Chapter 387 - 7 Tahun, 7 Jam dan 7 Hari

Setelah mendapatkan hasil pemeriksaannya, Adith akhirnya pulang ke rumahnya bersama Yogi dengan ibunya serta Alisya yang sudah menyambutnya datang. Ibu Adith sengaja tak menjemput Adith karena ingin menghidang kan makanan kesukaan Adith yang sudah tertidur selama beberapa hari dan tidak makan. "Kenapa kamu berada disini? Bukankah kau harusnya menungguku di apartemen?" Adith yang berencana akan ke apartemennya setelah dari rumah kedua orang tuanya kaget melihat ada Alisya disana. "Mama ingin masak bersamaku, jadi aku segera meluncur kemari. Lagi pula kamu juga baru keluar dari rumah sakit, jadi beberapa hari ini kita dirumah Mama saja dulu." Terang Alisya dengan senyuman hangat langsung menarik tangan Adith masuk. "Apa aku akan terusir begitu saja?" Yogi merasa sakit saat dirinya tak diperhatikan. "Oh, masuklah! Kami membutuhkan orang untuk mencuci piring selepas makan nanti." Panggil Adith mempermaikan Yogi. "Apa sekarang zaman makan gratis berarti harus bekerja keras dulu?" Yogi terdengar menangis dari suaranya. "Tentu saja, zaman gini mana ada yang gratis!" Seru Alisya cepat yang membuat ibu Adith tertawa pelan. "Masuklah nak, makan bersama kami dulu!" Panggil ibu Adith setelah memukul Adith dan Alisya dengan pelan karena kejahilan keduanya. "Hanya bibi yang bisa memahami hatiku dengan baik" Yogi memeluk ibu Adith dengan manja. Meski tau keduanya hanya bercanda, hati Yogi merasa sedikit perih melihat tingkah jail keduanya. Seperti itulah persahabatan, kita v seolah tak memiliki hak untuk merasa sakit hati meski perih. Setelah selesai makan, Yogi dan Ayah Adith segera berkumpul di ruang keluarga untuk menonton pertandingan bola. Ibu Adith sedang menyiapkan makanan dan minuman ringan untuk menemani mereka sedang Alisya sedang mencuci piring. "Kau belum selesai?" Adith langsung menaruh dagunya ke bahu Alisya dengan manja. "Adith apa'an sih, malu tau. Tinggal bilas kok!" Alisya berusaha meloloskan diri karena malu dilihat oleh kedua orang tua Adith dan Yogi. "Loh kenapa? Kamu kan istriku." Adith mengatakannya dengan tegas. Alisya hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Adith yang kini terdengar lebih alami. "Sini, biar aku yang lanjutkan." Adith segera menghentikan tangan Alisya untuk melanjutkan pekerjaannya membilas piring dan menggantikan Alisya. "Nggak apa-apa, tinggal dikit lagi kok!" Seru Alisya menolak tawaran Adith. "Benarkah? Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukannya seperti ini." Adith langsung berdiri dibelakang Alisya. Adith mengulurkan tangannya dan menempelkannya ke kedua tangan Alisya untuk membantunya mencuci piring. Adith membuat wajah Alisya langsung memerah dan panas. Melihat Alisya masih bertingkah biasa saja, Adith tersenyum simpul lalu menunduk ke bahu Alisya dan mengecup bahunya dengan lembut kemudian menggigitnya. "Akh, A… Adith? O.. oke, kamu boleh lanjutkan!" Tubuh Alisya bergetar hebat sesaat seolah asam lambungnya meletup-letup kan perasaan aneh dan kejutan listrik mengaliri tubuhnya. Alisya berbalik namun Adith masih menghalanginya dengan kedua tangannya. "Lain kali, jika kau tidak patuh maka aku akan melakukannya dengan lebih…" tatapan mata Adith yang bagaikan serigala lapar membuat jantung Alisya akan meledak setiap detakkannya. "Mama?" Panggil Alisya yang membuat Adith berbalik dan melonggarkan pertahanannya membuat Alisya bisa meloloskan diri.  Adith tertawa cekikikan melihat sifat Alisya yang menggemaskan. Tak pernah puas dia menggoda Alisya terlebih karena mereka sudah terpisah untuk waktu yang lama. "Berhenti menggodanya dan segera buatkan aku cucu!" Suara ibunya membuat Adith menjatuhkan piringnya di atas westafel. "Mama melihat semuanya?" Adith merasa malu ketika tau ibunya melihat tingkahnya tadi. "Melihat apa? Aku hanya melihat wajah Alisya yang memerah dan mengipas-ngipas wajahnya saat berlari dari dapur. Aku pikir ada apa, melihat kau ada disini dengan menyeringai jahat membuatku paham kalau kau sudah melakukan sesuatu pada Alisya." Ibu Adith datang untuk menambahkan minuman untuk kedua orang yang sedang asik nonton. "Hahhaahhaha…" Adith tertawa canggung dan bernafas legah. "Apa kalian sudah melakukannya?" Ibu Adith langsung mendekati Adith