Si penculik berbaju hitam itu mendarat dengan keras di bawah tatapan para pejalan kaki lalu berlari menjauhi mereka.
Apa yang sedang terjadi?
Apa orang itu barusan melompat dari gedung?
Para pejalan kaki itu kehabisan kata-kata, tetapi sedetik kemudian ada orang yang kembali jatuh dari atas.
DUAK!
Tanah langsung terasa bergetar, kemudian sosok orang itu dengan cepat menyusul orang berbaju hitam sebelumnya.
Mereka semua bertanya-tanya dalam hatinya, apa sekarang sedang musimnya parkour?
Seorang nenek-nenek melepas kacamatanya dan menggosoknya dengan kuat, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Seorang pemuda juga ikut menggelengkan kepalanya, sepertinya dia kurang tidur kemarin malam sampai-sampai berhalusinasi seperti ini di siang bolong.
Mimpi, ya ini semua pasti mimpi.
Di lain sisi, Randika mengejar si penculik itu dengan ketat. Namun, daerah ini adalah daerah pertokoan jadi banyak gedung dan suasananya rame sekali. Setelah berbelok sebanyak 7x, Randika kehilangan jejak.
Berdiri di tengah jalan, Randika memperhatikan semua orang yang lewat sambil mengerutkan dahinya. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan jejak dari si penculik.
Penculik itu sudah merencanakan semuanya dengan baik, sepertinya dia sudah merencanakan jalur pelariannya sejak lama. Dia memanfaatkan keramaian ini dan membaur dengan baik. Randika sama sekali tidak merasakan energi tenaga dalam yang menonjol, mustahil untuk dirinya menemukannya.
Tidak ada jalan lagi, Randika hanya bisa menyerah untuk kali ini. Tetapi, ada satu cara yang layak untuk dicoba.
Randika mengambil HP dan menelepon Safira.
Tak lama kemudian, suara lembut Safira dapat terdengar.
"Kak Randika!"
Suara Safira terdengar bahagia namun mengandung sedikit rasa marah, dia tidak pernah dihubungi oleh Randika selama ini.
"Saf, apa kamu sedang sibuk? Jika tidak, tolong bantu aku cari seseorang."
Jarang mendengar kakak tirinya ini minta tolong, Safira langsung mengiyakan. "Baiklah kak, tolong ceritakan masalahnya."
Randika lalu menceritakan semua yang telah terjadi. Setelah paham masalahnya, Safira langsung mengatakan. "Baiklah kak, aku akan meminta Arwah Garuda untuk menyelidikinya. Setelah mendapatkan hasil, aku akan mengabari."
Dalam hati Randika merasa lega, Safira benar-benar bisa diandalkan.
Keduanya berbincang-bincang sebentar lalu mengakhiri telepon mereka. Safira meninggalkan pekerjaannya saat ini dan menghubungi Elva.
Randika ingin memeriksa keadaan Indra, seharusnya efek obat biusnya sudah hilang saat ini. Ketika dia membuka pintu kamarnya, dia menemukan Indra duduk dengan ekspresi sedih. Randika menghiburnya dan berjanji akan membawa kembali boneka ginseng itu dalam beberapa hari.
Setelah menghibur Indra beberapa saat, Randika lalu pulang dan menuju rumahnya.
Di rumah, Randika duduk di sofa seorang diri dan berusaha memahami kejadian ini. Sesampainya dia kembali dari Jepang, seseorang tiba-tiba menyerang dan menculik boneka ginseng. Sudah pasti kejadian ini telah direncanakan jauh-jauh hari, tetapi masalahnya siapa yang melakukannya?
Kerutan di dahi Randika makin mengerut, dia sama sekali tidak kepikiran siapa pelakunya. Jika lawannya semacam mafia atau preman biasa, maka boneka ginseng itu tidak mungkin tertangkap. Masalahnya lawannya kali ini tahu cara rahasia untuk menangkap boneka ginseng itu yang bahkan kakeknya tidak tahu.
Setelah berpikir keras beberapa saat, Randika menggeleng-gelengkan kepalanya. Buang-buang energi berpikir keras seperti ini. Dia hanya bisa berharap pada Arwah Garuda yang merupakan organisasi rahasia milik Indonesia yang kemampuan intelijensinya setara dengan miliknya. Seharusnya tidak ada masalah tetapi yang paling penting adalah kapan informasinya datang.
