Chapter 195 - Avamanggala

"Apa benar ini tempatnya?" tanya Karin setelah sampai didepan gerbang rumah siswa yang mereka cari.

"Benar, jika merujuk pada maps yang ditunjukkan oleh Zein" ucap Alisya setelah melihat kembali maps yang ditunjukkan oleh Zein.

"Jangan khawatir, aku sudah mengeceknya beberapa kali dan memang benar itulah alamat rumahnya!" jawab Zein dari balik alat komunikasi mereka.

Karin langsung melakukan pemindaian dengan menggunakan kacamatanya untuk melihat apakah ada orang didalam rumah itu atau tidak, melihat keadaan rumah yang sangat sepi dan tak satupun dari pintu jendela rumahnya yang terbuka. Dari hasil pemindaiannya, Karin melihat ada seorang yang sedang berdiri diruang dapur dan seorang lagi terbaring dikasur di lantai 2.

"Bukankah harusnya tempat ini masih ramai akan pelayat? kenapa tempat ini sudah sesunyi ini" tanya Alisya bingung melihat suasana sepi dan suram dirumah mewah tersebut. Sudah beberapa kali Alisya menekan bel rumah itu, namun tak ada jawaban dari dalam

"Aku ragu jika langsung masuk, sepertinya akan lebih baik jika kita bertanya lebih dahulu kepada tetangga!" Ajak Karin saat Alisya sudah menggedor-gedor beberapa kali namun tak mendapat jawaban.

Setelah berkeliling cukup jauh, akhirnya mereka bisa menemukan seorang tetangga tidak jauh dari rumah itu.

"Maaf bu, numpang tanya!" ucap Alisya meminta izin kepada seorang ibu-ibu yang sedang mengambil jemurannya.

"Iya neng ada apa?" jawabnya dengan begitu ramah.

"Ini bu, kami udah beberapa kali nekan bel pintu rumah itu. Tapi tidak mendapat jawaban orangnya kemana yah bu?" tanya Karin dengan suara yang sopan meski ia tau kalau dirumah tersebut memiliki penghuni di dalam rumahnya.

"Oh... rumah itu toh dek?? kalau siang gini emang sunyi, mereka juga belum bisa nerima tamu. Biasanya sih nggak gitu, tapi karena malam ada Avamanggala jadi ramenya pas malem aja. Nanti malam baru adek balik aja lagi kerumah itu, mereka pasti bakalan buka pintu kok kalau malam dek." jelasnya dengan senyuman yang terlihat ramah.

"Gitu yah bu, kalau boleh tau Avamanggala itu apa yah bu?" tanya Karin tak paham dengan apa yang dikatakan oleh ibu tersebut.

"Aduh, kalau itu saya juga kurang tau neng, soalnya ibu biasanya dengar mereka bilangnya gitu." jawabnya lagi dengan ekspresi yang bingung.

"Ya sudah bu, terimakasih banyak yah..." Ucap Karin sambil berlalu pergi kembali kemotor mereka berdua.

"Avamanggala??? sepertinya aku pernah mendengarnya disuatu tempat. Zein bisa tolong cek apa kepercayaan mereka? maksud aku agama dari siswa itu!" pinta Alisya setelah merasa tidak asing akan apa yang baru saja didengarnya.

"Budha Sya, emang ada apa?" tanya Zein bingung tak paham juga.

"Ya ampun, kenapa aku tak melihat Altar yang berada disamping rumah itu tadi? Pantes saja aku merasa seolah tidak asing mendengarnya." Alisya memukul jidatnya begitu melihat Altar tidak jauh di samping halam rumah itu,

Rumah itu begitu besar dengan halaman yang cukup luas juga dengan banyaknya pepohonan dan bunga-bungaan yang akan terlihat menutupi Altar itu jika dilihat dari arah gerbang rumah. Karena bergaya moderen, Alisya jadi tak menduga kalau mereka adalah keluarga yang beragama Budha.

"Emang apa arti dari Ava... Ava apa tadi?" tanya Riyan yang cukup kesulitan menyebutkan namanya.

