Lama Ludius menyuapi Silvia di temani canda tawa serta ledekan yang terasa hangat hingga memenuhi satu ruangan berhasil membuat Silvia menghabiskan makanannya. Namun ketika Ludius mengingat perkataan Linzy bahwa pada trimester kedua dan ketiga menjadi penentu dari nasib dari Silvia dan janinnya membuatnya sedikit gemetar. Ia takut akan kehilangan jika istrinya mengetahui hal ini.
Setelah selesai menyuapi Silvia, Ludius menaruh kembali mangkuk di atas meja. "Istirahatlah kembali Sayang".
Silvia menggelengkan kepala. "Aku bosan di kamar Ludius, mengapa kau memperlakukan ku seperti pasien?".
"Lalu kamu ingin apa sayang? ".
"Kita ke taman depan yuk.. Siang menjelang sore begini biasanya udaranya sejuk". Ajak Silvia
"Baiklah.. Kita akan ketaman sekarang".
Demi memanjakan istrinya, Ludius mengangkat Silvia dari kasur dan menggendongnya ala bridal keluar dari kamar dan menuruni tangga menyusuri beberapa ruangan.
Silvia mengalungkan kedua tangannya di leher Silvia, dengan mata jahilnya terus memandang ketampanan suaminya.
"Sayang, berhenti memandangku seperti itu, atau aku tidak bisa menahannya nanti". Tegur Ludius yang memergoki istrinya terus melihat wajahnya jahil.
"Habisnya kamu terlalu tampan suamiku.. ".
Tiba di taman depan, Ludius mendudukkan Silvia di sebuah bangku yang memanjang. Di sebuah taman yang cukup luas dan letaknya berada tidak jauh dari Mansion Ludius duduk di samping Silvia melihat pemandangan yang cukup asri di tengah hiruk pikuknya Kota Shanghai.
"Ludius.. " panggil Silvia dengan suara parau, matanya masih memandang jauh kedepan tanpa melihat ke arah suaminya.
"Ada apa Sayang? ". Ludius memalingkan wajahnya melihat pipi yang sedikit tirus milik istrinya,
"Tidak ada, hanya teringat sesuatu saat kita sedang berdua seperti ini. Hanya ada kita berdua bersama hamparan taman yang luas. Indah bukan.. ". Silvia perlahan menyandarkan kepalanya di pundak suaminya.
"Jika kamu menyukai hal seperti ini, maka kita akan melakukannya setiap hari. Menatap senja di sore hari ditemani hamparan bunga, tidak buruk juga.. ". balas Ludius, tangan kanannya membelai kepala Silvia yang bersandar di pundaknya. Sesekali Ludius mencium kening istrinya, namun ia merasa seperti ada yang aneh dengan istrinya. Istrinya yang selalu banyak bicara mengapa sekarang lebih memilih diam?!.
"Apakah kamu tahu Ludius, kadang aku berfikir mengapa kita bisa diTakdirkan untuk bersama? Apa tujuan Tuhan mempertemukan kita? Dan mengapa hanya kamu yang mampu membuatku jatuh cinta berulang kali?. Disitu hati terus bertanya tanpa tuan…". Perkataan Silvia terhenti, seperti ada sepenggal kata yang tak ingin dia ucapkan.
Perkataan Silvia yang dalam kadang membuat Ludius tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan istrinya. Kata demi kata yang Silvia rangkai bagai sebuah bait teka teki yang tidak bisa dipecahkan.
"Kata demi kata yang kau ucapkan bagai teka teki Sayang, aku bahkan belum mampu menjabarkan nya. Bagiku, entah itu Takdir atau bukan.. Asal aku bisa bersamamu itu sudah cukup".
"Pfft… haha... Ludius, pemikiranmu mudah sekali. Jika saja aku bisa berfikir semudah itu, mungkin aku tidak akan setakut ini". Ujar Silvia terkekeh menahan tawa,
"Apa yang lucu dengan itu Sayang? Bagiku kau adalah segalanya. Meski Takdir berkata TIDAK, maka aku akan mengubahnya menjadi IYA".
