Beberapa jam kemudian, akhirnya pesawat Randika dan Inggrid tiba di kota Cendrawasih.
"Tidak ada yang lebih nyaman daripada rumah sendiri." Kata Inggrid sambil menghirup napas dalam-dalam.
Randika lalu memeluk Inggrid dan berbisik di telinganya. "Kita akan selamanya berada di kota ini dan anak-anak kita juga akan tumbuh besar di sini."
Wajah Inggrid menjadi merah padam, dia lalu berkata dengan nada sedikit cemberut. "Aku cuma ingin punya anak 2."
"Hahaha semakin banyak semakin banyak rejekinya."
"Tidak mau! Terlalu banyak juga tidak bagus." Meskipun terlihat marah, dia senang ketika memikirkan dirinya menggandeng anaknya.
"Baiklah, baiklah, terserah kamu mau punya anak berapa." Randika lalu berbisik di telinganya. "Tapi nafsu suamimu ini besar, jangan salahkan aku jika aku menginginkan tubuhmu setiap hari."
"...."
Inggrid sudah tidak bisa melihat wajah Randika lagi saking malunya. "Kamu ingin laki atau perempuan?"
Randika lalu membalas. "Dua-duanya sama saja. Kalau laki nanti dia akan tumbuh tampan sepertiku dan kalau perempuan akan secantik ibunya."
Mendengar kata-kata Randika itu, Inggrid makin berharap semakin cepat mempunyai anak. Randika menyadari ini dan langsung mencuri kesempatan. "Sayang, bagaimana kalau kita segera membuatnya setelah kita sampai rumah? Untuk memastikan kita mendapatkan bayi yang sehat, kita akan melakukannya siang dan malam sampai berhasil."
Bagaimanapun juga, Inggrid bukanlah tandingannya Randika. Meskipun sifatnya yang kuno dan pemalu itu, di bawah serangan Randika, dia sekarang menjadi perempuan yang siap melakukannya kapan saja dan dengan cara apa saja.
"Oh iya, bukannya perusahaanmu itu mau tutup? Bukankah lebih baik kamu memanggil semua karyawanmu kembali sebelum mereka mencari pekerjaan baru?"
"Tidak masalah, sesampainya di rumah aku akan menelepon sekretarisku dan memintanya untuk mengatur panggilan kerja kembali. Lagipula ini baru beberapa hari jadi seharusnya sebagian besar dari mereka akan kembali."
Ketika mereka sampai di rumah, Hannah sangat senang bertemu dengan kakaknya. Akhirnya keluarga bahagia ini kembali bersatu.
"Kakak!"
Hannah memeluk Inggrid dengan erat. Wajahnya sudah penuh oleh air mata. "Aku pikir aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi."
"Han, aku senang bisa bertemu denganmu lagi." Inggrid juga ikut menangis bersama Hannah.
Hubungan kakak beradik ini sangat dekat. Ketika Inggrid pergi meninggalkan Jakarta, Hannah memutuskan untuk bersekolah di universitas Cendrawasih untuk menyusul kakaknya itu. Dengan nilainya, dia bisa pergi ke sekolah yang jauh lebih bagus. Dari hal ini saja sudah cukup untuk membuktikan betapa dekatnya mereka.
"Aku tidak ingin kakak pergi meninggalkanku lagi seperti itu." Kata Hannah sambil tersedu-sedu.
"Iya, iya, kakak tidak akan ke mana-mana kok." Inggrid lalu tersenyum. "Sudah berhentilah menangis, wajahmu yang cantik itu jadi jelek lho."
Hannah yang menghapus air matanya itu menatap Randika. Randika sendiri berkedip padanya dan membuka kedua tangannya.
"Ngapain kak?" Hannah terlihat bingung.
Randika lalu berkata dengan santai. "Bukankah aku membawa pulang kakakmu itu? Seharusnya aku mendapatkan pelukan juga bukan?"
"Hah? Logika macam apa itu?" Hannah memalingkan wajahnya, sifatnya berubah kembali menjadi nakal. "Atau kak Randika ingin merabaku lagi ya!"
Randika menjadi muram, sejak kapan Hannah tahu rencananya? Yah ini cuma sebuah pelukan, seharusnya tidak perlu waspada seperti itu.
