Chapter 302 - Berkunjung ke Sekolah

Adith dan Karin yang panik karena Alisya yang melarikan diri mencari kesana kemari menemukannya sedang beradu komentar dengan Ayahnya. Karin yang melihat Ayah Alisya berada di sekolah mereka membuatnya bingung dan segera mendekat.

"Paman? Apa yang paman lakukan disini?" tanya Karin menghampiri Ayah Alisya dengan cepat di ikuti Adith.

"Oh, Karin. Sepertinya kau semakin cantik." tegur Ayah Alisya tak menjawab pertanyaan Karin hanya memujinya saja.

"Halo om! Apa ada sesuatu?" sapa Adith cepat menyalami tangan Ayah Alisya.

"Iya, mau minta cu.." sebelum ayahnya melanjutkan kata-katanya Alisya dengan cepat memotong perkataan Ayahnya.

"Cu.. Cuma mau ke ruang kepala sekolah!" Alisya memandang Ayahnya dengan tatapan perang.

"Apa ada yang salah dengan Ayahmu?" bisik Karin kepada Alisya dengan bergumam pelan.

"Yang salah itu adalah kau! Apa yang sudah kau lakukan sampai Ayah di panggil ke sekolah?" Ayah Karin tiba-tiba saja muncul dari belakang Karin yang membuat Karin bergetar kaget.

"Ayah? kenapa ayah juga kemari?" tanya Karin bersembunyi di balik tubuh Ayah Alisya.

"Jangan bersembunyi, kau kan sudah kelas 3 sekarang bagaimana bisa kau membuat masalah?" Sekali lagi Ayah Karin meradang kesal.

"Ayah, sabar dulu. Ayah harusnya mendengarkan aku sebelum marah!" terang Karin terus berusaha menghindar dari sergapan Ayahnya.

"Yah.. Harusnya reaksi seperti ini yang di tunjukkan oleh seorang Ayah." gumam Alisya mengangguk-angguk pelan membenarkan reaksi Ayah Karin.

"Pak Hady, bukankah harusnya anda juga bersikap seperti saya? Saya sangat antusias begitu mendengar bahwa kepala sekolah memanggil saya sebagai orang tua dari siswa." terang Ayah Alisya dengan penuh semangat 45.

"Ya ampun pak Lesham, seharusnya reaksi anda tidak seperti itu. Anda harus memperhatikan apa yang sudah mereka lakukan sampai kita di panggil ke sekolah." protes Ayah Karin kepada Ayah Alisya.

Mereka berdua segera berdebat cukup heboh yang membuat Alisya dan Karin diam-diam ingin melarikan diri dari sana. Begitu Ayah mereka masih terfokus dengan diskusi mereka, Karin dengan cepat mengajak Alisya kabur dari sana.

Alisya juga refleks menarik Adith yang masih terdiam dengan serius menyimak perdebatan Ayah Alisya dan Ayah Karin. Tanpa sadar mereka terus melarikan diri sampai menghilang dari pandangan kedua orang tua mereka.

"Sepertinya kedua orang tua kita di panggil oleh kepala sekolah karena ada hubungannya dengan Citra." terang Karin terengah-engah mengejar lari Alisya yang cukup kencang sampai membuat Adith terlihat seolah-olah ia sedang di seret pergi.

"Sepertinya begitu. Aku rasa hanya kedua orang tua kita saja yang di panggil." terang Alisya tanpa melepas genggaman tangannya pada Adith.

"Sepertinya kau harus melepaskan genggaman mu dulu sebelum berbicara" goda Karin kepada Alisya dengan menaik turunkan keningnya.

"Ah, Maaf!" Alisya dengan cepat melepaskan genggamannya kemudian berbalik ingin pergi karena merasa malu namun Adith malah berbalik menggenggam tangan Alisya dan menariknya hingga Alisya membentur ke tubuh Adith.

"Oke aku tidak melihat apapun." Karin dengan cepat menutup matanya sembari berjalan berlalu pergi meninggalkan Adith dan Alisya memberikan ruang untuk mereka berbicara terlebih dahulu.

"Kalian dari mana saja? kami sudah kelelahan mencari kalian." Rinto dan Yogi muncul mengangetkan Karin yang membuat Adith dan Alisya menjadi salah tingkah.

"Apa kami sudah melakukan kesalahan?" tanya Yogi membalik badan ingin melarikan diri tak ingin mengganggu mereka.

"Karena kau sudah mengganggu kami, bertanggung jawablah dulu." Adith menarik kerah Yogi dengan kesal.

"Ueekkk, Aku hanya mencari Karin dan Alisya yang mendapat panggilan dari kepala sekolah." terang Yogi dengan leher yang tercekik.

"Iya, kalian di minta untuk menghadap ke kantornya sekarang." ucap Rinto kembali mengingatkan Karin dan Alisya.

"Oke, masuk ke tahap klimaks. Hanya dalam satu hari semuanya bisa di selesaikan dengan mudah." Karin dan Alisya saling berpandangan lalu dengan santai menuju ke kantor kepala sekolah.

