Beberapa menit kemudian, Randika mencabut jarum yang masih menempel.
"Bagaimana tante?" Randika tersenyum kecil. "Seharusnya penyakit tante itu sudah hilang sepenuhnya. Aku jamin dia tidak akan kembali asalkan tante terus menjaga diri."
Ibunya Christina lalu mencoba untuk berdiri dan memutar-mutar bahunya, dia benar-benar merasa ringan. Seakan-akan beban yang ada di pundaknya itu sudah diangkat, benar-benar ringan!
Rasa nyaman ini sudah lama tidak dia rasakan, senyum lebar segera menghiasi wajahnya.
"Apakah aku benar-benar sembuh?" Tanyanya sekali lagi.
Randika hanya mengangguk.
Christina juga terlihat tersenyum manis, dia sangat senang melihat ibunya itu lepas dari penyakitnya.
"Kamu memang lelaki yang luar biasa. Omong-omong kamu sudah makan belum? Tinggalah di sini dan makan bersama kita." Kata ibunya Christina dengan antusias.
Tinggal?
Randika mulai ragu, dia sudah tidak ingin mendengar rentetan pertanyaan itu lagi. Dia sudah tidak mau tertekan seperti itu lagi.
"Maaf tante, aku harus pergi karena masih ada urusan." Randika dengan cepat berdiri. Saat dia melihat jam, sekarang masih jam 11 mana mungkin orang makan siang di jam segini? Pasti ibu ini ingin menjadi mak comblang untuk anaknya itu.
"Bisa-bisanya kamu menolak kebaikan tante?" Ibunya Christina ini mengerutkan dahinya. "Sudah makan siang saja di sini. Aku akan memasakanmu masakan spesial tante, aku jamin kamu suka."
"Tintin, kamu temani Randika dulu ya. Mama mau belanja sebentar." Setelah menyukai sosok Randika ini, ibunya ini tidak akan melepasnya begitu saja. Dia dengan cepat memakai sepatunya dan hendak belanja.
Randika benar-benar sudah tidak bisa lolos!
"Aduh tante jadinya malah ngerepotin gini. Aku sebentar lagi ada urusan penting jadinya tidak bisa lama-lama. Lain kali saja, aku juga menantikan masakan tante kok."
Apa pun yang terjadi, dia harus kabur.
Melihat Randika yang berjalan menuju pintu, ibunya itu berkata pada Christina. "Setidaknya biarkan anakku ini mengantarmu pergi."
Ketika mendengar hal ini, Christina sedikit terkejut sedangkan Randika tersenyum. "Baiklah kalau begitu, aku dengan senang hati menerimanya."
Christina sedikit tersipu malu tetapi dengan cepat dia kembali normal. Buat apa dia malu? Dia hanya mengantar Randika pulang saja kan?
Keduanya ini lalu berjalan keluar dan meninggalkan ibu itu sendirian.
"Aku tidak menyangka kamu punya nama panggilan di rumah." Kata Randika sambil tertawa. "Tintin, benar-benar nama yang lucu."
"Ah! Cukup jangan memanggilku seperti itu! Itu panggilanku saat masih kecil." Christina terlihat malu ketika mendengarnya.
"Baiklah aku tidak akan mengulanginya." Randika lalu berdiri di hadapan Christina. "Kalau aku menikahimu apa aku boleh memanggilmu Tintin?"
"Kau!" Christina langsung marah ketika mendengarnya.
"Hahaha aku bercanda. Tapi serius, kamu setiap hari ditanya seperti itu sama mamamu?"
Christina memasang ekspresi tidak berdaya. "Aku mengerti kekhawatirannya jadi aku hanya bisa terdiam."
"Tenang saja, jawabannya gampang kok." Randika lalu berkedip. "Kamu tinggal menjadikanku pacarmu bukan? Dengan itu mamamu jadi tidak khawatir lagi dan aku bisa mencicipi makanannya."
"Kalau itu kamu yang mimpi." Christina memalingkan wajahnya.
"Aku rasa mamamu tadi tidak ingin melepaskanku." Randika lalu tertawa. "Aku merasa mamamu berusaha menjadikan aku menantunya dan dia juga sudah tidak sabar punya cucu."
"Kenapa? Kamu tidak mau?" Ini cuma sarkasme dari Christina, dia bukannya ingin mendengar jawaban Randika! Kalian dengar? Ini cuma sarkasme!
"Aku rasa itu tidak buruk." Kata Randika sambil berjalan. "Hidup denganmu aku kira cukup menyenangkan, selesai kita bekerja kita setiap hari akan disambut masakan enak ibumu dan kita bisa mewujudkan impian ibumu untuk mempunyai cucu dengan cepat."