"Hahaha ada-ada saja kamu ini. Bukankah aku sudah punya istriku yang cantik? Buat apa aku merabamu?" Kata Randika sambil tertawa. Lalu tatapan mata Hannah dipenuhi oleh kelicikan, dia langsung menarik lengan kakaknya itu.
"Kak, kita sudah lama tidak tidur bersama-sama lagi. Hari ini aku ingin tidur bersama kakak."
Mendengar kata-kata ini, Randika ingin muntah darah. Kakinya itu sedikit gemetar dan tangannya mengusap kepala Hannah. "Bisa saja kamu ini, sudah sana cepat belajar atau main sana."
"Ran, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan Hannah jadi hari ini aku akan tidur di kamarnya. Kamu sesekali tidur sendiri tidak masalah kan?" Kata Inggrid.
Randika benar-benar terkejut, dia yang sekarang sama sekali tidak berdaya. Hari ini dia tidak bisa tidur dengan istrinya?
"Kamu ini ya." Inggrid menghela napas. Melihat wajah kecewa Randika, dia berjalan menghampirinya dan mencium pipinya. "Besok saja ya."
"Kenapa harus besok?" Randika pura-pura marah.
"Karena besok…" Inggrid menggigit bibirnya. "Kamu boleh melakukan apa saja pada tubuhku ini."
"Benarkah?" Tatapan mata Randika berbinar-binar.
Hannah yang cemburu menghentakan kakinya dan langsung menarik Inggrid. "Kak, sudah lupakan kak Randika!"
Bersamaan dengan itu, Hannah menyeret Inggrid ke kamarnya. Randika sendiri tidak peduli karena besok akan menjadi hari yang sangat menyenangkan.
Ketika hari mulai menjelang malam, mereka bertiga berkumpul di ruang tamu dan menonton TV. Ketika waktu makan malam hampir tiba, mereka berencana memasak.
Sebelumnya, siang hari tadi Hannah sudah memesan makanan tetapi karena Inggrid sedang hobi memasak dia berniat untuk menambah beberapa lauk.
Randika terkejut ketika melihat Inggrid berjalan menuju dapur. Meskipun terakhir kali masakan Inggrid tidak gagal, itu pun aslinya berkat bantuan dirinya. Jika bukan karena Randika tentu makanan yang dibuat Inggrid akan seburuk makanan di neraka.
Randika tidak punya pilihan lain, dia harus menyelamatkan dirinya sendiri dengan ikut memasak.
Ketika melihat Randika dan Inggrid berjalan menuju dapur, Hannah juga menyusul.
"Han, kenapa kamu ikut? Sudah duduk saja daripada nanti tambah kacau dapurnya." Kata Randika.
"Kenapa kakak meremehkanku begitu? Aku tahu caranya memasak!" Kata Hannah dengan wajah cemberut. Setelah memakai celemek dan mengikat rambutnya, dia sudah siap menolong kedua kakaknya ini. Namun, dia bingung harus berbuat apa. "Kak Randika, aku sekarang harus ngapain."
Randika sendiri tidak tahu harus menangis atau tertawa. "Bagaimana kalau kamu mencuci sayurannya dulu? Ingat tidak perlu pakai sabun cucinya."
Ketiga lalu mulai memasak sambil bahu membahu, tetapi semua acara memasak ini masih dipimpin oleh Randika. Kalau tidak, hasil masakannya bisa-bisa membuat mereka mati keracunan.
Namun seiring berjalannya waktu, Randika menyadari sesuatu.
"Han, minyaknya kebanyakan."
"Han, taburin garamnya pakai sendok jangan dituang dari wadahnya begitu."
"Apinya jangan besar-besar! Tuh kan gosong…."
"Sudah kamu duduk saja dan nonton TV."
Randika tidak punya pilihan selain mengusir Hannah dari dapur. Bukannya membantu, proses memasaknya itu malah makin kacau. Akhirnya Randika mengerti bahwa bakat tidak bisa memasak itu ternyata faktor keturunan. Kemungkinan besar ibu dari Inggrid dan Hannah juga sama-sama tidak bisa memasak, Randika yakin akan hal itu!
Pada akhirnya, setelah memasak dengan susah payah bersama Inggrid akhirnya masakan mereka telah selesai.