Disana sudah ada Citra dan teman-temannya yang lain bersama kedua orang tua mereka yang lengkap sehingga ruangan itu terasa penuh oleh mereka.

"Oh, jadi kamu anak kurang ajar yang sudah berani mencelakai anak saya?" seorang Ibu dengan sini sudah menghampiri Alisya dengan cepat.

"Sabar bu, sebaiknya kita bicarakan ini baik-baik!" Ibu Vivian dengan cepat menghalangi ibu tersebut yang sudah siap ingin menghajar Alisya.

"Sabar kamu bilang? memangnya kalau saya sabar tangan anak saya Citra bisa di kembalikan? Dia sudah berani mematahkan tangan anak saya!!" bentak Ayah Citra dengan sangat kasar.

"Iya benar, sabar tidak akan cukup. Karena dia sudah berani mematahkan tangan anak kami, maka tangan dia juga harus dipatahkan keduanya biar tobat. Mata di balas dengan mata." tambah seorang ibu lainnya yang sedang mendampingi Nabilah yang sedang meringis kesakitan.

"Anak ini terlihat sangat kurang ajar, mereka bahkan tak meminta maaf sama sekali saat sudah melakukan kesalahan." tantang Ayah Citra dengan tatapan tajam dan angkuh.

Alisya bisa melihat kalau mereka terlihat cukup memiliki status sosial tinggi jika dilihat dari penampilan mereka serta Jas mahal yang dikenakan oleh orang tua Citra.

"Maaf? untuk apa, kami bahkan tak melakukan kesalahan apapun." ucap Karin mencoba membela diri. Alisya harus mengakui kemampuan acting Karin yang terbilang lumayan.

"Masih nggak berani ngaku? Kau sudah melakukan hal se keji ini kepada Citra." bentak ibunya dengan sangat bengis.

"Sebentar bu, kita juga harus mendengarkan penjelasan dari mereka." jelas ibu Vivian berusaha menjadi penengah mereka.

"Tapi kami memang tidak melakukan apapun kepada mereka, bapak sama ibu bisa tanya saja kepada mereka." tunjuk Alisya kepada Citra.

Citra langsung memperlihatkan ekspresi yang ketakutan begitu ditunjuk oleh Alisya yang membuat ibunya semakin meradang marah.

"Kalian lihat? Citra sepertinya mendapatkan ancaman dari anak itu. Dia jadi tidak bisa berbicara karena merasa ketakutan." terang ibu Citra memeluk anaknya dengan erat.

"Tenang lah ibu-ibu, bapak-bapak. Dokter sekolah sebentar lagi akan tiba sehingga kita bisa memastikan bagaimana kondisi tangan mereka sebenarnya." ucap pak Richard berusaha menengahi mereka.

"Ibu, ini sakit sekali rasanya! Aku nggak sanggup nahan rasa sakitnya." Citra terus meringis sakit di bantu oleh Nabilah dan Davina.

"Dimana kedua orang tua kalian? sepertinya kalian tidak di ajar dengan baik sampai bersikap bar-bar seperti ini." Ayah Citra semakin meradang saat melihat anaknya meringis kesakitan.

"Kami sudah memanggil orang tua mereka berdua. Jangan khawatir, mereka seharusnya sudah tiba sekarang." terang pak Richard.

"Maaf saya terlambat." Dokter Dirga masuk kedalam ruang kepala sekolah bersama dengan Ayah Alisya dan Ayah Karin.

"Selamat datang, silahkan masuk pak!" ucap pak Richard menyalami keduanya dan mempersilakan mereka masuk.

"Dokter, tolong lihat seberapa parah patah tangan anak saya." panggil ibu Nabilah dengan tatapan khawatir.

"Mari kita lihat apakah kalian masih akan mengelak lagi. Sebaiknya anda mengajari anak anda dengan sangat baik sehingga ia tidak bersikap tak tahu etika seperti ini." tegas Ayah Citra yang membuat Ayah Karin dan Ayah Alisya mengerutkan kening bingung.

"Maaf, tapi sepertinya tangan mereka semua baik-baik saja." ucap dokter Dirga menatap aneh dengan sikap Citra dan yang lainnya yang terlihat seolah merasakan kesakitan.

"Apa maksudmu? Jangan-jangan kau juga sudah di bayar mereka untuk berkata seperti itu? anak kami dari tadi meringis kesakitan dan kau bilang tidak terjadi apa-apa? apa kau ini dokter?" serang Ayah Alisya tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Dirga.

"Sekali lihatpun saya bisa menyimpulkan kalau tangan anak kalian semua sama sekali tidak mengalami patah tangan." seru Ayah Karin yang sudah memperhatikan mereka dengan saksama.

"Kau pikir siapa dirimu berbicara seperti itu? kau bahkan bukan seorang Dokter tapi sudah berlagak sombong dengan berkata sekali lihat. hahahaha... jangan bercanda." Ayah Citra tertawa meremehkan.

"Sepertinya anda tidak tahu kalau beliau ini adalah pak Hady Reynand. Dokter senior nomor satu di Indonesia dan terbaik dunia." jelas Dokter Dirga dengan penuh kebanggaan.

Ayah Citra terdiam dan membeku mendengarnya.