Dengan cepatnya Silvia menarik tangannya kembali. Silvia salah tingkah mengetahui dirinya sendiri melakukan hal yang aneh terhadap Ludius. Wajah Silvia memerah menahan malu.
Ludius mensentil kening Silvia 'Augh,
"Sudah jangan difikirkan. Lihatlah wajahmu Seperti tomat yang baru saja matang dari pohonnya. Sangat imut" ledeknya.
Ludius membawa Silvia kesebuah meja ditengah hamparan bunga yang telah dipersiapkan. Satu persatu pelayan datang membawa beberapa menu.
"Apakah ada menu yang kamu tidak suka? Kalau ada katakan saja. Biar nanti aku akan menggantinya".
Terlihat menu sarapan pagi ini penuh satu meja. Ada sop tulang iga, steak daging sapi, beberapa menu vegetarian dan dessert pudding mangga serta, beberapa camilan khas Indonesia. "Apakah makanan sebanyak ini hanya untuk kita berdua?" Tanya Silvia, matanya terbelalak melihat satu meja penuh dengan makanan.
"Iya tentu saja, memang siapa lagi yang akan memakannya. Aku ingin melihatmu gemukan, jangan seperti ikan teri yang kurus kering tapi seperti panda yang gemuk dan menggemaskan" ledeknya lagi.
Ludius mengambil sedikit nasi, sup dan daging steak. Dia menyuapinya tanpa Silvia pinta. "Apa aku memintamu untuk menyuapiku? Jangan sembarangan berbuat. Aku masih bisa mengandalkan tanganku walau cacat".
Sepertinya Silvia salah mengartikan sikap Ludius. Dia terlihat kesal melihat Ludius berbuat seenaknya saja.
"Aku tidak sembarangan berbuat. Kamu boleh makan sendiri setelah aku menyuapimu. Silvia, jangan menanggung beban seorang diri, tidakkah itu terlalu berat? Berbagilah, masih ada aku disini yang selalu ada untukmu".
Silvia terdiam sejenak mendengar perkataan Ludius. Dia merasa pernah mendengarnya tapi entah dimana. "Ludius, kamu mendapat kata-kata seperti itu dimana? Dilihat dari perangaianmu, kamu bukanlah orang yang mudah memberi saran apalagi untuk orang yang baru kamu kenal".
"Aku mendapat kata-kata ini dari orang yang paling aku cintai. Sayangnya saat ini dia sedang tidak tahu kalau aku sangat mencintainya dan berharap dia mengingatku kembali" kata Ludius lirih.
Lagi-lagi hati Silvia bergejolak, perasaannya seakan ikut tersayat mendengar perkataan lirih yang keluar dari mulut Ludius.
(Aku sedih, mengapa aku bersedih tanpa alasan? Apa aku benar-benar melewatkan hal penting tentangnya?). Tanya Silvia pada hatinya sendiri.
Ludius yang sedang menyuapi Silvia baru menyadari suasana hati Silvia berubah mendung, dia menghentikan diri untuk menyuapi Silvia. "Jangan bersedih, kamu sudah banyak menumpahkan air matamu untuk hal yang tidak penting Silvia. Tapi menangislah jika itu memang membuatmu lega".
Silvia menatap hamparan bunga, dia hirup dalam-dalam hembusan angin yang menyapanya.
"Ludius, bisa kamu bungkus semua makanan ini? Aku ingin membawanya pulang" pinta Silvia.
"Jika kamu ingin lebih banyak, aku akan pesankan untukmu". Balas Ludius.
" Bukan seperti itu. Kamu mungkin tidak tahu, hidup selayaknya roda yang berputar. Kadang dibawah kadang berada diatas. Saat kita berada diatas kadang kita gelap mata untuk melihat betapa rapuh dan kecilnya kita dihadapan Tuhan. Kita dengan mudahnya di hempaskan kebawah jika memang itu sudah menjadi kehendakNya. Jadi selagi kita diatas, sesekali kita harus menundukkan pandangan dan penglihatan kita untuk orang yang berada di bawah kita dengan rendah hati. Aku berniat membagi makanan ini untuk para anak yatim di panti asuhan yang selalu aku lewati setiap pulang sekolah dulu. Sudah lama aku tidak berkunjung kesana".
Ludius tertegun, Perkataan sederhana namun begitu dalam membuat Ludius terdiam kehilangan kata-kata. (Seberapa banyak lagi sisi dirimu yang belum aku ketahui Sayang?. Inilah yang membuatmu berbeda dari wanita manapun. Kamu mengingatkanku akan masa kecilku yang pernah hidup di sebuah panti. Tanpa kamu sadari Kamu telah menyadarkanku sayang).
