Chapter 347 - Amnesia Psikogenik

Adith masuk dan menaruh jasnya pada tiang gantung yang berada tak jauh dari pintu masuk ruangannya. Melihat kedua temannya sedang berada di ruangannya membuat Adith sedikit merasa canggung karena sudah lama tak bertemu dengan mereka sedang ekspresinya tetap saja datar. "Baru kembali dari Amerika kau sudah kembali bekerja lagi? Tidakkah kau terlalu gila bekerja? Bahkan dari sini pun kau masih mengerjakan urusan kantor?" Riyan mengangkat file-file yang terlihat berbeda dari atas mejanya yang bukan merupakan rekam medis dari para pasien. "Apa yang kalian lakukan disini?" Tanya Adith dingin tak peduli dengan kedatangan mereka berdua. "Ayolah Dith, kami disini karena sudah lama tak bertemu dengan dirimu. Kau bahkan tak pernah menghadiri reuni yang selalu kita adakan dalam 5 tahun terakhir ini." Zein menatap Adith dengan tatapan memohon. "Aku tak tertarik dengan hal seperti itu." Ucap Adith masih dengan ekspresinya yang sedingin gletser di kutub Utara. "Apa karena kau masih memikirkan Alisya? Bukankah kau tahu Alisya melarikan diri darimu setelah mengetahui semua kenyataan mengenai dirimu? Alisya tak-kan pernah kembali lagi Dith!" Tegas Riyan mulai kesal dengan sikap keras kepala Adith. "Kau…" Adith tiba-tiba terhenti dan tak bisa melanjutkan kata-katanya. "Tok tok tok.." suara pintu diketuk mengalihkan pandangan mereka. Seorang wanita dari anak pasien yang baru saja diperiksanya masuk dengan sesuatu yang cukup besar berada di kedua tangannya. Adith yang sebelumnya terlihat sedikit marah dengan apa yang dikatakan oleh Riyan menjadi kembali berusaha memasang ekspresi datar begitu melihat wanita tersebut masuk. Menarik nafas dalam untuk mengatur suasana hatinya Adith menatap wanita itu sedikit tajam "Ada yang bisa saya bantu?" "Ah.. ini dok, ibu saya ingin memberikan hadiah ini sebagai ungkapan terimakasih nya." Nada suaranya sangat lembut dan membuai. "Kalian tidak perlu melakukan hal seperti ini. Bukankah sudah aku bilang bahwa ini merupakan tugas dari seorang dokter? Aku akan merasa terbebani jika menerimanya." Tegas Adith dengan suaranya yang dingin. "Tapi dok, saya harus bilang apa ke ibu saya kalau dokter tega menolak pemberian yang sudah susah payah dia kerjakan?" Ucapnya dengan suara gugup dan sedikit parau karena kecewa. Adith menarik nafas dalam mendengar ucapannya "Maafkan aku, tapi aku benar-benar tidak bisa menerimanya. Sampaikan saja ucapan terima kasihku padanya."  Wanita itu akhirnya mengangguk pelan dan keluar dari tempat ruangan Adith dengan ekspresi kecewa karena tak berhasil melaksanakan rencananya untuk selangkah lebih mendekatkan diri dengan Adith. "Tidak kah kau terlalu menutup diri?" Zein berbicara setelah mendengar wanita itu melangkah pergi. "Yang dia pikirkan hanyalah Alisya yang bahkan ia tak ingat wajahnya." Riyan terus saja menyinggung nama Alisya dihadapan Adith. "Apa yang kau ingin sebenarnya dengan terus menyinggung ku seperti itu?" Adith yang terus berusaha menahan kesabarannya karena menganggap mereka berdua temannya pada akhirnya tidak mampu menahan diri lagi. "Kau tau kami peduli tentangmu bukan? Kami hanya tak ingin kau terus-terusan dalam keadaan seperti ini, terus memikirkan Alisya yang bahkan tak tahu rimbanya." Jelas Riyan yang menginginkan agar Adith bisa move on dari Alisya. "Sepertinya sudah saatnya kau tahu kejadian yang sebenarnya." Tambah Riyan lagi mulai tak sabar dengan sikap Adith. "Riyan!" Zein dengan cepat menghentikan apa yang akan dikatakan oleh