"Kamu belum mati?"
Mendengar kata-kata tersebut, Randika hampir muntah darah.
Mereka hampir tidak mengenal satu sama lain dan kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah menanyakan dirinya belum mati? Apa orang tuanya tidak pernah mengajarinya sopan santun?
Tentu saja aku belum mati, kalau aku mati pasti dunia ini sudah ikut mati bersamaku.
Randika benar-benar jengkel dengan kata-kata perempuan satu itu, kalau saja dia bukan anak kecil mungkin dia sudah menghajarnya.
Elizabeth menatap tajam Randika. "Sepertinya mereka belum bergerak, tetapi sepertinya nyawamu sebentar lagi akan hilang."
Hmm? Apanya yang belum bergerak?
Randika mengerutkan dahinya dan Elizabeth sudah tidak ingin berbicara lagi. Setelah itu Elizabeth berjalan masuk ke dalam gedung kantor kepolisian Cendrawasih.
"Tunggu!" Randika berlari menuju Elizabeth. "Apa maksud kata-katamu tadi?"
Elizabeth berhenti berjalan dan membalasnya dengan dingin. "Semuanya hanyalah masalah waktu, kau akan segera mengerti kata-kataku tadi."
Kenapa dia sok misterius?
"Jangan pura-pura misterius seperti itu." Wajah Randika menjadi serius. "Siapa yang belum bergerak?"
Elizabeth tidak menjawab, dia lalu menggelengkan kepalanya secara perlahan. "Kamu benar-benar tidak tahu apa-apa? Kamu hanya membuang waktuku, enyahlah dan jangan menggangguku lagi."
Setelah berkata seperti itu, Elizabeth berjalan melewati Randika. Randika langsung menjadi marah. "Jelaskan padaku atau aku akan membunuhmu!"
"Saranku tetap sama, berhati-hatilah dan cobalah untuk bertahan hidup." Kata Elizabeth dengan wajah dingin. Bersama dengan Nancy dia lalu masuk ke dalam gedung.
Ketika melihat sosok Elizabeth yang pergi, Randika sedikit merinding.
Hari ini dia menerima sesuatu yang tidak biasa mulai dari peringatan dari Elizabeth, obat dari kakeknya, ramalan kakeknya, otak Randika berputar keras mengenai bahaya apa yang mengintai dirinya.
Bukan sebuah kebetulan dirinya bertemu dengan Elizabeth, mungkin ini adalah peringatan terakhir buat dirinya.
Tetapi pertanyaannya masih tetap sama, bahaya apa yang mengancam dirinya?
Sambil mengerutkan dahinya, Randika terus berpikir sambil terus berjalan.
Sekarang tujuan pertamanya adalah rumah sakit di mana Hannah berada. Hannah masih belum diperbolehkan keluar dari rumah sakit, dia sendiri belum pernah mengunjunginya. Terlebih, Inggrid tidak mengetahui hal ini dan jika Randika tidak mengunjunginya, bisa-bisa dia menerima serangan balas dendam dari Hannah saat dia keluar dari rumah sakit nanti.
Randika lalu berjalan menuju kantin terlebih dahulu untuk membeli cemilan.
Ketika Randika berada di kantin, terdengar suara heboh di dalam ruangan Hannah.
"Ibu Ipah, aku ingin pulang! Cepat urusin berkas-berkasnya biar aku bisa pulang."
"Nak, kata dokter kan kamu belum sembuh. Nanti bagaimana kalau kamu ada apa-apa?" Kata Ibu Ipah yang duduk di samping tempat tidur.
"Aku sudah sehat, coba ibu panggil dokternya. Aku sudah bosan tiduran terus." Hannah benar-benar ingin pulang.
Pada saat ini, pasien yang ada di samping Hannah tiba-tiba berkata padanya. "Maaf kalau aku sempat menguping, tetapi kata ibu ini benar. Kalau kamu buru-buru ingin keluar lalu penyakitmu tambah parah bagaimana?"
"Suamiku benar, coba kamu tahan dulu ya. Mungkin memang membosankan di tempat ini tetapi coba pikirkan perasaan orang-orang yang kamu sayang, mereka juga ingin kamu cepat keluar dalam keadaan sehat." Istri si pasien itu menambahkan.
Ibu Ipah tidak ikut menambahkan, dia hanya menghela napas. Dia sudah mengerti kondisi Hannah dari dokter sebelumnya. Hannah memang dari luar terlihat baik-baik saja, tetapi luka internalnya masih belum sembuh. Jika Hannah ingin keluar dan mengalami pendarahan, maka nyawanya bisa terancam.
Mendengar nasihat kedua pasangan itu, jiwa pemberontak Hannah bergejolak. "Siapa bilang aku masih sakit?"
"Bagaimana kalau kamu bertanya lagi saja doktermu?" Sebagai orang dewasa, pasangan di sebelahnya itu berusaha tidak marah dengan sifat Hannah. "Bersabarlah, semua orang juga ingin cepat sembuh sepertimu."