Ketiganya lalu duduk di meja makan dan Inggrid berniat mengambil botol wine yang dia simpan.
Setelah menuangkannya ke tiga gelas, Inggrid tersenyum. "Han, sebelum kamu makan bagaimana kalau kita bersulang untuk merayakan bersatunya keluarga kita lagi!"
Perayaan ini jelas mengacu pada pengalaman hidup dan mati mereka sebelumnya. Pada saat itu ketiganya terjatuh dari atas tebing dan ajaibnya mereka semua selamat dari kejadian mengerikan itu. Dan juga, jika Randika telat datang ke Jakarta, Inggrid mungkin sudah mati bunuh diri.
"Kalau begitu bersulang!" Hannah mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
"Bersulang!"
Ketiganya lalu meminum wine mereka masing-masing. Hannah baru pertama kali meminum wine, ketika dia mengingat pengalamannya di dalam gua sebelumnya, dia langsung berkata dengan nada bahagia. "Nikmatnya hidup ini."
Ketika di dalam gua, Hannah berpikir bahwa dia tidak akan pernah keluar dari situ dan mati setelah beberapa hari.
"Han, apa yang terjadi setelah kalian berdua jatuh dari tebing?" Inggrid jelas penasaran. Dia melihat sendiri Randika dan Hannah terjun bebas ke bawah. Dia waktu itu berpikir tidak akan bisa bertemu dengan kedua orang ini lagi.
"Itu semua berkat kak Randika." Hannah tersenyum dan menatap Randika, ternyata kakak iparnya itu sedang sibuk makan dan tidak menghiraukannya. Hannah yang kesal itu menendang kaki Randika.
"Ah! Apaan sih?" Randika jelas terkejut. Bukannya kalian ingin menikmati momen kakak adik? Jadi wajar kan aku makan selagi kalian bicara?
"Sudahlah Han, biarkan kakakmu itu makan. Dia siang tadi belum makan." Kata Inggrid.
"Huh." Hannah memalingkan wajahnya. "Kak Inggrid terlalu memanjakannya."
Setelah mengambil nasi dan lauk, Hannah lalu bercerita tentang kejadian di dalam gua.
Inggrid mendengarkan dengan seksama ketika Hannah menceritakan dia terjebak di dalam gua kurang lebih selama 2 minggu.
Ketika Hannah bercerita tentang kolam air yang sakral itu, Inggrid merasa semakin bersemangat. Ketika Hannah menceritakan tengkorak yang dia temukan, Inggrid merasa sedikit mual.
Ketika piringnya sudah tidak ada yang tersisa, Randika berniat untuk mengambil nasi dan lauk lagi. Namun tatapan dingin kedua perempuan itu mengejutkan dirinya.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu." Randika terlihat gugup, dia lalu berkata pada Hannah. "Han, jangan-jangan kamu suka sama aku?"
Hannah sendiri aslinya ingin bercerita bagaimana dia menyuapi Randika selama di gua, tetapi mendengar kata-katanya itu dia mengurungkan niatnya. "Huh, siapa yang suka sama lelaki rakus."
Hannah kemudian kembali menatap Inggrid. "Sudahlah kak jangan pedulikan kak Randika lagi. Ceritakan bagaimana keseharian kakak setelah turun dari gunung."
Inggrid mengangguk dan menceritakan bagaimana dia dibawa kembali ke Jakarta oleh Ivan. Dia lalu menceritakan rencana balas dendamnya dan bagaimana Randika datang menyelamatkannya.
Mendengarkan bagaimana Randika dengan gagah berani menyelamatkan kakaknya, Hannah menjadi kagum. Tetapi ketika melihat kakak iparnya itu makan dengan rakus, dia hanya bisa menghela napasnya.
Setelah mendengarkan cerita kakaknya itu, Hannah lalu membalasnya. "Kak, bagaimana kalau kita bersulang lagi? Sekarang kita bersulang agar kita bisa bersama-sama selamanya."
"Baiklah." Inggrid mengangkat gelasnya sekaligus menyenggol Randika yang masih makan. "Ayo angkat gelasmu."
"Bersulang!" Randika menelan makanannya dan mengangkat gelasnya.
"Bersama selamanya!"
"Bersama selamanya!"
"Bersama selamanya!"
Ketiganya lalu meminum wine mereka masing-masing.