"Avamanggala... Itu artinya adalah kebaktian kedukaan, Bentuknya seperti kebaktian bersama dan ceramah. Pada kebaktian ini, orang-orang akan berkumpul untuk menghibur keluarga yang sedang berduka, melakukan gotong royong ketika memasak, membaca paritta yang merupakan bacaan ajaran Buddha, dan ada yang ceramah soal makna perkabungan. Semua kegiatan ini biasanya dilakukan pada malam hari." Terang Alisya setelah mengingat akan maksud dari kata Avamanggala tersebut.

"Oh iya, aku baru ingat juga, biasanya kegiatan wajib mereka lakukan pada hari ke 3, 7, dan hari ke 49. Karena mereka meyakini bahwa arwah yang meninggal masih beredar di bumi selama 49 hari sebelum kealam berikutnya. Ini harusnya ada dalam pelajaran sejarah meski tak dibahas terlalu dalam." jelas Karin menambhakan setelah mendengar penjelasan Alisya.

"Aku merasa pahit sekarang, sekolah yang terlalu berpusat kepada nilai dan kemampuan akademik serta persaingannya yang ketat terkadang membuat kita menjadi tak begitu peduli akan orang disekitar kita. Padahal sekolah kita adalah sekolah umum yang terdiri atas beragam agama yang seharusnya untuk hal seperti ini dapat kita ketahui." Riyan menyesali dirinya yang selama ini tak pernah begitu peduli kepada orang lain.

Sekolah terketat dan terelit di seluruh Indonesia mengajarkan kepada mereka untuk mendapatkan nilai sempurna dan hanya mementingkan orang-orang yang memiliki IQ yang tinggi dan status sosial yang tinggi juga. Mereka jadi tak peduli terhadap apa dan bagaimana orang lain dan bahkan mereka tidak bergaul dengan benar.

"Aku juga sama, tapi Karinlah yang tak pernah berhenti untuk membuka pintu hatiku. Aku merasa masa sekolah kita akan berlalu dengan sia-sia jika kitaa hanya berfokus pada nilai dan status sosial seseorang saja. Kita takkan pernah merasakan indahnya persahabatan, manisnya percintaan dan ketirnya sebuah pertengkaran yang membuat kita semakin mencintai satu sama lainnya." Alisya merasa dunia masih terlalu luas untuk mereka jelajahi jika hanya terpaku dan tidak bersosial dengan baik.

Mendengar kata-kata Alisya, mereka semua tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Mereka merasa menjadi orang yang paling jahat karena tak melihat sisi lain dari orang-orang yang berada disekitar mereka.

"Jadi? apa yang harus kita lakukan?" tanya Karin mencoba mencairkan suasana.

"ehemmm... ada seorang siswa lagi tapi dari sekolah lain namun memiliki kasus yang sama dengan kasus yang sedang kita selidiki, karena dia beragama kristen maka biasanya selama 3 hari dia akan di semayamkan dirumah duka. Aku sudah mencari alamat rumah duka itu dari salah seorang temannya. Aku akan menandainya di mapsmu agar kau bisa mengarah kesana." ucap Zein terbatuk pelan menyadarkan dirinya sendiri.

"Tunggu sebentar, jika siswa itu masih berada di rumah duka maka seharusnya kita memakai pakaian duka. Warna bajuku sudah benar, tapi aku memakai celana Jins biru." Karin dengan cepat melihat kepakaiannya yang berbaju kaos hitam di balut kajet hitam namun memakai warna celana Jeasn yang cukup mencolok.

"Benar. Aku rasa tidak sopan jika kita kesana memakai celan Jeans seperti ini. Bukannya mendapat simpati dari mereka, kita bisa saja diusir karena berlaku tak sopan". Ucap Alisya melihat ketubuhnya yang memakai pakain khusus untuk berkendara.

Tanpa pikir panjang lagi mereka dengan segera menuju ke toko pakaian untuk membeli kemeja dan rok dibawah lutut yang cukup sopan untuk bisa mereka kenakan saat berada dirumah duka.