"Kak, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi saat kakak di Jakarta?" Hannah tiba-tiba bertanya. "Aku penasaran."
Wajah Hannah terlihat serius.
Inggrid tersenyum dan pikirannya tidak bisa menahan dirinya untuk tidak kembali mengingat masa lalu itu.
"Sebenarnya hari itu aku benar-benar terkejut bagaimana Randika bisa menemukanku." Inggrid mulai menjelaskan. "Sebelum keluarga Alfred memintaku kembali untuk menikahi anaknya yang bernama Hans. Tetapi diam-diam Hans datang ke Cendrawasih dan mau membawaku kembali dengan paksa. Waktu itu Randika menyelamatkanku darinya. Besoknya, aku diam-diam kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan pernikahan omong kosong itu."
"Terus, terus?" Hannah semakin penasaran. "Aku dengar kejadian hari itu benar-benar kejadian memalukan bagi keluarga kita jadi aku tidak bisa terlalu banyak bertanya. Tapi sepertinya kedua keluarga Alfred dan keluarga kita sama-sama telah mundur dari kesepakatannya kan?"
Inggrid lalu tersenyum. "Benar, kabar aku berusaha menggagalkan pernikahanku itu pasti sudah terdengar di telinga kepala keluarga Alfred. Apalagi Randika menghajarnya sampai dirinya menjadi kasim, jadi masalahnya semakin besar. Aku waktu itu takut mereka akan mendobrak masuk rumah kita dan menuntut keadilan. Namun, waktu aku berdebat dengan ayah, Randika datang."
Inggrid mengangkat sedikit kepalanya. Randika, sosok yang dia cintai, tiba-tiba datang dan menyelamatkan dirinya. "Kakak iparmu itu mengatakan bahwa dia akan membawaku pulang. Di depan keluarga inti kita dan di depan ayah, dia benar-benar membawaku pulang bersamanya. Han, pada waktu itu ayah benar-benar mau menjualku ke keluarga Alfred."
Pada kalimat terakhir Inggrid itu, nada suaranya benar-benar dingin tetapi akhirnya kembali melembut. "Jadi pada waktu itu, aku memilih untuk pergi bersama Randika karena aku tahu bersamanya aku bisa bahagia. Jika waktu itu aku menuruti ayah, mungkin aku akan terkurung dan tidak pernah bebas lagi."
Hannah memperhatikan ekspresi kakaknya itu, ekspresi kakaknya terlihat lembut dan seperti gadis jatuh cinta saat membicarakan Randika.
"Kemudian orang-orang dari keluarga Alfred datang. Karena anaknya dihajar babak belur, Randika dan keluarga Alfred bertengkar hebat. Banyak dari bawahan mereka meninggal dan para elit mereka dikalahkan. Bahkan bawahan ayah yang paling hebat pun tidak berdaya di hadapan Randika. Tetapi kita waktu itu benar-benar dikepung terlalu banyak orang, kakak iparmu benar-benar sudah di ujung tanduk. Aku merasa dia akan mati pada waktu itu dan aku hanya bisa menangis. Tetapi tiba-tiba...."
Hannah mendengarnya dengan wajah serius. Walaupun dia sudah mendengar cerita versi Randika, dia pikir kakak iparnya itu hanya mengada-ada. Ketika mendengar dari kakaknya ini, dia bisa membayangkan betapa gagah, berani, percaya diri Randika pada saat itu.
Randika sendiri masih menguping dari luar, kepalanya terlihat mengangguk puas. Sepertinya kejadian hari itu benar-benar melekat di hati Inggrid.
Ketika Inggrid selesai menceritakan semua kejadian hari itu, Hannah bertepuk tangan. Sepertinya kakak iparnya itu memang orang yang luar biasa.
"Kak, siapa orang tua itu?" Hannah penasaran. "Sepertinya ayah dan paman Ivan benar-benar takut sama dia."
"Aku juga tidak tahu." Inggrid menggelengkan kepalanya. "Tetapi ayah dan keluarga Alfred tidak berniat untuk mempermasalahkan pernikahanku ini lagi. Jadi menurutku ini adalah hasil paling bagus."
Mereka lalu berbincang-bincang mengenai masa lalu mereka. Lalu tiba-tiba Hannah bertanya mengenai topik yang sedikit sensitif. "Kak, bagaimana rasanya saat kakak melakukannya dengan kak Randika di sofa?"
Dalam sekejap wajah Inggrid menjadi merah, tetapi Hannah terus menatapnya dengan wajah penasaran sekaligus serius.
"Hmmm yah begitulah." Inggrid merasa malu dan menyalahkan Randika. Jika saja Randika tidak terlalu nafsu, maka mereka berdua tidak akan kepergok adiknya.
Randika yang mendengar pertanyaan Hannah ini sudah menggelengkan kepalanya. Apa pantas bertanya seperti itu pada kakaknya?
