir kau siapa? Kau boleh masuk apabila kami sudah mendapatkan ijin dari dalam. Rumah ini bukan sembarangan tempat, tidak sembarang orang boleh masuk."
Indra lalu membalasnya dengan nada serius. "Kau cuma seorang satpam, kalau kau mengancam kakakku sekali lagi maka akan kuhajar kau sampai mati!"
"Diam kau gendut! Pergi sana, perutmu menghalangi pemandangan saja." Kedua petugas ini mulai kehilangan kesabarannya ketika mereka diancam seperti itu.
"Sekali lagi aku memperingatkan kalian." Tatapan mata Randika benar-benar dingin. "Masuk dan beritahu kedatanganku."
"Tidak perlu dan tidak akan." Salah satu dari mereka mendengus dingin. "Aku sarankan kalian segera pergi dari sini dan kembali ke desa kalian. Bahkan seribu tahun pun aku tidak akan melaporkan kehadiran kalian hahaha."
Kedua petugas ini tertawa keras, sementara tatapan mata Randika semakin tajam. Tidak ada ekspresi di wajahnya, tetapi, tiba0tiba tangannya sudah berada di kedua leher petugas itu!
"Apa maksudmu ini!" Kedua petugas itu benar-benar terkejut. Mereka tidak menyangka orang ini akan menyandera mereka di salah satu tempat paling keramat di Jakarta.
Randika tidak berbicara, dia sudah malas meladeni cecunguk.
Tidak membiarkan aku masuk? Baiklah akan aku terobos rumah ini. Tidak ada benteng yang dapat menghalangi Ares mendapatkan apa yang dia mau!
Kedua tangan Randika masih mencekik keras kedua petugas itu. Tiba-tiba Randika melepas genggamannya dan masuk menuju rumah sambil meninggalkan kedua orang yang pingsan tersebut.
Indra dengan cepat menyusul. Namun, salah satu dari kedua petugas itu ternyata masih sadar dan mengambil HT miliknya. "Ada orang yang menerobos masuk!"
Randika berjalan pelan di halaman rumah. Tiba-tiba, puluhan orang segera mengepungnya.
"Tangkap mereka!" Melihat kedua penyusup itu, pemimpin keamanan itu segera menyuruh anak buahnya menyerbu.
Lebih dari 20 orang segera menerjang ke arah Randika dan Indra.
Randika hanya berdiri diam, tidak ada sedikit pun jejak takut di wajahnya. Melihat para petugas keamanan ini bergerak, dia juga ikut bergerak.
Sosok Randika sudah bagaikan ninja, kadang muncul di kiri kadang di kanan. Tanpa bisa mengikuti pergerakannya, para petugas keamanan ini sudah tumbang satu per satu!
Waktu seakan berjalan dengan cepat. Para petugas keamanan ini tiba-tiba menghilang satu per satu. Yang ada hanyalah sebuah tubuh melintas di antara mereka dan menabrak tanah dengan keras.
Randika sedang sibuk menghabisi lawan-lawannya ini. Di tengah kerumunan itu, dia tampak sedang menendang salah satu dada orang. Para petugas ini sama sekali tidak bisa melihat sosok Randika, yang hanya bisa mereka rasakan adalah rasa sakit dan tubuh mereka yang terpental.
Pergerakan Randika sudah mirip dengan angin, dia bergerak dengan cepat sambil terus menyapu lawannya. Saat dia menyadari ada 5 orang sedang mengepungnya, Randika menggunakan salah satu dari mereka sebagai senjata dan menghantam keempat orang sisanya.
Semuanya terjadi dengan cepat, dan seakan waktu sama sekali tidak berjalan, Randika nampak berdiri di tempat dia berdiri awalnya dan ilusi dirinya menghilang. Dua puluh orang petugas keamanan itu sudah tergeletak kesakitan di tanah.
"Aghhh!"
"Sakit!"
Teriakan-teriakan kesakitan itu segera menggema, si pemimpin merasa ketakutan sekaligus marah.
"Kalian semua sampah! Buat apa kalian dibayar begitu mahal kalau segitu saja sudah kalah?"
Di saat dia telah selesai memaki bawahannya, dia menyadari bahwa Randika sudah berada di hadapannya.
Hatinya mengepal, dia tanpa sadar mengambil langkah mundur. Tetapi tangan Randika sudah melayang ke arah dadanya dan hanya dengan satu pukulan, si pemimpin itu sudah pingsan.
Di halaman rumah yang luas ini, seluruh petugas keamanan keluarga Laibahas telah meringkuk kesakitan dan tidak ada yang mampu berdiri lagi. Randika tidak membunuh mereka, karena bagaimanapun juga mereka adalah bawahan dari keluarganya.
Randika kemudian terus bergerak menuju pintu rumah. Indra, yang daritadi hanya menonton, segera menyusul Randika. Boneka ginseng yang ada di pundaknya itu terlihat mengangguk puas, mantan rivalnya itu ternyata tidak buruk.
"Cukup sampai di situ."
Tiba-tiba ada suara yang terdengar. Randika berhenti berjalan dan mencari siapa yang menghalanginya kali ini.
Indra terlihat bingung, dia sama sekali tidak bisa melihat siapa yang berbicara dengan mereka.
Randika sama sekali tidak berbicara, dan tiba-tiba, dari bawah kakinya muncul sebuah pisau!
Randika berhasil menghindari serangan mendadak yang berasal dari dalam tanah ini, namun, dalam sekejap dia sudah dikepung oleh beberapa pembunuh yang muncul dari balik bayangan!