Riyan kepada Adith. "Sebaiknya kita pulang saja, berikan dia waktu untuk berpikir. Seiring berjalannya waktu, aku yakin dia bisa melupakan Alisya perlahan-lahan." Zein langsung melangkah pergi memegang gagang pintu ruang kantor Adith. "Sampai kapan Zein? Ini sudah lima tahun dan dia masih saja dalam keadaan seperti ini? Tidak menerima kenyataan yang sebenarnya?" Riyan mulai tak bisa mengendalikan diri lagi. "Riyan cukup! Kau taukan ini tidak mudah baginya." Zein sekali lagi memperingati Riyan namun Adith mulai terpancing akan maksud lain yang sedang dikatakan oleh Riyan. "Apa maksudmu? Apa kalian memiliki sesuatu yang sedang kalian sembunyikan dariku?" Tanya Adith penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Riyan. "Bukan apa-apa. Riyan hanya kesal dengan sikapmu yang masih terus saja memikirkan Alisya sampai saat ini hingga menutup diri dengan semua wanita yang datang menghampiri mu." Zein dengan cepat mengubah topik pembicaraan mereka dan menarik paksa Riyan keluar dari ruang Adith. Melihat Zein dan Riyan yang pergi meninggalkan kantornya tidak membuat Adith melupakan apa yang sudah di katakan oleh Riyan. Bagi Adith, Riyan pasti memiliki maksud lain dengan peringatan yang diberikannya namun Adith tidak bisa menemukan titik temu pada ucapannya. "Apa yang kau lakukan sebenarnya?" Zein menatap Riyan dengan tatapan kesal dengan sikap Riyan terhadap Adith. "Aku hanya kesal dengan sikap dia yang masih tak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya bahwa Alisya sudah lama meninggal dalam ledakan itu." Terang Riyan dengan menggertakkan giginya menahan rasa kesalnya. "Kau ingatkan terakhir kali dia mendengar mengenai kematian Alisya 5 tahun yang lalu? Karena terlalu shock, dia hampir kehilangan nyawanya. Butuh waktu baginya untuk bisa menerima kenyataan itu." Jelas Zein dengan tetap bersikap tenang terhadap sikap Riyan. "Aku tau, tapi ini sudah cukup lama. Dan dia sekarang bukanlah Adith yang seorang anak SMA lagi, dia bahkan sudah menjadi dokter spesialis syaraf muda ternama. Sudah matang usianya untuk bisa menerima semua kenyataan itu." Tegas Riyan kembali dengan suara berat. Riyan sebenarnya sangat peduli dengan apa yang sedang terjadi pada Adith. Dia tidak ingin Adith terus-menerus terpuruk dengan kepergian Alisya tanpa tahu kebenaran mengenai Alisya yang sudah meninggal dalam ledakkan gudang 5 tahun lalu saat mencoba menyelamatkan Adith. 5 tahun lalu. Adith yang terbaring lemas kembali tersadar setelah beberapa hari tidak sadarkan diri. Kepalanya yang masih pusing dan berkunang-kunang membuatnya kesulitan untuk mengenali keadaan di sekitarnya. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?" tanya ibu Adith begitu melihat Adith sudah sadarkan diri. Dengan suara berat Adith hanya memegang kepalanya yang sakit dan dadanya yang sesak. Seberkas ingatan yang memilukan tergambar jelas di kepalanya membuatnya penuh amarah juga kesedihan yang tak tertahankan. "Alisya? Bagaimana dengan Alisya? Alisya baik-baik saja kan ma? Alisya dia…" Adith langsung mengacau dengan terus menanyakan keberadaan Alisya. Melihat ibunya yang hanya diam dan jatuh melemas dalam pelukan Adith serta menangis dengan kencang. Dari tangisan ibunya Adith bisa paham akan apa yang sudah terjadi pada Alisya. Adith yang tak bisa menahan rasa sedihnya kembali jatuh pingsan. Karena shock yang diterimanya, Adith menjadi trauma yang menyebabkan ia mengalami Amnesia Psikogenik dengan melupakan hal yang paling ditakutinya yaitu meninggalnya Alisya.