Chapter 390 - Licin Amat

"Ayo, ayo… pak polisi pelaku pelecehannya ada disana." Anak-anak yang berlarian sebelumnya kembali membawa seseorang. "Oke, Oke! Pelan, pelan. Nanti kalian jatuh dan terluka." Ucap orang itu dengan sangat khawatir. "Nanti pelakunya melarikan diri pak polisi." Tarik yang lainnya ingin segera sampai kehadapan Akiko. Saat mereka sampai, Karan baru saja selesai melepas ciumannya kepada Akiko dan masih memeluk tubuhnya dengan erat. "Itu dia pelakunya!" Tunjuk mereka secara bersamaan kepada Karan yang masih melingkarkan erat tangannya pada pinggang Akiko. "Ayah polisinya?" Karan begitu terkejut melihat kalau yang dibawa oleh mereka adalah Ayahnya. Melihat situasi canggung diantara keduanya dan tangan Karan, Ayahnya paham akan apa yang baru saja terjadi. "Jadi kau sudah melakukannya dengan baik." Ayah Karan menghampiri anaknya dan menepuk pundaknya penuh rasa bangga. "Kenapa Ayah juga ikut-ikutan bermain peran dengan mereka?" Tanya Karan sambil meringis sakit karena pukulan keras Ayahnya. "Hah? Apa kau tidak tahu kalau hari ini adalah hari anak nasional?" Ayahnya kembali bertanya kepada Karan. "Hari anak Nasional? Jadi karena itu kalian semua terlihat menuruti semua keinginan mereka?" Tanya Karan tak percaya kalau Ayahnya juga bisa bersikap seperti kekanakkan. "Dasar bodoh, itu karena kau tak nikah-nikah dan sampai sekarang aku masih tak mendapatkan cucu." Bentak Ayahnya dengan kesal yang langsung membuat orang-orang disekitar mereka tertawa lucu. "Anak-anak tangkap dan berikan hukuman pada penjahat itu." Alisya kembali memerintahkan mereka yang langsung dengan cepat mereka menyerbu Karan hingga terjatuh ke lantai.  Mereka menghujam Karan dengan semua alat yang ada di tangan mereka untuk menghukum Karan dan menindihnya hingga Karan terus tertawa geli karenanya. "Jadi, apakah kau siap untuk menerima anak saya?" Ayah Karan bertanya dengan serius kepada Akiko. Akiko yang terdiam dengan pertanyaan ayah Karan serta aura serius yang menyebar membuat anak-anak itu ikut berhenti dan terdiam mendengar jawaban dari Akiko. "Ada apa?" Tanya seorang anak tak mengerti dengan situasinya. "Sussttt… jangan ribut, polisi sedang mengintogasi kak Akiko." Seorang anak lain dengan cadelnya menghentikan temannya untuk tidak bersuara. "Mengin tro gasi dek…" Karan mencoba untuk membenarkan. "Diam. Plakkk!" Tamparan keras mengenai pipi Karan. "Penjahat nggak boleh ngomong kalau nggak di izinin." Bentak yang lainnya dengan tatapan tajam. Karan seolah merasa dirinya benar-benar penjahat sampai harus mendapatkan tamparan dari tangan yang mungil. "Sialan ni bocah2! Masih kecil udah ganas gini, gimana besarnya?" Batin Karan sambil mengelus-elus pipinya yang terasa perih di satu titik kecil. "Baiklah, kamu tak perlu menjawabnya sekarang. Masih ada waktu banyak untuk mu berpikir." Ayah Karin tidak ingin memberikan beban kepada Akiko karena pertanyaanya. "Tidak Om… Aku.." Akiko menatap Karan dan ragu-ragu. Alisya masih belum ingin terlibat karena ia ingin agar Akiko bisa lebih jujur juga dengan perasaannya kepada Karan dan membiarkan Akiko untuk memberanikan diri. "Anak-anak, aku bukannya penjahat." Karan mencoba menjelaskan kepada mereka dengan suara lembut. Tatapan mata Karan terhadap Akiko membuat mereka sedikit gundah. "Kakak mencintai kak Akiko?" Seorang anak laki-laki bertanya dengan polosnya. "Kau masih kecil tapi sudah tau hal seperti ini?" Karan merasa anak-anak ini sudah salah dalam memilih tontonan. "Aku sering liat ayah menatap ibu seperti tatapan