Ludius yang menyadari tatapan lain dari Silvia tersenyum puas. Sikap mengemaskan Silvia membuatnya ingin terus menjahili nya dan tidak ingin melepaskannya. 'Dasar gadis kecil, Diam-diam kamu terpesona denganku ya. Kita lihat.. Apakah kamu akan jujur kali ini pada perasaanmu'.. Batin Ludius.
"Ekhem.. Apa tubuhku begitu menarik untuk di pandang, bahkan sampai membuat calon istriku ini tidak mengedipkan mata?". Ludius mendekatkan wajahnya. "1 minggu lagi kamu akan puas memandang seluruh tubuhku Sayang..".
Ludius yang tiba-tiba mendekatkan wajahnya membuat Silvia mendongak karena kaget.
"Wajahmu terlalu dekat! . Lagian Siapa yang memandangi tubuhmu, aku hanya heran. Aku kira baru kemarin kamu di operasi tapi bekasnya pun sudah tidak terlihat". Kata Silvia mengalihkan pembicaraan.
"Benarkah? Ya.. Ya.. Baiklah, Tidak apa kalau kamu tidak mau jujur. Aku akan meminta Suster atau Elena saja yang mengurusku". Pancing Ludius.
Benar saja, Silvia bereaksi dengan perkataan Ludius. Dia memanyunkan bibir merahnya kesal.
"Mandi saja sana dengan kekasihmu itu..!". Silvia merajuk, dia menghentikan dirinya membantu Ludius melepas baju.
"Apa kamu lebih suka aku tetap seperti ini Sayang?. Kalau orang lain yang masuk bisa gawat lho!".
Dengan keadaan Ludius yang memakai kemeja terbuka, membuatnya terlihat lebih eksotis. Silvia yang melihatnya semakin memerah, antara terpesona, malu dan berdebar.
"Berhentilah untuk menggodaku. Aku mengaku kalah!. Aku cuma penasaran, mengapa kamu begitu memikat para wanita. Ternyata dibalik kemeja dan jas yang kamu kenakan terdapat pahatan yang begitu indah". Kata Silvia lirih. "Apa kamu puas..!!". Teriaknya di akhir kata.
"Hahaha… Sayang, wajahmu yang seperti ini imut dan manis sekali". Mencubit hidung Silvia. "Maafkan aku. Sikapmu mudah sekali di tebak. Aku sampai tidak bisa menahan hasrat ku untuk terus menggodamu". Kata Ludius tanpa rasa bersalah.
'Dasar pria mesum, dia tidak tahu apah aku sangat malu karena sikapnya itu?'. Batin Silvia kesal.
Silvia meneruskan membuka lengan kemeja Ludius. "Cepat ke kamar mandi dan bersihkan dirimu. Ini sudah sore, jangan buang-buang waktu". Perintah Silvia.
Ludius beranjak dari tempatnya, "Sayang.. Apa kamu lupa kalau Dokter memintamu untuk membantuku membersihkan diri?! ".
"Aku masih waras Tuan Mesum, tidak mungkin aku Menemanimu mandi. Sana mandi sendiri, Aku akan menunggu mu disini". Silvia membantu Ludius masuk kedalam kamar mandi dan menunggu di luar.
Suara guyuran air saat Ludius mandi terdengar jelas membuat otak Silvia seperti berhenti bekerja. Dia hanya bisa terdiam menutup telinganya, namun justru Otaknya memikirkan tubuh Ludius yang tidak pernah dia lihat.
'Kalau aku terus seperti ini, bisa-bisa aku kehilangan kendali. Aku harus keluar menenangkan fikiranku'. Batin Silvia.
Belum Satu langkah Silvia meninggalkan tempatnya, Ludius keluar memakai handuk kimono dengan keadaan dada terbuka dan rambut basah.
"Kamu mau pergi kemana Sayang, Sini.. bantu aku memakai bajuku". Kata Ludius masih dengan kejahilan nya.
