Hannah tidak ingin melepas mereka begitu saja sedangkan Randika mengerti maksud Hannah dan menghela napasnya.
"Masih mau melawan?" Hannah mengerutkan dahinya, bagaikan singa yang masih kecil. Wilson dan teman-temannya lebih takut dengan singa yang berdiri di belakangnya itu.
Mereka tidak punya pilihan, mereka hanya bisa menuruti permintaan Hannah. Ketika mereka mulai menari, semua orang pada tertawa. Karena seumur hidup tidak pernah menari, mereka berenam menari dengan sangat canggung dan mendapatkan nilai yang buruk. Gerakan mereka benar-benar aneh.
Semua orang tertawa dengan leluasa, sangat jarang melihat Anonim dipermalukan seperti ini. Wilson dan teman-temannya sudah ingin mati, hari ini adalah awal keruntuhan dari wibawa kelompoknya.
Hannah membentak mereka dan mengingatkan perjanjian awal mereka, kalau tidak bisa mendapatkan nilai sempurna maka mereka tidak akan bisa pulang dengan kaki yang utuh.
Melihat para berandalan itu ditertawakan oleh semua orang, Hannah merasa hukuman ini sudah cukup dan dia sendiri sudah bosan. Jadi Hannah mempersilahkan mereka pergi dan mengancam mereka agar tidak mengganggu dirinya lagi.
Kemudian Hannah, Stella dan Randika kembali bermain sebentar lalu memutuskan untuk pulang.
Ketiganya menaiki lift menuju parkiran, lift ini bergerak dengan sangat pelan.
Hari ini merupakan hari terbahagia yang pernah dia rasakan, Hannah tidak bisa berhenti tersenyum dan tertawa. Sedangkan Stella mencuri pandang pada sosok Randika.
Pria ini benar-benar tampan, jika saja dia bukan kakak iparnya Hannah, dia pasti sudah mengejarnya.
"Hmm? Stel, kenapa kamu menatap kak Randika seperti itu?" Hannah menyadari tingkah laku Stella yang aneh. "Apa kamu suka sama kakak iparku ini?"
"Tidak!" Stella dengan cepat memukul pundak Hannah, wajahnya benar-benar merah. Kenapa temannya ini tiba-tiba membahas ini?
"Santai saja, kakak iparku ini playboy dan nafsuan. Mungkin jika kamu mau, kamu bisa mendapatkan hatinya." Kata Hannah sambil tersenyum.
Wajah Stella makin merah, sedangkan Randika terlihat sedih. "Han, jadi aku di matamu seperti itu?"
"Memangnya aku salah? Jangan lupa kamu pernah melihatku dengan tatapan mesum sebelumnya."
Randika benar-benar malu, apa yang dikatakan adik iparnya ini tidak terlalu salah. Lagipula, bukannya kamu sendiri yang melompat ke aku dan menanamkan kepalaku di dadamu?
Stella melihat wajah Randika yang terlihat sedih lalu tertawa. Namun pada saat ini, lift yang mereka naiki ini tiba-tiba mati dan berhenti bergerak.
Pada saat ini, Hannah dan Stella takut setengah mati dan berteriak histeris.
"Hei, tidak usah berlebihan begitu." Randika menutup telinganya. "Bukankah ini hanya mati listrik biasa? Tidak perlu berteriak keras seperti itu."
"Aku takut gelap." Kata Hannah sambil gemetaran, alasan ini membuat Randika tertawa terbahak-bahak.
Namun, Hannah dengan cepat memeluk erat tangan Randika.
Stella sendiri ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk ikut memeluk tangan Randika, tetapi dia mengurungkan niatnya karena hal itu kurang pantas menurutnya.
"Kak, apa lift ini akan jatuh dan kita akan mati?" Hannah bertanya sambil menutup matanya. Mendengar pertanyaan itu, Stella jadi ikut takut. Dan pada saat ini, lift yang mereka naiki itu tiba-tiba bergoyang, seakan-akan akan terjun bebas.
Stella yang awalnya sungkan segera memeluk tangan Randika.
Randika menghela napas dalam-dalam, kedua tangannya sudah tidak bisa bergerak dengan bebas lagi.
"Bahkan lift ini jatuh sekalipun, kalian tidak usah khawatir."
"Kak, bisa-bisa kakak berkata seperti itu? Kak Randika ingin kita mati?" Hannah mencubit tangan Randika karena membuatnya lebih ketakutan lagi.
Randika merasa tidak berdaya, dia hanya berbasa-basi saja.
