Keadaan rumah Ludius sangat tenang, tidak ada satupun yang menyadari keadaan Silvia yang sebenarnya.

1jam kemudian, Bibi Yun memanggil untuk makan malam. Karena Silvia tidak menyahut  cukup lama, akhirnya Bibi Yun masuk untuk melihat keadaan Silvia. Betapa terkejutnya Bibi Yun saat melihat Silvia tergeletak di dalam kamar mandi. Dengan cepat Bibi Yun memanggil Ludius yang sedang berada di ruang kerja.

Diruang kerja, ludius masih disibukkan dengan berbagai tumpukan kertas. Hingga kedatangan Bibi Yun menyadarkannya dari kesibukannya.

"Maaf Tuan Lu, Saya menemukan Nona Silvia pinsan dalam kamar mandi". Kata Bibi Yun dengan hati-hati.

Seketika Ludius menjatuhkan semua berkas yang dipengangnya. Tanpa berkata atau mendengar perkataan Bi Yun selanjutnya,  Ludius bergegas menuju kamar Silvia dengan perasaan khawatir.

Para pelayan rumah Ludius terdiam seribu bahasa melihat ekspresi Ludius yang begitu dingin namun diselimuti oleh kekhawatiran berjalan cepat didepan mereka.

'Mengapa kamu begitu ceroboh Sayang, apa kamu tahu betapa aku sangat tersiksa melihatmu terluka?'.

Didepan kamar mandi Ludius sudah mendapati Silvia dalam keadaan Pinsan, Dia segera membawa Silvia keluar dari kamar.

Didepan ruang tamu, Bi Yun sudah menunggu "Tuan Lu, saya sudah siapkan mobil didepan". Kata Bi Yun memberitahu.

"Cepat beritahukan dokter Daniel keadaan Silvia. Aku akan membawanya kesana".

Ludius segera membawa Silvia menuju Rumah Sakit tempat dimana Silvia pernah dirawat. Didepan Rumah Sakit Dokter Daniel dan beberapa Suster sudah menunggu. Dengan cekatannya suster segera membawa Silvia ke ruang ICU untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Didepan ruang ICU Ludius terdiam menunggu dengan cemas, dia berharap semoga tidak terjadi suatu hal yang buruk pada Silvia. Di saat Ludius terdiam memikirkan keadaan Silvia, tiba-tiba saja ada seorang pria menghampirinya.

"Sedang apa kamu berada disini, Apa kamu sedang menunggu seseorang?". Tanya nya.

Ludius yang sedari tadi terrunduk mengangkat kepalanya mendengar ada yang memanggilnya..

"Hanson.. lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?". Tanya Ludius, dia tidak menyangka dapat bertemu Hanson ditempat seperti ini.

"Aku baik-baik saja, Bagaimana keadaan gadis taruhan kita, Apa dia masih bersamamu? Kudengar dia telah tahu menjadi bahan taruhan dan pergi meninggalkanmu". Terdapat banyak penekanan kata pada perkataan Hanson, sepertinya dia sengaja memancing emosi Ludius yang sejatinya sangat tempramental.

Sejak Ludius bertemu Silvia, dia sudah banyak belajar menahan diri. Jelas, menghadapi serigala liar seperti Hanson perlu menjadi penjinaknya. "Tentu saja Tuan Hans, Dia adalah calon istriku, Mana mungkin aku membiarkannya pergi. Lagi pula Dia adalah wanita yang menarik, Sayang sekali Tuan Hans tidak mendapatkannya.

Perkataan Ludius cukup pedas membuat Hanson tersenyum licik "Apa kamu sudah benar-benar jatuh cinta padanya? Aku tidak menyangka Tuan Lu yang selalu bermain dengan wanita. Kini justru tunduk oleh wanita cacat".

Di tengah perdebatan mereka, dokter Daniel keluar dari ruang ICU.

"Tuan Hans, maaf aku tidak bisa menemani debat denganmu lebh lama, Aku harus menemui calon istriku". Kata Ludius dengan senyum menghinanya.

Didepan pintu ruang ICU dokter Daniel memberitahu keadaan Silvia "Tuan Lu, setelah menerima laporan medis Silvia sebelumnya yang mendiagnosis Amnesia Retrograde. Kemungkinan untuk kembalinya memori Silvia 20%. Tapi dari benturan kali ini akan ada efek samping yang belum bisa saya jelaskan". Jelas dokter Daniel

"Terima kasih Dok, saya akan melihat Silvia keadaan Silvia".

Dokter Daniel pergi meninggalkan ruang ICU, di dalam masih ada beberapa suster yang sedang mengecek kembali keadaan Silvia sebelum meninggalkan ruangan.

"Tuan, pasien masih harus istirahat. Saya harap Tuan bisa menjaga ketenangan bila pasien sadar nanti". Kata suster yang merawat Silvia. Dia keluar bersama dua orang yang menemaninya.

Didalam ruang ICU, Ludius melihat calon istrinya terbaring dengan selang infus dan tabung oksigen. Dia mencium kening Silvia, dan memandang Silvia penuh cinta. Ludius duduk disamping Silvia dengan memegang tangannya yang hangat.

"Sayang.. Kamu selalu ceroboh seperti biasa. Saat pertama kali kita bertemu kamu juga melakukan hal konyol dengan berjalan malam-malam tanpa didampingi siapapun. Kamu fikir dunia ini seindah apa?. Untung saja aku datang untuk menyelamatkanmu dari mereka. Aku tidak pernah mempercayai takdir, tapi melihatmu saat ini didepanku lagi, aku rasa aku mulai mempercayai takdir".

Ludius membicarakan banyak hal mengenai pertemuan mereka, Silvia yang sedari tadi pinsan tiba-tiba mengatakan sesuatu dengan mata tertutup   "Jangan.. Jangan lakukan itu.." Gumam Silvia, Keringat Silvia mengucur deras. Ludius hampir dibuat panik olehnya.

"Sayang ada apa denganmu? Apa kamu mimpi buruk?" Tanya Ludius dengan perasaan cemas.

Tidak lama kemudian, Silvia membuka mata dengan perasaan bergemuruh, dia seperti mengalami mimpi yang teramat buruk.

Melihat Silvia yang tiba-tiba membuka mata dengan wajah pucat, Ludius mengangkat tubuhnya dan memeluknya "Tenang sayang, itu hanya mimpi. Jangan khawatir, aku ada disini menemanimu. Istirahatlah kembali". Kqta Ludius dengan lembut. Tangannya mengusap kepala Silvia untuk menenangkannya.

"Ludius aku ingin bertanya, Aku harap kamu berkata jujur. Apakah kamu pernah menghamili seorang wanita dan aku mengetahuinya, tapi aku justru diam melihatmu membiarkan wanita itu pergi" tanya Silvia dengan perasaan gemetar dan bersalah.

Sesaat Ludius terdiam, dia bingug bagaimana harus menjawab pertanyaan Silvia.

"sayang, kamu bertanya seperti itu, Apakah kamu bermimpi tentang hal itu?" Tanya Ludius hati-hati.

"Iya, aku melihat seorang wanita hamil anakmu, dia datang kepadamu. Tapi justru kamu usir dia didepanku, kamu hampir membunuh bayi yang ada didalam kandungannya. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan. Aku benar-benar takut".

"Sayang,  itu hanya sebuah mimpi. Jangan difikirkan. Istirahatlah, aku akan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu".

Ludius membaringkan Silvia kembali dan keluar ruangan dengan perasaan berkecamuk.

Aku memang pernah melakukannya sayang, maafkan aku belum bisa jujur padamu.