Chapter 202 - 202. Antara Amarah dan Cemburu bag 3

Silvia tidak menyahut ledekan Ludius. Kalau boleh jujur, hal sederhana seperti ini memang sesuatu yang sangat Silvia rindukan. Berdua ditemani ledekan dan keusilan Ludius yang khas, bercampur tawa renyah tanpa ada yang mengganggu. Terasa seperti pasangan harmonis pada umumnya. Bukankah ini yang di impikan semua pasangan..?

"Tidurlah Sayang, biarkan seperti ini untuk beberapa saat. Hanya dengan memelukmu baru aku benar-benar bisa memejamkan mata".

Hanya butuh waktu beberapa menit untuk Ludius benar-benar tertidur, ia yang memeluk Silvia tidur dalam keadaan terlelap. Meski Silvia sedikit sesak karena sedang berbadan dua, tapi ia tidak ingin beranjak dari sisi Ludius.

"Tidurlah dengan lelap suamiku, jika dengan cara ini mampu membuatmu tidur dalam damai. Maka aku dengan senang hati berada di sisimu seperti ini".

Silvia meraba wajah indah Ludius selagi ia tertidur. Bak Pangeran di Negeri dongeng, Ludius memang memiliki wajah dan penampilan yang sempurna. Hidung mancung, dengan wajah yang memiliki aura tidak biasa. Siapa yang tahu mungkin Ludius sebenarnya masih memiliki darah keturunan Kerajaan...

"Rasanya seperti baru kemarin aku mengenalmu, dan kini kita benar-benar sedang bersama meski sedang di Rumah Sakit sekalipun". Gumamnya.

"Tidak ada penyesalan sedikit pun aku memilihmu, meski harus tersandung dan jatuh bangun berkali-kali asal itu denganmu dan dengan keyakinan kita pada Impian akan adanya masa depan yang damai. Aku takkan menyerah". Ungkap Silvia didepan suami tercintanya.

Sorot Mata hitam legam Ludius yang selalu memancarkan kekuasaan dan kekejaman akan ambisinya perlahan mulai memudar. Bukan Ludius menjadi lemah, hanya saja dia menjadi lebih memaknai akan hidup setelah ia bertemu Silvia.

Keyakinan yang Silvia anut dan pegang teguh perlahan merobohkan pancaran dan aura kekejaman serta ambisi yang selalu menyelimuti Ludius. Ia yang dulu arrogan, memandang rendah orang mulai belajar untuk memahami orang lain.

Silvia perlahan menutup mata menikmati indahnya saat-saat bersama meski hanya sebatas berpelukan dengan tidur bersama di Rumah Sakit.

Inikah yang disebut TAKDIR??

Bukan tidak mungkin terjadi pada orang lain, karena pada kenyataannya itu telah terjadi pada mereka berdua.

CINTA..

Kadang orang menganggap CINTA sebagai ungkapan rasa saling menyukai belaka. Pada dasarnya CINTA memiliki makna lebih dalam bahkan kedalamannya tidak akan pernah bisa diukur dengan apapun.

Lalu apa bedanya SUKA, CINTA, dengan TAKDIR. Bukankah itu mengacu pada arti dan tujuan yang sama???,

***

1 jam telah berlalu, Ludius yang terbangun lebih dahulu melihat Silvia masih tertidur hanya tersenyum. Sesekali ia meringis kesakitan karena bekas operasi yang baru saja dilakukan pagi tadi.

"Aku hampir lupa akan ada rapat mengenai kerja sama dengan Qin Grup siang ini di Kantor. Aku tidak tahu apa yang akan Dewan Direksi lakukan jika mereka menemukan celah untuk membuatku terlihat bersalah".

Ludius menyampirkan lengan Silvia yang melingkar di pinggangnya, ia perlahan beranjak dari tidurnya agar Silvia tidak terbangun.

"Apakah Longshang sudah kembali ke Kantor?". Pikirnya. Ludius mencium kening Silvia terlebih dahulu sebelum ia benar-benar beranjak dari kasur. "Tidurlah yang nyenyak sayang".

Ludius dengan bekas operasi yang masih baru beranjak dari ranjang dan mengambil setelan jasnya yang berada di lemari gantung. Sebenarnya Ludius tidak ingin pergi tanpa memberitahu pada istrinya, hanya saja ia tidak ingin membangunkan Silvia yang sedang tertidur pulas.

Ludius melakukan semuanya dengan pelan, ia yang sudah berganti pakaian dan memakai Jas bersiap untuk pergi kekantor. Namun...

"Tunggu.. Kamu mau pergi kemana?" Tanya Silvia mencegah. Ia yang baru saja terbangun melihat Ludius sudah ingin pergi tentu saja tidak ingin melepasnya.

Ludius menoleh. "Aku harus ke Kantor sayang, siang ini ada rapat yang tidak bisa ditunda lagi. Kamu tahu sendiri Dewan Direksi sedang menargetkanku untuk bisa membuatku melepaskan posisiku…..".

"Tidak!! Tidak aku perbolehkan!". Sela Silvia dengan tegasnya.

"Sayang.. Mengapa kamu begitu?". Tanya Ludius heran, Silvia memang terlihat lebih over protektif setelah hamil, tapi nada amarahnya ini…

"Apanya yang begitu? Kamu kan sedang terluka, mengapa masih mengkhawatirkan Perusahaan?". Tanya Silvia dengan setengah emosi,

Ludius yang melihat Silvia sudah mulai terpancing emosi menghampirinya lalu memeluknya. Ia membelai lembut rambut Silvia untuk menenangkan emosinya yang sedang tidak stabil.

"Hiks.. Hiks.. Mengapa kamu selalu semaunya sendiri, apakah kamu tidak pernah memikirkan perasaanku yang kalut saat tahu kamu terluka?". Tanya Silvia yang menangis sesenggukan.

"Sayang maafkan aku yang sudah membuatmu khawatir, baiklah.. Aku tidak akan ke kantor sampai kamu memperbolehkannya". Ludius melepas pelukannya, ia menyentuh wajah Silvia yang basah dan mengusap nya dengan ujung ibu jarinya.

Jujur saja, perasaan Ludius bahagia melihat sikap protektif istrinya yang takut kehilangannya. Tapi satu hal yang selalu mengganggu fikiran Ludius.

'Jika aku ditempatkan pada situasi yang sulit dan ada kemungkinannya akan tiada. Lalu siapa yang akan menjagamu?. Kamu sudah terlanjur hidup dalam pusaran arus hitam yang deras tidak akan pernah bisa kembali seperti semula, bahkan setelah kepergianku pasti mereka akan menargetkanmu. Jujur aku belum siap untuk itu… '.

Jemari lembut Ludius yang menyeka air mata Silvia bagai kapas yang padat, dari tangan itulah Ludius membunuh tanpa belas kasihan. Jika diingatkan kembali, ini adalah tangan yang seharusnya tidak untuk menyentuh air matanya…

Hati Silvia berdetak, perasaannya bagai gelombang yang tengah pasang surut di pesisir pantai. Wajahnya yang merona merah segera ia alihkan.

"Ini sudah siang, seharusnya pasien itu tidak boleh telat makan. Aku akan mengambilkan makanan untukmu". Katanya mengalihkan perhatian.