"Baiklah, kita bungkus makanan ini dan berkunjung ke tempat yang kamu inginkan". Ludius tersenyum, dia seperti sedang merencanakan suatu hal lagi tanpa sepengetahuan Silvia.
Walau Ludius gagal membawa Silvia jalan mengelilingi Pantai, tapi membawanya ketempat yang dia inginkan itu sudah cukup bagi Ludius.
Setelah selesai dengan sarapan di Ressort penuh bunga. Ludius membawa Silvia ke sebuah panti asuhan yang sering Silvia lewati dulu. Sebelum pergi Ludius sudah memerintahkan seseorang untuk mengantarkan beberapa bingkisan dan hadiah untuk anak-anak yang berada di panti.
.....
Ludius memarkirkan mobilnya didepan sebuah bangunan tua yang sudah usang. Sesekali terlihat anak-anak saling berlarian. Mereka berhenti beraktifitas saat melihat Ludius dan Silvia berjalan kearah mereka.
"Pagi semua.." Sapa Silvia dengan senyuman hangat.
"Hallo.." Sapa Ludius dengan senyuman. Dia memilih tidak banyak bicara karena memang bahasa mereka berbeda.
"Kakak Silvia.. Hei teman-teman, Kakak Silvia datang mengunjungi kita. Cepat panggil ibu Pengasuh". Sapa salah seorang anak yang mengenal Silvia, mereka berlari mendekati Silvia dan Ludius dengan perasaan gembira. Find authorized novels in Webnovel,faster updates, better experience,
Ludius yang melihat pemandangan langka ini justru terdiam (Apakah ini yang dinamakan keluarga? Sudah berapa lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini?). Batinnya.
"Kakak Silvia, apa dia teman Kakak? Dia tampan. Apa dia bukan orang indonesia?" Tanya salah satu anak kecil yang menarik jas Ludius.
"Hallo Honey, my name is Ludius. What your name? " sapa Ludius dengan senyuman.
"Namaku Lily" jawab anak kecil itu. Dia mengulurkan tangannya kearah Ludius.
"Are you asking for a hug? Oh.. Of course". Ludius menggendong anak kecil tadi dan memeluknya. Melihat ada anak yang di gendong satu persatu anak-anak yang lain mengikuti.
Silvia yang tersenyum melihat anak-anak senang dengan kedatangannya. Sesekali dia tersenyum melihat Ludius tertawa lepas.
Ibu pengasuh datang bersama anak-anak yang lain "Silvia? Bagaimana kabarmu nak?" Sapa ibu Weni. Dia salah satu pengasuh di panti asuhan itu.
"Aku baik bu Weni. Maafkan aku bu, karena baru kali ini bisa mengunjungi Ibu". Ludius mengantar Silvia pada Ibu Weni.
Dari depan terlihat ada mobil yang berhenti. Mu Lan dan beberapa orang di belakangnya datang menghampiri Ludius.
"Pagi Tuan Lu, saya telah membawakan apa yang Tuan minta". Sapa Mu Lan dengan menundukkan badan.
"Caregiver, I came here with some gifts to share with the children. Please accept *Ibu pengasuh, saya datang kemari membawa beberapa bingkisan. Mohon diterima" Sapa Ludius dengan ramah
"Well, I gladly accept. Baik saya terima dengan senang hati". Balas ibu Weni dengan senyuman.
Ludius berjalan kearah Mu Lan "Mu Lan, bawa masuk semua bingkisan yang aku minta".
Diam-diam Mu Lan menahan marah melihat Ludius tersenyum hanya karena seorang wanita cacat. Dia menyembunyikan wajah liciknya dibalik sikap patuhnya pada Ludius. Sesekali Mu Lan menatap Silvia dengan sinis.
Silvia yang sedang bersama Ludius dan anak-anak di persilahkan masuk oleh Ibu Weni,
"Hore, dapat hadiah dari Kakak Lu". Teriak Lily dan berlari masuk kedalam rumah.
Ludius mendorong Silvia masuk kedalam rumah "Silvia, apa kamu menyukainya?" Bisik Ludius tepat di samping telinga Silvia.
"Ludius, kamu jua menyukainya kan? Buktinya kamu mau tertawa lepas bersama anak-anak panti" balas Silvia dengan senyuman
"Benar, baru kali ini aku bisa merasakan kehangatan, bercanda, tertawa lepas. Seakan beban dalam fikiranku hilang begitu saja. Terima kasih karena telah membawaku kemari. Sayang" Suara Ludius lirih saat mengatakan Sayang.
Ludius berfikir belum saatnya dia membuka identitas yang sebenarnya pada Silvia.
(Bersamamu adalah Kebahagiaan sederhana yang tidak bisa diukur dengan harta sekalipun).