"Aku rasa kakak pasti keenakan sampai lupa waktu dan tempat bukan? Aku sendiri tidak heran kak Randika sampai kayak gitu, punya kakak besar sih." Kata Hannah sambil tersenyum, dia lalu mengulurkan tangannya dan meraba dada kakaknya. "Punya kakak benar-benar besar!"
"Han! Sudah ah, kamu kok ketularan kakak iparmu sih!" Inggrid tersenyum dan membalas Hannah. "Nih, punyamu juga besar."
"Hahaha kakak ngomong apa sih, punya kakak jelas lebih besar!" Hannah melepaskan diri dan mulai membenamkan kepalanya di dada kakaknya.
Dadanya yang digesek-gesek oleh kepala Hannah itu membuat Inggrid merasa sedikit aneh. "Han, sudah jangan aneh-aneh."
"Hmm? Kenapa memangnya kak? Bukannya dulu aku sering tertidur di dadanya kakak saat kecil? Kenapa sekarang tidak boleh?"
Inggrid lalu tersenyum. "Kalau begitu, gantian kakak yang tidur di atasmu! Sini kakak lihat seberapa jauh perkembanganmu."
Setelah itu Inggrid dan Hannah saling berguling-guling di kasur sambil terus tertawa. Mereka berdua saling meraba, memastikan siapa yang lebih besar. Pemandangan ini membuat siapapun yang mengintip akan salah sangka.
Tes, tes, tes.
Randika yang mimisan itu bersorak dalam hatinya. "Terus! Pelorot terus celananya! Ayo Hannah, sedikit lagi aku bisa melihat puting kakakmu! Aduh minggir sedikit dong, tidak kelihatan nih!"
Di dalam kamar, kedua kakak adik itu terus meraba satu sama lain. Piyama mereka menjadi longgar dan dada Inggrid ataupun Hannah terkadang akan memperlihatkan putingnya. Hal ini membuat Randika sedikit bersemangat.
"Aduh, Hannah itu ternyata tidak jauh berbeda dengan Inggrid." Randika melototi dada adik iparnya itu.
Pada saat ini, Hannah yang sedang bertarung dengan kakaknya itu melihat pintu kamarnya sedikit terbuka. Pada saat yang sama, sebuah kepala terlihat sedikit demi sedikit masuk.
"Ah!"
Dalam sekejap Hannah berteriak ketakutan, dia langsung menutup dirinya dengan selimut.
Ketika Inggrid menoleh, dia melihat sosok Randika yang masuk ke dalam kamar sambil mimisan.
"Ah, jadi begini, aku baru saja pulang dan tidak enak mengganggu kalian jadi aku nunggu di luar. Tenang saja aku tidak lihat apa-apa kok."
Inggrid menatapnya dengan tajam. "Malam ini kamu tidur di kamarmu sendiri! Aku mau tidur sama adikku."
TIDAK!!
Dalam sekejap wajah Randika menjadi pucat dan menatap Inggrid dengan perasaan sedih. Teganya istrinya itu mengusir dirinya. Apa bedanya tidur di sofa kalau Inggrid tidak tidur di sampingnya?
Hannah hanya tertawa dan berkata dengan nada mengejek. "Dengar sendiri kata-kata kakakku, kak Randika tidur sendiri sana!"
Hannah memang membenci dirinya, pikir Randika.
Randika keluar dari kamar dengan kepala menunduk dan Hannah langsung membentaknya. "Tutup pintunya rapat-rapat!"
Bersabarlah Randika!
.....
Keesokan harinya, Inggrid bangun dan langsung menuju lantai bawah.
Dia benar-benar terkejut melihat sosok Randika. "Kamu kenapa?"
Randika benar-benar seperti seorang gelandangan, wajahnya melas dan rambutnya acak-acakan.
"Aku tidak sempat menghisap energi feminimmu jadi tentu saja aku tidak sehat."
"Maksudmu apa?" Kata Inggrid sambil membantu merapikan rambut Randika.
Randika lalu menoleh dan berbisik di telinganya. "Apa Hannah masih tidur?"
"Iya, kenapa?"
"Kalau begitu ayo kita lakukan sekali saja. Olahraga di pagi hari bisa membuatmu sehat dan bugar!"
"Tidak mau." Inggrid memalingkan wajahnya, mengintip ekspresi sedih Randika, dia menambahkan. "Nanti malam aku akan memberikannya padamu."
"Sungguhan?" Randika langsung mendapatkan rona wajahnya lagi.
Inggrid sudah tersipu malu dan mencium Randika. "Tolong sabar ya sayang."
...…
Setelah sarapan, Randika berangkat menuju kantor bersama Inggrid. Setelah tiba di perusahaan, Randika langsung memeriksa kemajuan ramuan X.
Penelitian dan perkembangan ramuan X sudah berjalan beberapa waktu dan menurut perhitungannya, seharusnya perkembangannya ini sudah menghasilkan beberapa kemajuan. Dan sebelumnya hasilnya itu hampir menyerupai ramuan X jadi Randika harus memeriksanya sendiri.
Saat tiba di laboratorium, Randika mulai mengarahkan dan pembuatan ramuan X kembali dimulai.