Dari kejauhan Silvia sesaat melihat kearah dimana Zain tengah duduk dan memainkan gitarnya dengan piawai. Entah mengapa, setiap mendengar petikan gitarnya membuat kenangan yang selama ini tenggelam tak tersisa mencuat sedikit demi sedikit.
'Kau masih sama seperti dulu, bahkan petikan gitarmu tidak ada yang berubah sama sekali. Tapi itu hanya masa lallu Zain. Tidakkah kau tersiksa dengan musik yang kau mainkan?' batin Silvia. Ia yang tidak ingin larut dalam bayangan masa lalu melanjutkan langkahnya menaiki tangga.
Disisi lain, Zain yang melihat Silvia yang keluar dari dapur dan akan menaiki tangga, membuatnya menghentikan tangannya yang sedang memainkan gitar. Ia melihat kearah tangga dan Silvia justru terlihat sedang menghindari tatapannya.
"Apakah kau sedang menghindar dariku Silvia? Bukankah lagu ini yang selalu kau pinta untukku memainkannya dengan gitar ini? Bahkan karenamu aku menjadi seorang musisi. 5 tahun telah berlalu, dan hari inipun hanya menjadi kenangan." Gumam Zain, sambil mencari not yang pas untuk dimainkannya.
Bibi Yun dari arah dapur datang membawa nampan berisi ice coffe buatan Silvia dan menyuguhkannya di meja depan Zain. "Tuan Zain, mengapa anda menghentikan petikan gitarnya? Tadi itu sangat indah di dengar, meski saya sendiri tidak tahu artinya." Ucap Bibi Yun yang terlihat sangat menikmati petikan gitar Zain.
"Saat seseorang yang di harapkan saja tidak ingin mendengarnya, bagaimana aku akan memainkan senar gitar ini? Yang ada hanya sebuah musik tanpa jiwa, karena rasa itu kosong didalamnya." Ucap Zain, ia mengangkat wajahnya dan melihat Bibi Yun yang masih berdiri didepannya.
"Silahkan di nikmati ice coffenya Tuan."
Sesaat Zain tersenyum simpul melihat segelas ice coffe di depannya, ia mengambil dan meminumnya dan itu semakin membuatnya melebarkan senyumnya. Matanya yang teduh melihat kearah tangga, tempat Silvia memandangnya meski hanya sesaat.
'Aku tahu kau takkan semudah itu melupakan apa yang menjadi masa lalu Silvia. Bahkan ice coffe ini saja kau masih ingat takaran seberapa aku menyukai manisnya. Hmm.. aneh, mengapa aku sampai sekarang belum bisa melupakanmu.' Batin Zain.
"Ohya Tuan Zain, mengapa tidak memainkan satu lagu untuk Bibi. Dengan senang hati Bibi akan mendengarnya." Bibi Yun terlihat bersemangat.
"Baiklah, aku akan memainkan satu lagu untuk Bibi. Dan terima kasih untuk ice coffenya, rasanya sangat pas."
Zain kembali menundukkan wajahnya dengan tangan mulai memetik senar gitarnya di temani lirik lagu yang Zain mainkan, cukup membuat Bibi Yun terhibur.
Meksi Bibi Yun tidak mengerti apa yang Zain nyanyikan, tapi Bibi Yun tahu musik itu pasti memiliki makna dalam, seperti memiliki roh tersendiri yang mampu memikat siapapun yang mendengarnya.
Di tengah petikan dan nyanyian yang Zain senandungkan. Ludius yang baru saja datang, mendengar hal itu langsung membuatnya naik darah. Meski ia tidak tahu dengan artinya, tapi ia sangat tahu karena petikan gitar dan lagu yang di mainkan Zain membuat Silvia sampai pingsan, saat pertama kali mendengarnya.
"Zain! Siapa yang memintamu memainkan gitar disini!"
perkataan lantang Ludius langsung menghentikan Zain memainkan gitarnya dan memandang ke arah Ludius. "Tidak ada siapapun yang memintaku untuk memainkannya. Hanya saja saat aku ingin mengunjungimu untuk mengatakan beberapa hal, gitar ini terbawa olehku. Karena sudah telanjur, ya sudah aku mainkan." Jawab Zain santai,
perlahan Ludius berjalan mendekati Zain yang acuh padanya dan berdiri tepat di depan Zain dengan tatapan menahan amarah. Bahkan demi menjaga agar suasana tetap tenang, Ludius mengepalkan tangannya menahan semua amarah yang meluap.