"Apaan sih!" Christina berusaha menutupi muka malunya itu, dia tidak menyangka Randika akan berkata seperti itu.
��Lha kamu padahal yang nanya kenapa sekarang marah-marah? Aku cuma mengutarakan perasaanku saja, aku tahu kamu sama sekali tidak memikirkan diriku ini." Randika tertawa sambil terus berjalan.
Christina hanya terdiam selama beberapa waktu, dan setelah berjalan cukup lama dia mengatakan. "Terima kasih sudah menyembuhkan ibuku itu, penyakitnya itu sudah lama membuatnya kerepotan."
"Sebentar, cara berterima kasihmu itu salah! Kamu harus menunjukannya dengan aksi bukan dengan kata." Kata Randika sambil tersenyum.
"Aksi?" Wajah Christina dipenuhi dengan kebingungan.
Sambil melihat tatapan bingung Christina, Randika menghampirinya dan memeluk pinggangnya. "Sini kuajari."
Randika langsung merasakan kelembutan bibir milik Christina.
Untuk sejenak Christina tidak bisa berpikir apa-apa.
Setelah 5 detik, Christina mendorong Randika. Melihat senyuman nakal Randika itu, Christina merasa marah hingga dadanya menggebu-gebu. Bisa-bisanya dia dipermainkan oleh Randika lagi.
Randika mengusap bibirnya, rasanya tidak buruk. Kalau diberi nilai mungkin Christina mendapatkan angka 9.
"Itulah yang namanya balas budi yang benar." Kata Randika sambil tersenyum. "Lain kali aku akan menagihnya lagi, aku pergi dulu ya."
Melihat Randika yang melarikan diri itu, Christina menggigit bibirnya. Rasa dari bibir Randika masih membekas di bibirnya.
......…
Randika kembali menganggur, dia juga masih malas untuk pergi ke kantor. Jadi dia memutuskan untuk menghabiskan hari ini dengan berjalan-jalan.
Setelah bermain dan berjalan sekian lama, hari sudah menjadi sore. Randika bermaksud untuk pulang ke rumah, seharusnya sebentar lagi Inggrid juga dalam perjalanan pulang.
Saat kembali ke rumah, Randika segera mengambil kuncinya dan membuka pintunya. Anehnya, pintu rumahnya ini secara otomatis terbuka sendiri.
Randika langsung mengerutkan dahinya. Meskipun Ibu Ipah ada di rumah, pintu ini selalu terkunci jadi kejadian ini benar-benar mencurigakan.
Saat Randika masuk ke dalam rumah, adegan di depannya benar-benar membuat dirinya terkejut bukan main.
Di dalam ruang tamu itu, lebih dari 12 orang yang berpakaian serba hitam sedang berdiri di sana. Terlebih, Yosef berada di antara mereka!
Di bawah kaki Yosef ada Ibu Ipah yang berwajah pucat sedang terikat.
Bersamaan dengan bunyi pintu, Yosef dan anak buahnya itu langsung menatap ke arah pintu.
"Wah wah wah, preman kecil kita sudah pulang?" Yosef tertawa keras sambil berwajah bengis. "Mana sifat aroganmu yang biasanya? Ups jangan macam-macam atau kubunuh orang ini."
Randika tidak menjawab, wajahnya yang sekarang benar-benar memancarkan aura membunuh yang pekat.
Randika berjalan perlahan ke arah Yosef, tetapi tatapannya jatuh pada Ibu Ipah. Ibu Ipah mengerti arti tatapan itu dan memohon pada Randika untuk tidak berbuat macam-macam. Lalu tiba-tiba Ibu Ipah ditendang oleh Yosef.
"Kamu sendiri juga jangan macam-macam, aku tahu niatanmu dari tatapanmu itu. Orang-orang ini adalah para elit yang dilatih oleh keluarga Alfred kalau kalian macam-macam nyawa kalian akan melayang." Yosef lalu mendengus dingin dan menatap Randika. "Aku sudah menyelidiki tentangmu. Kau itu cuma penjual mie ayam dengan kata lain orang rendahan. Aku tidak tahu kenapa nona Inggrid tiba-tiba menikahimu dan aku tidak peduli alasannya. Namun hari ini riwayatmu akan tamat."
Randika masih tidak berbicara, api kemarahannya hampir mencapai puncaknya.
"Di mana Inggrid?"
Randika tiba-tiba bertanya.