Pada saat ini, tiba-tiba pintu rumahnya terbuka. Randika menoleh dan melihat Inggrid telah pulang.
Membuang jauh-jauh pikirannya yang menjemukan itu, dia berdiri dan menyambut istrinya dengan senyuman. "Akhirnya kamu pulang sayang."
Inggrid datang membawa banyak tas belanja, ketika dia melihat Randika, dia membalas senyumannya. "Aku hari ini bawa banyak bahan masakan, aku akan masak untukmu nanti."
"Wah, aku belum pernah dimasakan oleh istri tercintaku selama ini." Randika tersenyum dan memeluknya dari belakang. "Sayang, hari ini Hannah tidur di asramanya."
Sesudahnya mendengar hal ini, wajah Inggrid menjadi merah. Ingatannya mengenai hadiah unik dari Randika itu kembali menghantui dirinya, benar-benar hadiah yang memalukan.
"Apa kamu sudah tidak sabar?" Randika tertawa sambil memainkan tangannya di dada Inggrid.
"Kamu saja yang tidak sabar!" Inggrid dengan lembut keluar dari pelukan Randika dan memeleti lidahnya sambil berjalan ke dapur.
Randika, sambil tersenyum, mengikuti Inggrid ke dapur.
"Jangan dekat-dekat! Aku tidak ingin makan malam kita hancur." Inggrid mengayun-ayunkan spatula miliknya sambil mencemberutkan wajahnya.
Randika tersenyum ketika melihat tingkah laku lucu istrinya itu, kenapa istrinya terlihat imut ketika pura-pura marah begini?
"Aku tidak masalah kalau tidak makan." Randika mengedipkan matanya. "Bukankah kamu adalah hidangan utamaku?"
Randika tersenyum sedangkan wajah Inggrid sudah merah padam. Kenapa suaminya ini selalu genit?
Inggrid memutuskan untuk mencueki Randika dan mulai mempersiapkan bahan makanannya.
"Di mana Ibu Ipah?" Randika bertanya. "Apa dia sedang pergi?"
"Ibu Ipah ijin tidak masuk hari ini." Kata Inggrid sambil memotong bawang putih.
"Berarti hari ini kita cuma berdua?" Mendengar hal ini, Randika dengan cepat menghampiri Inggrid.
Namun, sebelum Randika dapat memeluknya, Inggrid sudah membalikan badan dan memberinya sekeranjang sayuran.
"Tolong cuciin."
Karena tidak bisa meraba dada istrinya, sebaiknya dia pemanasan dengan meraba-raba sayuran itu.
Suasana hati Randika sedang bagus. Ketika dia bersama dengan Inggrid, dia merasa beban hidupnya terangkat dan dia benar-benar menikmati momen berdua mereka.
Setelah memotong sayuran yang dicuci Randika, Inggrid mulai memasak. Namun, Inggrid menoleh dan berkata dengan nada sedikit tinggi. "Bisakah kamu keluar sebentar dan tunggu di sofa?"
Randika terlihat bingung, memangnya dia tidak boleh melihat istrinya masak?
"Sudah keluar dulu sana." Inggrid mulai main fisik, dia mendorong Randika keluar dari dapur.
Baiklah, aku akan menunggumu di luar!
Randika duduk dan menonton TV sambil memperhatikan Inggrid memasak. Akhirnya setelah 1 jam penuh, Inggrid keluar sambil membawa makanannya keluar.
"Tolong ambilkan piring sama gelasnya ya." Kata Inggrid pada Randika sambil membawa masakannya ke meja makan.
"Coba cicipi." Inggrid menatap Randika sambil tersenyum. Randika menatap makanan yang ada di hadapannya, dia benar-benar merasa pusing. Benda hitam apa itu? Bukankah sayuran yang dia cuci tadi berwarna cerah?
Dan daging iga itu, kenapa bentuknya sudah seperti arang?
Randika mulai ragu-ragu mengambil makanannya, dia tiba-tiba mengutuk Ibu Ipah dalam hatinya.
Namun, melihat tatapan mata Inggrid yang berbinar-binar itu, Randika mengambil piring, mengambilnya dan memakannya.
Dalam sekejap, rasa manis yang luar biasa langsung menyerang dari dalam mulutnya. Hal ini membuat Randika menggigit bibir bagian dalamnya.
Manis sekali!