Melihat semua orang berusaha mencegahnya, Hannah semakin jengkel dan berkata pada Ibu Ipah. "Ibu, aku hari ini pokoknya harus keluar. Panggilkan dokternya untuk memeriksaku."
Ibu Ipah hanya bisa berdiri tanpa daya. Bagaimanapun juga, Hannah adalah majikannya dan dia harus menurutinya.
Pada saat ini, Randika masuk ke dalam ruangan sambil tersenyum dan menaruh cemilan yang dia beli di kantin.
"Han, bagaimana kondisimu?"
Mendengar suara familier itu, Ibu Ipah langsung menyapa. "Nak Randika!"
Hannah melihat Randika dan mendengus dingin. Sambil memalingkan wajahnya, dia berkata padanya. "Huh, lama sekali untuk kakak datang ke sini. Pasti kak Randika sudah lupa sama aku kan."
Randika menggaruk kepalanya dan terlihat malu. Dia akhir-akhir ini sibuk dan tidak punya waktu untuk mengunjungi Hannah.
"Han, yang penting kan aku sudah ada di sini." Setelah Randika mengantar Hannah ke rumah sakit, dia langsung berusaha mencari Shadow. Kemudian dia menghabiskan beberapa hari berdua bersama Inggrid untuk menghilangkan kenangan buruk yang dimiliki istrinya itu. Dia benar-benar melupakan keberadaan Hannah.
Hannah tersenyum dan masih pura-pura marah. "Kak, hari ini aku akan keluar dari rumah sakit. Aku bisa gila kalau harus menghabiskan satu hari lagi di kamar ini."
"Nak, luka di tubuh Hannah masih belum sembuh total. Dokter mengatakan padaku kalau nona perlu menginap 10 sampai 20 hari lagi untuk sembuh total." Ibu Ipah berbisik pada Randika.
Mendengarkan penjelasan Ibu Ipah, Randika sedikit menghembuskan napas lega. Setidaknya nyawa Hannah tidak terancam sama sekali, tetapi luka internal memang tidak bisa dihindari. Tetapi penyakit seperti ini memang membutuhkan waktu, mungkin bagi orang bersemangat seperti Hannah, hal ini benar-benar membosankan.
Pada saat ini, pasien yang menasihati Hannah tadi berkata pada Randika. "Anak ini benar-benar tidak mau diomongi, nanti kalau tambah parah bagaimana?"
Hannah merasa tersinggung. "Ulangi lagi kata-katamu."
"Suamiku berkata seperti itu karena dia peduli denganmu, jangan membuat kami marah." Istri si pasien angkat bicara.
Merasa terpojok, Hannah meneteskan air mata dan berkata pada Randika. "Kak, aku tidak mau tinggal di tempat ini lebih lama lagi. Aku ingin pulang!"
"Sudah, sudah, aku akan membawamu keluar hari ini." Hati Randika terasa sakit ketika melihat air mata itu. Lagipula, Hannah sampai terbaring di tempat ini karena dirinya dan dia sekarang menderita sampai menangis seperti itu. Bagaimana mungkin hati Randika sanggup melihatnya?
"Nak, dokter melarang Hannah untuk beraktivitas berat atau nanti luka internalnya itu akan semakin parah." Kata Ibu Ipah.
"Apa yang dikatakannya benar, memang terlihat kejam tetapi ini juga demi kebaikannya." Kata pasien di sampingnya Hannah itu.
Randika mengerutkan dahinya, kenapa semua orang suka berkomentar?
"Kalian memangnya dokter? Kenapa kalian daritadi menghakimi adikku ini?" Wajah Randika terlihat jengkel, dia lalu menoleh ke arah pasien tersebut. "Sebaiknya kamu urus dirimu sendiri baru mengkhawatirkan orang lain."
Mendengar hal ini, pasangan itu sudah tidak peduli lagi dengan Hannah dan Randika. Mereka dengan keras menutup tirai.
"Nak Randika…" Ibu Ipah menatap Randika dengan wajah cemas. Alasan dirinya tidak membiarkan Hannah keluar adalah nona mudanya ini pasti langsung ingin bermain dan beraktivitas banyak hal ketika keluar nanti, hal ini benar-benar dilarang keras oleh dokter.
"Ibu tidak usah khawatir." Kata Randika sambil tersenyum dan mengeluarkan tabung reaksi berisikan darah boneka ginseng dari balik bajunya.
Tetesan darah ini diberikan oleh boneka ginseng ketika dirinya menangkapnya di rumah, selama ini Randika belum pernah menggunakannya. Kali ini dia berniat untuk memberikannya pada Hannah. Darah boneka ginseng bisa membuat nenek dari Viona sembuh kembali dan menjadi lebih muda beberapa tahun. Seharusnya darah ini bisa menyembuhkan luka internal yang dialami oleh Hannah.
"Han, minumlah ini." Randika memberikan darah boneka ginseng yang berupa manik-manik itu pada Hannah. Wajah Hannah terlihat bingung dan ragu-ragu.
"Percayalah padaku, setelah kamu meminumnya kamu bisa keluar dari tempat ini." Kata Randika.