"Masih peduli dengan orang lain meskipun nyawamu terancam?" Yosef mengerutkan dahinya. "Nona Inggrid sudah dibawa ke hadapan tuan mudaku."
Tatapan mata Randika menjadi tajam, kepalan tangannya sudah mengepal keras. Aura membunuhnya terfokus pada Yosef yang sedang duduk di sofa.
Jika seekor naga melihat Randika, maka naga itu akan lari ketakutan!
Merasakan aura membunuh Randika yang pekat itu, Yosef terkejut. Dia benar-benar merasa sedang melihat iblis pembunuh di hadapannya. Dia belum pernah melihat aura membunuh yang sebesar ini.
Namun, ada 12 orang lebih bawahannya yang merupakan pendekar elit di sampingnya, Yosef jelas merasa tidak takut. "Kenapa? Kau ingin membunuhku? Mari kita lihat seberapa tangguhnya kamu hari ini."
"Nak… Larilah…"
Ibu Ipah mengeluarkan sisa tenaganya untuk menyuruh Randika lari, sepertinya dia sudah dipukuli cukup parah sebelum Randika datang.
Randika menarik kembali api kemarahannya dan berjalan kembali ke arah Ibu Ipah.
"Kau tidak perlu khawatir, Ipah tidak akan mati tetapi kau akan mati." Yosef tertawa keras. Pada saat ini, para elit ini sudah waspada ketika Randika sudah berjalan mendekati Ibu Ipah. Mereka mau tidak mau menyerang Randika.
Randika sama sekali tidak bergerak, para pendekar itu sudah menerjang ke arahnya dari segala sisi.
Yosef yang melihat ini sudah tertawa bagaikan penjahat yang sudah menang, hari ini dia akan membuang mayat Randika di sungai.
Ketika para pendekar itu sudah dekat dan melayangkan pukulannya, Randika bergerak. Tangannya bergerak dengan cepat dan tidak ada orang yang bisa melihat sosoknya. Kemudian dia menghantam tenggorokan salah satu pendekar!
DUAK!
Di bawah tatapan orang-orang, pendekar itu melayang jauh dan terbenam di dalam tembok. Sudah dipastikan bahwa tinju Randika langsung menewaskannya. Dari dalam tembok muncul genangan darah.
Untuk sejenak semua orang terdiam dan menatap pendekar tersebut. Tawa liar Yosef itu berhenti dan menatap diam salah satu anak buahnya itu.
Para pendekar lainnya mulai ketakutan terhadap lawannya ini. Kekuatan dan aura yang dia tunjukan benar-benar sudah jauh di atas level mereka.
Randika, seakan-akan tidak terjadi apa-apa, hanya mengambil kembali tangannya dan berjalan kembali ke arah Ibu Ipah.
Keheningan yang mencekam!
Para pendekar elit ini herannya memberi jalan pada Randika untuk lewat, mereka tahu bahwa mereka bukan tandingannya.
Randika lalu mengambil tangan Ibu Ipah dan memeriksa denyut nadinya. Dia lalu mengeluarkan jarum akupunturnya dan menusukannya. Setidaknya dia telah memberikan pertolongan pertama.
"Di mana Inggrid?" Tanya Randika. Namun, Ibu Ipah nampak menangis, sepertinya dia telah gagal melindungi nona mudanya itu.
Pertanyaannya itu aslinya membuat hati Randika merasakan rasa sakit yang bukan main.
Inggrid dan dia awalnya hanya menjalani kawin kontrak dan Randika mengikuti pengaturannya karena tergiur oleh imbalannya. Namun, hari demi hari hidup bersama, perempuan cantik, keras kepala, independen, dan berhati lembut itu telah mengisi kekosongan hatinya.
Randika suka senyumannya, wajah marahnya, aroma tubuhnya, sikap cueknya, semuanya tentang Inggrid. Dialah kryptonite nya!
Yosef yang sudah menjauh dari Ibu Ipah itu tiba-tiba mengatakan. "Hari ini mayatmu akan mengapung di sungai, bersiap-siaplah menyambut ajalmu!"
Randika tidak menjawab, dia hanya terus mengobati Ibu Ipah.
Ibu Ipah sendiri sudah merasakan aura membunuh Randika dan dia benar-benar terkejut. Pada saat ini, Randika bagaikan singa yang tertidur. Setiap saat dia bisa mengeluarkan kekuatan serta seluruh kemampuannya dalam sekejap. Hal ini bisa-bisa membuat bumi terguncang.
"Nona sudah dibawah oleh tuan muda kelima dari keluarga Alfred bernama Henry." Kata Ibu Ipah sambil menenangkan diri. "Mereka baru saja pergi."