Chapter 451 - Aura "Anak Kecil Berumur 5 Tahun"

Kejadian yang menggemparkan dunia itu membuat semua negara bersatu dalam memberikan bantuan penyelamatan dengan mengirimkan kapal angkatan laut mereka menuju ke laut sekitar gunung Yamanagi. Semua penumpang kapal pesiar akhirnya dinaikkan menuju semua kapal angkatan laut yang ada untuk diberikan beberapa penanganan dan pengobatan. "Kalian semua sudah bekerja keras!" Ucap Ayah Alisya melihat Alisya dan teman-temannya kembali ke kapal angkatan laut. "Kap… ehem,,, Apa yang harus kita lakukan? kalian diminta untuk segera keruangan tengah untuk melaporkan semuanya." Rendy yang hampir saja menyebut Alisya sebagai kapten membuatnya sedikit terbatuk pelan. "Biar Riyan yang menyelesaikan semuanya. Kita tidak usah terlibat dalam memberikan laporan. Ingat identitas kita tidak boleh diketahui oleh siapapun." Alisya segera berkata dengan cepat begitu melihat seorang petinggi dengan beberapa pengawalnya datang menghampiri mereka semua. Mereka langsung mencoba untuk bersikap tak berdaya dengan saling memperhatikan satu sama lainnya. "Tuan Lesham, menantu anda sangat luar biasa karena berhasil menyelamatkan banyak orang. Kami sangat membutuhkan laporan darinya mengenai apa yang sebenarnya terjadi di atas kapal." Ucapnya berjabat tangan dengan Ayah Alisya. "Terimakasih atas sanjungannya Kolonel, tapi sepertinya yang berhak mendapatkan itu adalah Letnan Riyan." Ucap Ayah Alisya menunjuk kepada Riyan yang terlihat basah kuyup. "Benar, kami hanyalah salah seorang dari para penumpang kapal yang berhasil diselamatkan olehnya." Tambah Adith meyakinkan Kolonel. "Tentu saja, kami sudah memperhitungkan hal tersebut. Tapi berkat bantuan dari menantu Tuan beserta teman-temannya sehingga Letnan Riyan mampu menyelesaikan semua ini dengan baik." Terang Kolonel tersebut mengucapkan rasa terima kasihnya. "Kenapa kalian tega sekali melakukan ini padaku?" Riyan menatap Rinto dan Karan penuh amarah kepada dua orang tersebut. "Diamlah, apa kau tidak lihat Kolonel mu sedang menatapmu sekarang?" Rinto mengingatkan Riyan begitu mereka tiba di atas kapal. Tanpa aba-aba lagi Riyan langsung memberi hormat dengan tubuh yang basah kuyup. Dia pun akhirnya segera dibawa pergi menuju ke dalam untuk melakukan perawatan lebih lanjut. "Sekarang semuanya sudah baik-baik saja!" Alisya menurunkan anak kecil tersebut dari pelukannya. "Uwaaahh… uwaaaaahhh.. uwaaahhh!" Anak itu menangis dengan histeris. Alisya kebingungan dengan apa yang di lakukan oleh anak tersebut sebab sebelumnya bahkan dalam keadaan yang paling genting dan paling berbahaya sekalipun anak itu tak bersuara bahkan tak menangis sedikitpun. "Kenapa kau menangis?" Adith duduk setengah berlutut menyamakan posisi mereka agar bisa memandang anak kecil itu. Anak perempuan itu tak berhenti menangis dengan tersedu-sedu yang membuat Alisya kembali memeluknya dengan sangat khawatir. "Apa ada yang luka dengan tubuhmu?" Tanya Alisya dengan suara lembut yang di jawab dengan gelengan kepala oleh anak tersebut. "Kalau begitu kenapa kau menangis? Apa kamu merindukan ibumu? Aku akan membantumu menemukan ibumu." Ucap Adith dengan penuh kelembutan. Anak kecil itu tak menjawab dan hanya terus menangis tersedu-sedu dipelukan Alisya. Mereka kemudian memberikan waktu kepada anak perempuan itu untuk terus menangis hingga ia merasa tenang. Mereka semua menunggu dengan sangat sabar agar bisa mengetahui apa yang sedang dirasakan oleh anak kecil tersebut. Tak ada satupun dari mereka yang bertanya lagi kepada anak itu. "Bagaimana, kamu sudah tenang sekarang?" Tanya Alisya ketika melihat anak itu tak lagi menangis. Anak kecil itu mengangguk pelan sembari menyapu air matanya dibantu oleh Alisya.  "Sekarang kau jangan menangis lagi yah.. Oh iya, nama kamu siapa?" Tanya Adith dengan suara yang lembut kepada anak yang bisa ia taksir baru berusia sekitar 5 tahunan tersebut. "Nama aku Aura… hik hik" ucapnya masih tersedu-sedu dengan suara serak. "Aura yah, nama yang cantik. Kamu masih ingat siapa nama ibu atau ayahmu?" Tanya Alisya agar dapat membantu Aura menemukan kedua orang tuanya. "Ayahku kapten kapal pesiar itu, dia mati karena berusaha melindungiku dari serangan monster. Sedangkan ibu, aku tidak melihat ibuku. Kami terpisah saat ibu masih di kamar menyusui adikku." Ucapnya dengan sangat lancar. Alisya dan yang lainnya tercengang mendengar ucapan tegar dari seorang anak kecil perempuan yang masih sangat belia tersebut. Dia begitu tegar bahkan sampai saat dia masih dalam keadaan sedih dia berusaha untuk tidak menangis dan terus berusaha untuk mencari ibunya. "Jadi kamu menangis karena kamu kehilangan ayahmu? Apa kamu benar-benar melihat ayahmu mati?" Karin akhirnya duduk disamping Aura dengan penuh simpati dan rasa takjub. "Karena aku anak pertama, aku sudah janji pada Ayah untuk tidak boleh menangis dan harus mencari ibu. Kata ayah aku tidak boleh menangis sampai bisa menemukan Ibu dan Adikku." Ucap lagi yang langsung membuat mereka semua merasakan sakit hati yang amat mendalam. "Bagaimana mungkin anak seumur ini memikul beban sebesar ini? Saat aku menemukannya dia tidak memperlihatkan ekspresi takut sekalipun dan terus berusaha tegar hingga aku merasa khawatir padanya." Pikiran Alisya tersampaikan kepada semua teman-temannya. "Dan sekarang kapalnya sudah meledak, berarti ibu dan adik sudah pergi bersama ayah." Kata-kata polos anak itu sontak membuat lutut Adora melemas jatuh dan Aurelia tertunduk dalam di pelukan Yogi. Mereka semua merasakan amarah dan sakit hati serta kepedihan yang tiada tara. Seorang anak perempuan yang begitu kuat dan luar biasa meski dengan tubuh dan usianya yang sangat belia seolah mampu memahami kejamnya dunia dengan begitu luar biasa. "Aku tidak menepati janjiku kepada ayah untuk tidak menangis dan menemukan ibuku, tapi setidaknya aku bisa menepati janjiku yang satunya lagi." Dia mulai terlihat sedikit lebih tenang meski tatapan mata polosnya masih dipenuhi dengan kesedihan. "Janji apa?" Suara Alisya semakin serak yang membuat Adith mengelusnya dengan lembut. "Untuk tidak terluka, Terimakasih kak. Kakak sudah membantuku untuk menepati janji itu." Ucapnya dengan tatapan polosnya yang membuat hati Alisya remuk. Otaknya masih tak percaya ada anak kecil yang bisa bersikap sedewasa itu. Alisya tak bisa mengerti apa yang sudah diajarkan kepadanya sampai dia memiliki sikap setegar itu. "Aura? Ya allah.. Kamu Aura kan? Alhamdulillah kamu selamat nak…" seorang Abk kapal pesiar itu tampak terduduk di samping Aura dan memeluknya dengan erat.  "Paman.." panggil Aura kepada pria itu, meski matanya kembali berkaca-kaca ia dengan cepat menghapus air matanya. "Bu… ibu Syin… Bu Syin.. Aura selamat bu!!!" Pria itu berteriak dengan suka cita memanggil orang yang mungkin saja menjadi ibu dari Aura. Bukan hanya Aura saja, Alisya dan yang lainnya pun langsung terkejut melihat ke arah dimana ada seorang ibu yang tengah sibuk mencari seseorang dengan wajah paniknya. "Ibuuuuuuuu!!!!" Teriak Aura dengan suara yang sangat keras berlari menuju ibunya.  Ibu Syin yang melihat Aura berlari ke arahnya dengan pasrah jatuh bertekuk lutut menunggu anaknya masuk ke dalam pelukannya. Dia mencium Aura dengan sangat banyak bahkan tak menyisakan sedikit ruang yang terlewatkan di wajah anaknya. Semua orang yang melihat hal tersebut menjadi begitu haru dan tak bisa menahan air mata mereka. Karin yang sedari tadi berusaha untuk menahan air matanya akhirnya memalingkan wajah dengan air mata yang tumpah. "Terimakasih banyak karena sudah menyelamatkan anak saya. Dia sudah menceritakan semuanya kepada saya." Ibu Aura menghampiri Alisya dan yang lainnya saat merasa sudah cukup tenang. "Tidak bu, saya sangat bersyukur bisa menyelamatkan anak sebaik dan secerdas dia. Jika saya tidak menyelamatkan dia, mungkin saja saya akan menyesal seumur hidup saya." Jawab Alisya cepat sembari menatap Aura yang sedang bermain dengan Adiknya yang masih bayi tersebut. "Aura memang anak yang cerdas, dia sangat pandai berbicara dan empatinya terhadap orang lain itu sangat tinggi." Ibu Aura tersenyum menatap anaknya yang tertawa dengan riuh. "Meski jarang bersama dengan ayahnya, sepertinya ayahnya mengajarkan Aura dengan sangat baik sampai dia menjadi seperti itu." Ibu Syin tampak bersedih saat mengingat suaminya kini tak bersama mereka lagi. Hari itu perasan Alisya dan teman-temannya yang lain bercampur aduk.