Melihat kejadian ini Randika benar-benar marah, para preman itu benar-benar tidak tahu diri. Jika yang diincarnya itu perempuan biasa mungkin masih oke, tetapi perempuan itu masih kecil. Menurut perkiraannya, perempuan itu tidak lebih dari umur 15 tahun. Bagaimana dirinya bisa tahu? Coba lihat dadanya. Papan cuci saja tidak sedater itu! Sangat jelas bahwa dia masih belum mengalami masa puber.
Randika tidak rela melepaskan masalah ini, para preman itu benar-benar tidak tahu diri.
Yah olahraga sedikit sebelum berhubungan badan seharusnya tidak masalah bukan?
Akhirnya Randika dan Viona berjalan menghampiri perempuan remaja itu.
Di sisi lain, para preman itu menatap perempuan tersebut dengan tatapan mesum. Namun, perempuan itu sama sekali tidak panik dan terlihat tenang sepanjang waktu.
Pakaian yang dipakainya juga cukup terbuka dengan rambut sepundak dan poni rambut yang diturunkan. Wajahnya yang terlihat dingin dan mata hitamnya yang besar itu sangat mencolok bagaikan sebuah boneka.
"Kenapa kamu jalan sendirian di malam hari seperti ini? Apa mamamu tidak pernah memperingati kamu betapa bahayanya jalan sendirian?" Seorang dari antara mereka tertawa.
Namun, mangsa seperti ini benar-benar jarang mereka temui. Meskipun ekspresinya dingin, tidak ada yang bisa mengalahkan tubuh seorang perempuan muda.
"Sini dik jangan khawatir, kita akan memberikanmu pengalaman indah yang tidak terlupakan." Para preman itu tertawa semua.
Bahkan salah satu dari mereka memegang pinggang perempuan itu tetapi dia langsung menampleknya.
"Aduh ngapain malu?"
"Kamu tidak usah khawatir, kakak-kakak ini tidak ada yang jahat kok." Para preman ini masih berusaha membujuknya untuk ikut bersama mereka. Lagipula, mereka sudah mengepung perempuan ini.
Akhirnya remaja perempuan ini angkat bicara. "Cepat enyah dari hadapanku."
"Wow, santai dik. Sepertinya kamu tidak mengerti situasimu ini." Para preman ini tertawa kembali.
"Aku beri 5 detik untuk pergi dari sini atau aku akan menghajar kalian semua." Kata perempuan itu.
"Hahaha, adik kecil ini ternyata bisa bercanda." Para preman ini hanya bisa tertawa ketika mendengar ancaman tersebut. Perempuan yang tidak lebih dari 15 tahun ini akan menghajar mereka semua? Ini bagaikan seekor semut menantang gerombolan gajah, hasil pertarungannya sudah jelas bahkan sebelum dimulai.
Pada saat ini, Randika dan Viona sudah dekat.
"Berhenti!" Randika menghampiri mereka secara perlahan.
Para preman itu menoleh ke belakang dan melihat Randika, mereka sama sekali tidak peduli.
"Hei, bukankah perempuan di sampingnya itu cantik?"
"Kak, bagaimana kalau malam ini kita pesta dengan 2 perempuan ini?"
"Masuk akal!"
"Hei cewek, bagaimana kalau kamu tinggal saja pacar jelekmu itu? Aku jamin kita bisa memberikanmu waktu yang menyenangkan setiap hari."
Semua preman itu tertawa, sedangkan Randika sudah naik pitam. Mereka berani menggoda ceweknya? Nyari mati ya?
Remaja perempuan itu menatap tajam pada Randika, sama seperti tatapannya pada para preman itu tetapi bedanya cuma lebih sedikit tidak tajam.
"Oh begitu?" Randika mengendus dingin dan mengepalkan kedua tangannya. "Aku tidak keberatan meladeni kalian semua sekaligus."
Bersamaan dengan itu, Randika menerjang maju sambil bersiap menyerang. Dalam satu detik, tinjunya berhasil mengenai wajah seseorang.
Suara hidung retak dapat terdengar dengan jelas dan hal ini menandakan awal dimulainya pembantaian. Tanpa susah payah, Randika menghajar mereka satu per satu bagaikan samsak tinju.
DUAK!
