Chapter 174 - 174. Ungakapan Hujan

Hujan yang lumayan lebat di sertai kenakalan kecil Silvia sekejap mampu melepas penatnya beban yang akhir-akhir Ludius rasakan.

"Sayang, hujannya mulai lebat. Berhentilah bermain-main". Tegur Ludius.

"Suamiku, kamu berkata seperti Pak tua saja". silvia menarik tangan Ludius yang sedang memegang payung, seketika payung kabur terbawa angin dan keduanya kini basah kuyup bersama. "Nah… sekarang baru impas!!".

Air hujan menguyur Silvia dan Ludius di tengah keheningan. Sejenak Ludius tersenyum simpul merasakan hujan yang berbeda.

"Sekarang apa suamiku sudah baikan? Wajah tampanmu tidak cocok untuk perasaan putus asa. Cerialah Sayang..!". Ledek Silvia sambil mengedipkan satu matanya.

"Akhir-akhir ini istriku lebih berani, sepertinya memang perlu dihukum agar tidak meledek suaminya seperti ini".

Ludius menarik pinggang Silvia hingga tidak ada jarak di antara mereka. "Biarkan hujan jadi saksi kalau hatiku akan selalu mencintaimu". Katanya dengan lembut, kecupan hangat melesat di kening Silvia.

"Aku harap kau tidak mengingkarinya". Silvia membalas kecupan Ludius dengan pelukan.

Ludius mengangkat Silvia dalam pelukannya dan membawa Silvia kembali ke dalam mobil di tengah lebatnya hujan.

'Andai waktu bisa berhenti, mungkin ini akan jadi satu-satunya waktu yang paling aku rindukan'.

Didalam mobil Silvia menggigil kedinginan, ia mendekap kedua tangannya. Wajahnya mulai pucat pasih, bibir merahnya mulai membiru.

Ludius yang kebetulan tidak memakai jasnya mengambilnya dikursi belakang, karena terlalu jauh tangan Ludius tidak sampai hingga terpeleset dan terjatuh di depan tubuh Silvia.

Silvia sontak saja marah, "Kau sengaja yah!!". Omel Silvia.

"Hahaha… Sayang jangan salahkan aku. Salahkan mengapa kita basah kuyup seperti ini, tanganku jadi licin dan terjatuh di atas badanmu. Memangnya aku sengaja?". Balas Ludius berkilah.

"Dasar pandai bersilat lidah. Arrgh… Ternyata dingin juga air hujannya". Gumam Silvia.

Ludius yang sudah mengambil jasnya menyampirkannya di tubuh Silvia. "Terima kasih Sayang". Katanya lirih

"Terima kasih untuk apa?". Tanya Silvia mengeryitkan kening, tidak biasanya Ludius mengatakan MAAF!

"Karena telah ada untukku". Jawab Ludius singkat.

"Mellow sekali suamiku ini.. Mana sikap mengerikan yang selalu ditunjukkan pada orang-orang?".

"Tentu saja aku tak akan menunjukkan sikap dinginku pada Istriku yang suka mengomel". Ludius mengecek kening dan tubuh Silvia. Suhu tubuhnya panas dingin.

"Sayang sepertinya kamu demam. Tubuhmu panas dingin sekali. Dasar istri keras kepala!! Aku sudah memanggil seseorang untuk menjemput kita". Ludius mendekap tubuh Silvia sambil menunggu seseorang menjemput mereka.

"Kalau aku tidak melakukan ini, apakah suamiku berhenti putus asa?". Tanya Silvia dengan serius.

"Bodoh!! Siapa yang putus asa? Aku hanya merasa lelah dan memejamkan mataku. Tidak ada putus asa dalam kamus Ludius Lu. Aku harap kamu tidak melakukan hal konyol lagi di lain hari".