Hari ini Dunia Silvia seperti terbalik 180 derajat, tidak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk mengurusi pria mesum seperti Ludius. Bahkan sampai melihat lekukan tubuhnya yang bisa di katakan seperti maha karya yang luar biasa.
"Aku akan keluar, kamu pakailah dulu bajumu. Aku mohon.. Jangan uji keimanan ku lebih dari ini". Kata Silvia dingin, wajahnya seketika berubah kecewa. Dia keluar dari ruang rawat dan langsung menutup pintunya.
"Sepertinya aku telah berlebihan dan justru membuatnya kecewa. Sayang.. Aku jadi semakin jatuh cinta padamu. Hanya kamu satu-satunya wanita yang menolak untuk melihat bahkan menyentuh tubuhku".
Ludius bergegas memakai kemejanya dan menyusul kemana Silvia pergi. Dia khawatir dengan kondisi Silvia dan takut jika terjadi sesuatu padanya mengingat kejadian yang telah terjadi selama ini.
Jam menunjukkan pukul 18.00 petang, namun Silvia belum kembali. Ludius memutuskan untuk keluar mencari dimana Silvia berada, dia mulai dengan mengelilingi seluruh rumah sakit yang biasa di singgahi, namun Ludius tidak menemukannya.
"Sayang.. Kamu sebenarnya pergi kemana? Apa kamu begitu marah dengan perlakuanku?". Gumam Ludius.
Ludius mencoba menelfon ponselnya.
[Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi]
Yang terdengar justru suara operator.
Ludius memutuskan untuk menelfon kerumah. Di sana Bibi Yun yang mengangkat telepon.
"[Bibi Yun, Apa Silvia sudah pulang kerumah?].
[Nona belum pulang sejak kemarin Tuan, memangnya ada apa?]
[Tidak ada apa-apa, hanya ada sedikit kesalahan pahaman. Jika Silvia pulang kabari aku].
[Baik Tuan...]
Telefon terputus. Ludius mulai khawatir dengan keadaan Silvia yang tiada jejak sama sekali.
"Maafkan aku Sayang, aku tidak tahu jika itu terlihat keterlaluan di matamu".
Ludius melanjutkan pencarian keluar gedung rumah sakit. Langkahnya terhenti melihat ada tas Silvia didepan sebuah bangunan yang hanya sepetak di samping rumah sakit.
"Bukankah itu tas milik Silvia?". Ludius mendekati tempat itu untuk memastikan Silvia masih berada disana.
Seketika Ludius tertegun, hal yang tidak pernah dia lihat selama dia bersama Silvia. Didalam bangunan kecik itu terlihat seorang wanita memakai penutup kepala seperti jubah berwarna putih tengah terduduk menadahkan tangannya seperti seorang yang sedang meminta. Samar-samar Ludius mendengar apa yang Silvia ucapkan.
"Yaa Rabb.. Ampuni hamba yang selalu berbuat dosa dengan melanggar laranganmu. Hamba tahu, tidak seharusnya hamba membiarkan hal itu terjadi. Fitnah hati yang selalu mengelilingi hamba, telah menggoyahkan iman Hamba pada-Mu. Hamba tahu, Cinta dan Jodoh adalah Takdir dan pemberian Mu. Jika memang seorang Ludius adalah jodoh Hamba, maka permudahkanlah. Tidak ada hal yang lebih indah dari sebuah pernikahan selain Ridlo dari Mu".
Ludius masih terdiam dengan memegang dadanya yang tiba-tiba berdebar, debaran yang Ludius rasakan saat ini berbeda dari debaran yang pernah dia rasakan. Ludius merasa seperti ada angin kedamaian yang masuk kedalam relung hatinya. Bahkan tubuhnya tidak hentinya gemetar mendengar setiap perkataan yang Silvia ucapkan.
"Apakah ini yang kamu maksud sebagai keyakinan?". Gumam Ludius.