Satu tinjunya berhasil mendarat kembali di lawannya. Satu per satu dari preman itu melayang dan membentur tanah dengan keras. Dalam sekejap, semua preman itu sudah terkapar tidak sadarkan diri.
Randika merasa sedikit puas ketika menghajar para preman ini.
Namun pada saat ini, remaja perempuan itu menghampiri Randika dan berkata padanya. "Jangan ikut campur urusanku."
Apa?
Randika terkejut, apa dia salah dengar? Dia barusan saja menyelamatkan perempuan itu tetapi dia menyuruh dirinya untuk tidak ikut campur dengan urusannya?
Randika menatap perempuan itu sambil mengerutkan dahinya. "Coba ulangi lagi."
"Jangan ikut campur urusanku." Wajah perempuan itu terlihat serius. "Aku tidak butuh bantuanmu."
Nyelekit!
Ini pertama kalinya Randika bertemu dengan orang seperti ini. Dia sudah baik hati menolong orang lain tetapi dia justru dimarahi karena ikut campur.
Ketika Randika ingin memakinya, dia teringat kembali bahwa lawan bicaranya ini adalah remaja, seorang bocah!
Randika menggertakan giginya dan berusaha menenangkan dirinya.
"Minggir!" Perempuan itu berusaha berjalan melewati Randika sambil mengerutkan dahinya, sepertinya dia tidak senang dengan Randika.
"….." Randika benar-benar berusaha menahan amarahnya.
"Apa kau tuli? Minggir!" Kata perempuan itu sekali lagi.
Randika sudah mengangkat tinjunya tetapi dia menurunkannya kembali ketika melihat wajah remaja satu ini. Memukul perempuan sebenarnya bukanlah gayanya.
"Dengar tidak? Aku bilang minggir!" Bentak perempuan itu dengan wajah dinginnya.
"!!!" Randika sudah memaki-makinya di dalam hati.
Akhirnya, Randika minggir dan membuka jalan. Dia lalu menggandeng Viona dan pergi dari sana, dia sudah muak dengan perempuan kecil itu.
Melihat sosok Randika yang menghilang, remaja perempuan itu juga pergi dari tempat itu.
"Ran, sudahlah tidak usah emosi begitu. Dia cuma anak kecil." Viona berusaha menghibur Randika yang sedikit meremas tangannya itu. Tetapi, dia sendiri ingin tertawa ketika Randika kewalahan menghadapi perempuan tadi. Dia tidak menyangka Randika yang kuat dan gagah itu tidak berdaya di hadapan perempuan remaja.
Randika menatap Viona tanpa berkata apa pun, sepertinya Viona menganggap kejadian yang tadi lucu.
"Ah!" Viona tiba-tiba teriak ketika pantatnya diremas oleh Randika.
"Vi, aku benar-benar marah sekarang. Kamu harus membantuku untuk memadamkan api di dalam hatiku ini." Kata Randika sambil tersenyum dan mencium Viona.
Wajah Viona kembali merah karena serangan mendadak ini. Melihat Viona yang tersipu malu, Randika tertawa.
"Vi, hari sudah terlalu malam, bagaimana kalau kita kembali ke rumahmu langsung." Kata Randika di telinga Viona. Viona hanya mengangguk dan hatinya sudah siap untuk apa pun yang akan terjadi.
Mereka memanggil taksi dan segera menuju ke rumahnya Viona.
Di dalam taksi, tangan kedua orang ini tidak terpisahkan yang membuat iri si supir taksi ini.
Setelah membayar taksi, mereka segera masuk dan langsung menuju kamar tidur Viona.
Si supir taksi hanya bisa memandang keduanya dengan iri dari dalam taksinya dan berharap bisa menemukan perempuan secantik itu di hidupnya yang menyedihkan ini.
Mereka sengaja tidak menyalakan semua lampu untuk menghindari orang-orang merusak momen mereka seperti sebelumnya. Terakhir kali, Christina menggedor-gedor pintu rumah Viona dan merusak momen sempurna itu.
Dengan keadaan remang-remang seperti ini, suasana di rumah Viona terasa misterius.
Randika, yang berjalan di belakang Viona ketika menaiki tangga, makin tidak tahan setelah melihat pantat Viona yang berada di depannya.
Sesampainya di atas, Randika langsung mendorong Viona ke tembok dan menciumnya.