"Seriusan tidak sedang putus asa? Pandangan matamu tidak bisa membohongiku lho Sayang..". Ledek Silvia lagi. Kesadaran Silvia mulai kabur, ia sampai tidak ingat sudah berapa kali ia hampir kehilangan nyawa.

"Sayang bertahanlah!!". Ludius mulai panik melihat kondisi Silvia.

Tidak lama kemudian, mobil ferrari Silver berhenti di samping mereka. Seseorang keluar dari mobil dengan menggunakan payung.

Tok.. Tok..

Suara ketukan jendela mobil, Ludius membuka pintu dan Zain tengah berdiri di samping mobil dengan tatapan kaget.

"Ada apa dengan kalian, Mengapa wajah Silvia terlihat pucat?". Tanya Zain. Ia agak sedikit canggung dengan posisi Silvia yang berada dalam pelukan Ludius.

"Simpan pertanyaanmu untuk nanti, kita harus segera kembali ke Mansion".

"Kenapa tidak ke rumah sakit? Aku takut ini akan mengancam kesehatan Silvia".

"Kalau kita bawa dia ke Rumah Sakit, dia pasti akan kabur lagi seperti tadi". Kata Ludius menerangkan.

Zain membantu Silvia yang mulai hilang kesadaran pindah ke mobil yang ia bawa. Di tengah kepanikan Zain memutar otaknya, memikirkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada mereka. Mobil melaju cepat membawa mereka kembali ke Mansion.

Mansion Ludius Lu

Setibanya di Mansion Zain menghentikan mobilnya didepan pintu utama. Ia bergegas mengambil payung serta keluar dan membuka pintu belakang bermaksud untuk membawa Silvia secepatnya masuk kedalam Mansion, namun ketika ia melihat Ludius yang memeluk erat Silvia ia langsung mengurungkan niatnya dan mundur beberapa langkah. Meski mata dan mulutnya dapat berbohong, namun sisi hati Zain masih merasa terluka melihat kedekatan mereka.

Ludius membawa Silvia dalam gendongannya keluar dari mobil dan membawanya masuk kedalam.

"Tuan, anda sudah kembali?". Sambut Bibi Yun didepan pintu.

"Bibi Yun, panggil dokter sekarang! Dan siapkan bubur untuk Nyonya!". Perintah Ludius. Secepatnya ia membawa Silvia kekamarnya.

Zain yang masih berdiri didepan pintu hanya dapat melihat tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Bibi Yun, aku yang akan memanggil Dokternya. Bibi masak bubur saja untuk Silvia".

"Tapi Tuan Zain, anda juga basah kuyup. Lebih baik anda mengganti pakaian dulu baru memanggil Dokternya".

"Tidak perlu, aku baik-baik saja. Ini tidak akan membuatku sakit, sebaliknya kondisi Silvia melemah". Zain pergi mengambil ponsel di sakunya untuk menghubungi Dokter yang biasa merawat Silvia.

"Tuan Zain sangat mencintai Nyonya Silvia, tapi mengapa Tuan Zain tidak mengatakannya saja pada Nyonya. Mungkin itu akan mengurangi perasaan luka di hati Tuan". Ungkap Bibi.

"Terima kasih atas perhatian Bibi, tapi aku tidak bisa melakukannya. Silvia telah memilih Ludius, aku tidak akan mengganggu apa yang sudah Silvia pilih. Aku melihatnya bahagia itu juga sudah cukup".

"Tuan Zain begitu sabar. Bibi harap Tuan Zain segera mendapatkan kebahagiannya Tuan sendiri". Kata Bibi Yun sebelum pergi.

Bahagia yah…

Entah kapan terakhir kali seorang Zain mendengar kata bahagia, baginya kepergian Silvia 5 tahun yang lalu adalah sebuah pukulan terberat untuknya. Tapi melihat orang yang di cinta bahagia mungkin itu sudah di katakan CUKUP!.

Bukankah seseorang tidak boleh serakah walau itu sebuah kebahagiaan?