"Katakan! Untuk apa kau melakukan ini. Apakah kau berniat membangunkan masa lalu Silvia yang sudah berhasil dia lupakan?." Tanya Ludius dengan sedikit lirih, ia tidak ingin istrinya mendengar hal ini.
Zain menggeletakkan gitarnya dan ikut berdiri. "Apa yang kau katakan Tuan Lu?. Membangunkan masa lalu Silvia?." Katanya mengulang perkataan Ludius.
"Dengar Tuan Lu, seperti yang kau katakan. Ini hanyalah sebuah musik dan masa lalu. Kau yang menjadi masa depannya untuk apa di takuti? Atau jangan-jangan kau takut Silvia akan berbalik arah kepadaku?!." Ucap Zain yang terlihat seperti sebuah pernyataan.
"Itu takkan mungkin terjadi, karena sampai kapanpun Silvia Zhuan hanya milik Ludius Lu seorang. Tidak akan ada yang bisa megubah takdir itu bahkan petikan gitarmu sekalipun. Jika kau ingin mengatakan hal penting, masuklah ke ruang kerjaku. Bibi Yun yang akan mengantarmu. Aku akan kekamar terlebih dahulu." Ujar Ludius meninggalkan Zain yang masih berdiri terpaku dengan perkataan menusuk Ludius.
"Tuan Zain, mari saya antar anda ke ruang kerja." Ucap Bibi Yun.
Zain meletakkan gitarnya dan mengikuti Bibi Yun yang menunjukkan jalannya.
Disisi lain Ludius langsung naik ke lantai atas dan menuju kamarnya, ia mempunyai firasat kalau istrinya tengah sendiri disana. 'Aku harap kamu baik-baik saja Sayang,' batin Ludius.
Di kamar Silvia tengah berbaring dengan tidur menyamping membelakangi meja rias. Ludius yang baru saja datang langsung duduk disamping Silvia. "Sayang, apakah kau sedang sakit? Ini sudah sore loh.." Ludius membelai surai rambut panjang istrinya.
"Tidak, hanya sedikit lelah seharian di kantor bertemu dengan sekretarismu!." Jawab Silvia agak kasar.
Ludius melepas sepatunya dan ikut berbaring di samping Silvia dengan tangan mendekap lembut perut istrinya. "Maafkan aku Sayang, aku tahu tidak nyaman dengan Bianca." Ucap Ludius sambil mencium kepala istrinya.
"Sudah tahu aku tidak nyaman mengapa kamu masih membuatnya bekerja di bagian sekretaris." Tanya Silvia kasar dan jutek.
"Ada alasan mengapa aku tidak mengusirnya sampai saat ini. Bianca bukanlah wanita sembarangan. Dia mungkin salah satu anggota dari Organisai tertentu karena memiliki banyak insformasi tentang kondisi yang terjadi akhir-akhir ini."
Silvia langsung berbalik arah dan kini ia tepat didepan suaminya. "Jadi maksudmu Bianca adalah mata-mata?," tanya Silvia kaget, soalnya wanita itu terlihat sangat centil saat di depan suaminya.
"Belum tentu, soalnya dia berkali-kali memperingatkanku jika akan terjadi sesuatu di masa depan."
"Oh.." jawab Silvia singkat
Ludius membelai surai rambut istrinya sambil mengecup keningnya. "Sayang, aku harus menemui Zain terlebih dahulu. Kamu istirahat saja dulu Sayang. Nanti kita lanjutin kembali pembicaraan kita."
Silvia hanya mengangguk dan Ludius beranjak dari sisi Silvia dan pergi meningalkan kamar mereka mnuju ruang kerja,
Diruang kerja, Zain masih duduk manis di sofa sambil melihat keadaan ruangan yang klasik dengan foto pernikahan adat Indonesia yang terpajang di bagian dinding belakang meja kerja.
"Ada hal apa kau mencariku setelah beberapa hari tanpa kabar?." tanya Ludius tanpa basa basi.
sepertinya Ludius masih marah dengan apa yang dilakukan Zain.