dengan penuh antusias. "Ohokk.. ohokkkk!" Adith terbatuk-batuk karena salah menelan ludahnya sendiri. Kali ini piring di tangannya hampir jatuh ke lantai. "Loh kenapa sih? Kalian kan sudah suami istri. Sini biar ibu lanjutkan. Kamu naiklah ke atas. Yogi dan ayahmu biar Mama yang urus. Lagi pula suara pertandingan bola itu cukup ribut." Ibu Adith segera mendorong Adith dengan satu seggolan pinggul Adith sudah meluncur ke sisi lain. Adith masih berdiri kaku tak tahu harus bagaimana, namun mendapatkan dukungan dari ibunya membuatnya semakin malu dan tak bisa melakukan apapun. "Kamu kenapa masih berdiri disitu? Sudah sana naik. Kalau perlu buat yang banyak sampai pagi." Ucap ibu Adith dengan begitu vulgarnya. Kepala Adith meledak dengan perkataan ibunya. "Ma.. dikira kue bisa cetak banyak dan jadi dalam satu malam?" Adith mendengus kesal karena bagaimanapun juga dia masih cukup malu membahas hal seperti itu dengan orang lain. "Kalau tau bikinnya lama kenapa kamu masih menahan diri terus? Atau kamu nggak yakin sama itu?" Ibu Adith sengaja memanas manasi Adith dengan lirikan mata menunjuk ke arah bawah. "Astaghfirullah Ma… istighfar!" Adith segera pergi dengan wajah merah dan kepala yang panas. Adith menyerah karena tak bisa berdebat dengan kata-kata ibunya. Melihat Adith menaiki tangga dengan ekspresi aneh, Ayah Adith datang menghampiri istrinya yang menyelesaikan bilasan piring yang tersisa beberapa saja. "Sepertinya kau sudah melakukan sesuatu pada anak itu." Ayah Adith melihat seringai istrinya yang tampak licik. "Kenapa kemari? Apa pertandingannya sudah selesai?" Ibu Adith tersenyum simpul melihat suaminya datang. "Yogi mendapatkan telpon dan terpaksa pulang, saya tidak suka nonton sendiri. Cepat selesaikan pekerjaanmu dan temani aku." Ucap Ayah Adith yang tidak terdengar sebagai perintah melainkan permintaan. "Baiklah, aku akan menemanimu setelah membersihkan tanganku." Ibu Adith mencari handuk untuk melap tangannya yang basah namun tidak ditemukannya. Ayah Adith yang melihat lap di sebelahnya datang menghampiri istrinya dan membersihkan tangannya yang basah. Saat istrinya menunduk untuk melihat tangannya, suaminya mengecup hangat dahi istrinya. "Kau selalu saja tau untuk bersikap romantis." Ibu Adith memeluk suaminya dengan sangat erat. "Karena dengan begitu rasa cintamu padaku takkan pernah pudar, iya kan?" Tanya suaminya sembari membelai lembut rambut istrinya. Ibu Adith mengangguk pelan dengan penuh syukur. Meski mereka sudah menikah selama hampir 30 tahun, keharmonisan keduanya tak pernah hilang. Ayah Adith sangat mencintai istrinya yang terus menemaninya di setiap masa sulit. Adith yang berdiri di balkon rumahnya menatap langit malam berbintang yang nampak indah dan cerah membuatnya terus mengingat perjalanan waktu yang sudah dia lalui tanpa kehadiran Alisya disisinya. "Puuffftt, hatiku terlalu lemah tanpamu Sya!" Adith berbalik badan dan menyandarkan pingganya ke balkon kamarnya. Tepat saat itu, Alisya yang tak tahu kalau Adith sedang berada disana keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk lain. Alisya yang hanya memakai sehelai handuk dengan tubuh dipenuhi dengan titik-titik air membuatnya tampak indah melebihi rembulan yang ditemani cahaya bintang. "Kau tampak sangat seksi jika seperti ini." Adith memeluk Alisya dari belakang. Mencium aroma tubuh Alisya diantara bau sabun yang sangat harum. "Kau sudah mandi?" Alisya bertanya dengan memeluk erat tangan Adith.  "Sudah, tapi aku ingin mandi bersamamu setelah kita melakukannya." Adith mengangkat tubuh Alisya ke atas ranjang. Melihat ekspresi aneh Alisya saat Adith menempatkannya di atas ranjang membuat Adith khawatir. "Kenapa? Aku melukai tubuhmu?" Tanya Adith panik karena Alisya tak pernah menunjukkan ekspresi kesakitan dihadapannya. "Pe.. perutku keram." Alisya meringkuk memegang perutnya yang keram. "Lampu merah?" Tebak Adith yang langsung di anggukkan cepat oleh Alisya. "Ya ilahi robbi….. aku nunggu 7 tahun, nahan 7 jam sekarang harus sabar lagi selama 7 hari." Adith menepok jidatnya dengan keras. Alisya hanya bisa tertawa di tengah sakit yang dirasakannya. Meski mengeluh, tak tahan melihat Alisya kesakitan membuat Adith dengan sabar memberikan pijatan lembut perutnya hingga pagi hari.