Namun, setelah merasakan kedua perempuan memeluk erat kedua tangannya, Randika mulai merasa nyaman.
Senyuman yang melambangkan sifat nakalnya itu mewakili kepribadiannya, kata-kata Hannah sebelumnya tidak salah sama sekali.
Namun, tidak butuh waktu lama untuk lift ini bekerja kembali secara normal. Ketika tangannya bisa bergerak dengan bebas, sedikit rasa penyesalan tumbuh di hati Randika.
Setelah sampai di parkiran, Stella ingin kembali ke asrama. Hannah juga sedang tidak ingin menginap di rumah Inggrid jadi dia menemani Stella kembali ke asrama mereka.
Setelah menurunkan mereka di asrama, Randika segera pulang.
Sesaatnya sampai, HP Randika tiba-tiba bunyi. Ternyata yang meneleponnya adalah Indra.
"Kenapa? Apa kamu baik-baik saja?" Suara Randika terdengar cemas.
"Kak, boneka ginsengku telah dicuri orang." Suara Indra terdengar lemas dan sedih.
Dicuri?
Randika terkejut. Apa dia tidak salah dengar? Bagaimana caranya boneka ginseng yang super lincah itu dicuri? Dia sendiri saja kesusahan menangkapnya, kenapa bisa boneka satu itu dicuri?
Ditambah lagi, boneka itu selalu bareng sama Indra dan Indra juga jarang keluar rumah kecuali mencari makan. Jadi bisa dikatakan bahwa keberadaan boneka itu cukup tersembunyi.
"Kamu tunggu aku, aku segera ke sana."
Dalam perjalanan, Randika terus berpikir dalam hati. Dia merasa ada yang aneh dengan kejadian kali ini. Boneka ginseng adalah makhluk hidup yang luar biasa, tidak mungkin ia bisa tertangkap semudah itu. Dia merasa bahwa siapapun yang menculiknya, mempunyai cara rahasia agar bisa menangkapnya. Kalau tidak, si penculik tidak akan bisa menangkapnya mengingat betapa lincah dan cepat si boneka ginseng.
Semua keanehan ini membuat Randika merasakan firasat buruk.
Dia dengan cepat menuju rumah kontrakan Indra dan langsung membuka pintunya. Namun, dia menemukan Indra tergeletak lemas di atas kasur. Matanya setengah terbuka dan terlihat akan pingsan kapan saja. Di sampingnya HP miliknya sudah hancur berantakan.
"Indra! Kamu baik-baik saja?" Randika dengan cepat menghampirinya dan memeriksa denyu nadinya. Dia tidak menemukan sesuatu yang aneh dan bernapas lega.
Randika memeriksa apa yang salah ternyata Indra telah ditembak oleh peluru bius.
Mencabut peluru tersebut, kerutan dahi Randika semakin mengerut. Sepertinya sesuai dengan dugaannya bahwa pihak penculik sudah siap dengan segala kemungkinan termasuk cara mengalahkan Indra.
"Kakak seperguruan, maafkan aku yang lemah ini." Kata Indra dengan perasaan sedih.
"Sudah tidak apa-apa, serahkan sisanya padaku." Indra lalu tertidur dengan pulas. Setelah berpikir sebentar, akhirnya Randika memutuskan untuk menelepon Deviana.
Tidak ada petunjuk yang mengarah pada identitas pelaku, jadi mencari tanpa petunjuk hanya buang waktu saja. Jadi pilihannya adalah satu yaitu meminta bantuan dari Deviana.
Dia akan meminta polisi satu itu untuk memeriksa kamera jalan ataupun kamera pengawas yang ada di sekitar rumah Indra. Mungkin dengan itu dia bisa menemukan siapa pelakunya.
"Mau apa kamu?" Kata-kata Deviana terdengar dingin. Dia masih tidak melupakan rayuan gombal Randika sebelumnya.
"Aku butuh bantuan, aku ingin kamu memeriksa kamera yang ada di dekat alamat Kalimas no 89. Aku benar-benar butuh informasi itu secepatnya."
Telepon itu hening sejenak, kemudian terdengar suara pelan. "Tunggu sebentar."
Deviana merupakan pribadi yang tegas dan menjunjung tinggi kebenaran. Tetapi pada saat-saat penting, dia tidak akan ragu menolong Randika. Bisa dikatakan bahwa hubungannya dengan Randika itu sedikit spesial. Mereka memang teman, tetapi dia rela membantunya asalkan tidak terlalu melanggar hukum.