kakak ke kak Akiko. Dan setelah aku tanya katanya itu karena ayah mencintai ibu. Itu artinya kakak juga sepeti itu kepada kak Akiko." Anak itu menerjemahkan nya dalam bentuk yang sederhana membuat Karan merasa gemas. "Bisa dibilang seperti itu." Kara bangkit dari posisinya dan dengan setengah menunduk dia segera membisikkan sesuatu kepada anak-anaknya itu. Mereka dengan ceria kembali berhamburan kekiri dan kekanan. Wajah ceria mereka membuat Alisya, Akiko dan Ayah Karin bingung. "Apa yang mereka lakukan?" Tanya Akiko kebingungan. "Ajaran sesat apa lagi yang kau lakukan pada mereka?" Tatap Ayah Karin dengan pandangan menuduh kepada Karan. Karan hanya berdiri mematung dan tersenyum menunggu anak-anak itu kembali. "Woyy… kalian mau kemana?" Alisya menangkap salah seorang anak namun lepas seperti ikan lele yang sedang kegirangan. "Licin amat!" Batin Alisya takjub dengan pergerakan anak-anak itu yang sedang menggila. Dua menit kemudian mereka kembali dengan teriakan heboh khas anak-anak. Karena kehebohan mereka, semua orang jadi berkumpul untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi saat itu. Anak-anak itu segera berjejer satu persatu dengan bunga yang berbeda-beda ditangan mereka satu persatu membentuk pagar menuju ke arah Akiko. "Ehhh?" Ayah Akiko di depak dengan satu dorongan dari anak-anak itu agar tak menghalangi jalan Karan. "Dalam satu detik anak-anak itu sudah berubah pilihan. Mereka suka sekali melakukan sesuatu yang baru bagi mereka." Gumam Alisya yang membuat Ayah Karin teriris karena ia selalu jadi Favorit anak-anak itu ketika bermain. "Apa yang akan dilakukan anak bodoh itu sebenarnya?" Maki Ayah Karin melihat tingkah anaknya yang masih berdiri hingga anak-anak itu siap di posisinya masing-masing. "Calon laki-laki disyilahkan mengambil tyempat" seorang anak dengan suara nyaring dan cadel memulai perannya. Karan berjalan dengan setiap langkah berhenti untuk mengambil bunga yang disodorkan oleh para anak-anak. Akiko masih belum paham dengan peran yang sedang dimainkan oleh Karan. Secara perlahan dan pasti, tangan Karan semakin dipenuhi oleh bunga dan semakin dekat dengan Akiko. "Ehemm… Nona Akiko!" Karan berkata dengan lantang. Semua orang sangat menikmati pertunjukan ini seolah mereka sedang melihat pementasan drama romantis. "Y… Ya?" Jawab Akiko dengan gugup. "Maukah kau menikah denganku? Berada di dekatku dan berjalan di sisiku baik susah maupun duka dan juga bahagia? Bersama menjalani kehidupan ini hingga tua bersama-sama? Maukah kau melahirkan anak-anak manis seperti mereka dan sebanyak mereka?" Karan berkata dengan lembut penuh wibawa dan kata-kata yang lancar. Karan lalu menyodorkan bunganya kepada Akiko dengan penuh harap. Akiko terperanjat kaget tak percaya. Ia menampar pipinya sendiri karena masih berpikir kalau ia sedang mimpi dan kakinya melemas hampir jatuh. "Jangan tampar lagi, kau sedang tidak bermimpi saat ini. Bukankah aku sudah mengatakannya tadi? Aku harap kau mau menjawabnya sekarang." Bisik Karan kepada Akiko dengan tatapan penuh kasih. "Aku mau!" Akiko langsung memeluk Karan dengan erat membuat Karan tertawa bahagia dan memeluk tubuh Akiko, mengangkatnya dan berputar 360 derajat dengan penuh bahagia. Anak-anak bersorak sorai dengan penuh ceria melihat apa yang mereka lakukan berhasil. Alisya langsung bertepuk tangan dengan semangat di ikuti oleh seluruh orang yang berada dirumah sakit itu. Ayah Karan tersenyum-senyum penuh haru melihat Karan yang akhirnya bisa membuka diri setelah sekian lama menutup diri.