Mendengar kata 'keluar' mata Hannah langsung bersinar. Dia sudah berhari-hari tinggal di tempat membosankan ini jadi dia tidak ragu meminumnya. Ketika masuk ke dalam tubuhnya, energi yang terkandung di darah boneka ginseng itu langsung menyatu dengan darah dan memasuki organ dalam Hannah.
Tanpa merasakan rasa sakit, energi itu bekerja dengan cepat dan efektif. Rona wajah Hannah semakin membaik dan tubuh lemasnya itu segera bertenaga kembali.
Bisa dikatakan bahwa ketika darah boneka ginseng itu masuk ke dalam tubuhnya, Hannah langsung merasakan manfaatnya.
"Kak, apa dengan ini aku boleh pulang?" Hannah benar-benar merasa tubuhnya ringan.
Randika tersenyum, dia lalu memeriksa denyut nadi Hannah. Menurut pengamatannya, luka internal Hannah sudah sembuh total dan tidak akan membawa bahaya ke depannya.
"Tentu saja." Randika mengusap-usap kepala Hannah.
"Yei! Kakak memang terbaik." Hannah tertawa dan tersenyum lebar, sementara pasangan di samping mereka itu geleng-geleng. Bocah tetaplah bocah, mereka sangat meremehkan yang namanya penyakit.
"Nak Randika." Wajah Ibu Ipah masih terlihat khawatir. Namun, Randika tersenyum padanya dan mengatakan. "Ibu sudah tidak perlu khawatir, tolong ibu panggilkan dokternya."
Ibu Ipah mengangguk dan berjalan keluar untuk mencari dokter. Pasangan di samping tempat tidur Hannah itu tidak sabar menertawai kebodohan Randika. Mereka tidak sabar melihat dokter tersebut memarahi pemuda tidak sabar dan tidak tahu diri itu.
"Memang ini bukan urusanku, tetapi belum terlambat kalau kalian ingin menyelamatkan muka kalian." Si pasien itu tiba-tiba membuka tirai pembatas. Kalau bukan karena rasa hormatnya pada yang lebih tua, mungkin Randika sudah menghajarnya.
Tidak lama kemudian, dokter paruh baya datang ke ruangan dan menatap Hannah. Dokter itu menghela napas. "Ini sudah berapa kalinya dalam sehari kalian memanggilku."
"Dokter Wang, tolong periksa aku lagi." Kata Hannah sambil menjulurkan lidahnya. Sepertinya hubungannya dengan si dokter cukup bagus.
"Mau berapa kali pun kuperiksa tetap sama, bukankah tadi pagi aku sudah memeriksamu? Mungkin kalau seminggu sekali gitu aku bisa memberikanmu kabar baik." Dokter Wang tersenyum pahit. Setiap hari dia akan dipaksa oleh Hannah untuk memeriksanya dan menandatangani surat kepergiannya.
"Dokter tidak perlu khawatir, aku yakin aku sudah sembuh sekarang."
Di bawah tatapan Ibu Ipah dan kedua orang di samping, dokter Wang mulai memeriksa Hannah. Ketika dirinya memeriksa pernapasannya, dokter tersebut terkejut bukan main. Sepertinya keadaan internal Hannah jauh lebih baik dari tadi pagi.
Dokter Wang terlihat bingung dan memeriksa sekali lagi. Sial, rupanya dia memang tidak salah lihat.
Luka itu jelas ada tadi pagi, terus kenapa sekarang dia tidak dapat merasakannya lagi? Dilihat-lihat tubuh lemas Hannah itu terlihat bertenaga.
Sebagai orang berpendidikan, dia tidak terlalu percaya dengan namanya keajaiban jadi dokter Wang memeriksanya berkali-kali. Kemudian dengan tersenyum pahit dia berkata pada Hannah. "Menurut analisaku, kamu bisa keluar dari rumah sakit setelah ini. Keajaiban macam apa ini? Padahal hasil pemeriksaanmu tadi pagi tidak seperti ini."
"Asyik!" Hannah benar-benar tersenyum lebar. Dia lalu berdiri dan memberikan pelukan hangat pada dokter Wang dan Randika.
Kedua orang yang ada di samping itu benar-benar terkejut bukan main, bukannya luka pemuda itu parah sekali? Bagaimana bisa dia keluar hari ini?
"Dok, apa kamu memeriksa dengan benar? Apa benar dia bisa keluar?"
"Kamu kira aku berbohong? Aku sudah memeriksanya empat kali dan semuanya menunjukan hasil yang sama. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini, benar-benar ajaib." Kata dokter Wang.
"Kalau begitu Anda harus memeriksaku juga, siapa tahu aku bisa keluar juga." Kata si pasien.
Setelah memeriksanya, dokter Wang berkata padanya. "Maaf, tapi kamu masih butuh 3 bulan di rumah sakit ini."
Saking senangnya, Hannah sudah berganti baju di toilet dan sudah tidak memedulikan pasien di sebelahnya. Dengan senyum lebar, dia menyeret Randika keluar dari ruangan.