Rasa manis ini hampir membuatnya muntah. Ketika Randika ingin membuang makanan yang dia sudah kunyah, Inggrid tiba-tiba berkata dengan nada gugup. "Bagaimana? Apakah enak?"
Enak?
Randika mencubit pahanya dengan keras dan berusaha tersenyum meskipun bibirnya berdarah. "Enak, enak sekali! Memang masakan istri itu benar-benar spesial."
Mendengar pujian ini, hati Inggrid menjadi gembira.
"Syukurlah, aku kira kamu tidak suka masakanku. Meskipun baru pertama kali memasak, sepertinya aku memang punya bakat memasak." Kata Inggrid sambil tersipu malu.
Apa?
Memasak untuk yang pertama kalinya?
....
Randika benar-benar kehabisan kata-kata. Dia syok ketika mendengar ini adalah pertama kalinya Inggrid memasak. Dia sepertinya menggunakan momen Ibu Ipah tidak ada untuk memasak demi dirinya.
Akhirnya misteri kenapa dia tidak boleh di dapur telah terpecahkan, sepertinya Inggrid takut dikritik.
Setelah Randika memasak menelan tumisan sayur yang super manis itu, dia merasa mulutnya sudah mati rasa jadi dia ingin meminum segelas air. Melihat sup yang ada di depannya itu cukup bening, dia meminumnya seteguk.
Setelah terminum seteguk, Randika hampir muntah di tempat. Kenapa sup ini masih ada rasa daging mentahnya? Apa Inggrid tidak merebus sup ini hingga mendidih?
"Kenapa? Tidak enak?" Inggrid benar-benar gugup, bagaimanapun juga, dia ingin masakannya dipuji oleh orang yang dicintainya.
"Enak, enak, cuma agak panas saja." Randika dengan cepat menunjukan senyumannya. Melihat wajah Inggrid yang tersenyum, hati Randika benar-benar mengepal. Siksaan ini lebih berat daripada siksaan pasukannya di Jepang.
Setelah meletakan mangkuk supnya, Randika memperhatikan makanan lain yang ada di meja makan. Hatinya sudah bergetar tanpa henti. Masakan gosong seperti ini sudah seperti racun yang siap membunuhnya.
Tetapi, ini adalah masakan istrinya yang dibuatnya dengan sepenuh hati, mana mungkin dia menyia-nyiakannya?
Hati Randika benar-benar bimbang dan dia sudah diambang ingin menangis. Melihat Randika yang terdiam, dia mengambil iga arangnya itu dan meletaknnya di piring Randika. "Ayo makanlah sebelum dingin."
Randika melihat bongkahan arang yang di piringnya itu. Ketika dia menatap Inggrid yang tersenyum, Randika hanya bisa menelan air ludahnya. Kemudian dengan gagah berani dia mengangkat daging itu dan menggigitnya.
Dengan mata yang tertutup, Randika mengunyah daging yang alot itu sekuat tenaga. Setelah beberapa detik, dia menelan daging tersebut.
"Wah enak sekali." Kata Randika sambil tersenyum pahit. "Tapi aku tidak tega membiarkan kamu yang sudah capek bekerja itu memasak untukku. Lain kali biar aku saja yang memasak untukmu."
Seluruh tubuh Randika sudah mengeluarkan keringat dingin, setiap kunyahannya serasa seperti sabetan dewa kematian. Hasil seperti ini tentu tidak mengejutkan, karena Inggrid berasal dari keluarga kaya jadi seumur hidupnya dia tidak pernah memasak. Ketika dia pindah ke kota Cendrawasih pun, dia lebih berfokus ke perusahannya dan lagipula ada Ibu Ipah yang mengurus dirinya.
Meskipun Randika sama-sama tidak bisa memasak, setidaknya rasa masakannya masih di antara hambar atau keasinan. Sedangkan masakan Inggrid ini benar-benar acak dan mengerikan.
Melihat Randika yang memakan masakannya, hati Inggrid benar-benar senang. Impiannya memasak untuk suaminya akhirnya telah terwujud.
Akhirnya semua makanan telah habis, Randika akhirnya bisa bernapas lega. Untungnya dia memiliki tenaga dalamnya, kalau tidak dia sudah lama muntah di meja makan. Untungnya saja, Inggrid tidak ikut makan jadi Randika bisa menjaga senyuman istrinya itu hingga detik terakhir.