"Jangan berkata seperti itu Ludius, bagaimana jika ada wanita cantik yang mempesona? Kau pasti akan langsung jatuh cinta padanya dan melupakanku!! ".
"Mana mungkin aku bisa jatuh cinta pada wanita lain sedangkan hatiku sudah kau rebut semua, bahkan tidak kamu sisakan sedikitpun untuk orang lain. Maka dari itu aku takkan memperbolehkan mu meninggalkanku".
"Suamiku, kira-kira baby kita nanti perempuan atau laki-laki? Dan apakah dia akan menuruni sifat nakalmu? ". Tanya Silvia dengan antusias,
Mendengar hal itu Ludius sejenak terdiam, bagaimana dia mau menjelaskan bahwa jika memasuki trimester kedua dan ketiga akan ada kemungkinan janin tak akan bisa bertahan?. 'Aku bahkan tak sanggup mengatakannya padamu Sayang. Aku tak sanggup melihatmu bersedih jika mengetahui hal ini'. Batin Ludius,
"Mengapa kamu diam Ludius? Apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku? ". Tanya Silvia kembali. Kini ia merubah posisinya dan memalingkan wajahnya ke arah Ludius, menatap ke dalam retina matanya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku Ludius? " kali ini Silvia bertanya dengan serius,
"Sayang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua baik-baik saja". Jawaban Ludius tidak sesuai dengan harapan Silvia. Terlihat dari sorot matanya sedikit hal yang Ludius sembunyikan.
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu mengatakannya. Tapi aku pasti akan mengetahuinya cepat atau lambat".
"Sayang.. Jangan terlalu keras kepala, semua baik-baik saja. Apakah kau tidak percaya pada suamimu? ". Kini giliran Ludius yang menekan Silvia, berharap istrinya tidak mempertanyakan hal yang sama kembali,
"Aku percaya padamu, hanya saja aku tidak suka di bohongi",
"Besok kita akan ke Rumah Sakit untuk USG. Semoga baby kita sehat dan bisa terlihat jenis kelaminnya".
Silvia yang mendengar beranjak dari duduknya, ia memandang lekat-lekat suaminya dengan senyuman. "Benarkah.. Kau janji akan mengantarku kesana dan melihat bersama-sama? ".
"Tentu saja Sayang, aku akan menemanimu ke rumah sakit untuk USG, dan melihat perkembangan buah hati kita. Jadi jangan bersedih hati lagi Istriku yang manja.. ". Ludius membelai kepala Silvia, lalu menariknya agar duduk diatas pangkuannya.
Tangan mereka saling menautkan satu sama lain dan menyentuh perut Silvia yang masih datar. "Kuatkan hatimu Sayang, tersenyumlah.. Setidaknya untuk buah hati kita agar dia merasa nyaman dan dapat tumbuh dengan sehat".
"Terima kasih suamiku.. Kamu selalu bersabar dengan istrimu yang banyak maunya ini, mungkin aku memang terlalu manja dan tertekan hingga membuatmu kepayahan. Padahal kamu sedang sibuk dengan pekerjaan kantor yang menumpuk".
"Apa yang kau bicarakan Sayang, uang, kedudukan, pangkat, kekuasaan semuanya tidak ada yang penting jika dibandingkan denganmu istri manjaku.. ". Ludius mencubit hidung Silvia
"Augh.. Sakit tahu.. ". Protes Silvia. Seketika tawa lepas dari Silvia menggema di sekitar taman.
'Jika saja aku bisa menukar kebahagiaan dan hidupmu dengan segala Kekuasaan yang kupunya maka aku bersedia melepas segalanya. Bagiku tidak ada yang lebih penting selain dirimu istriku.. '.
Siang ini adalah hari terindah bagi Ludius dan Silvia, bagi mereka memiliki waktu berdua dengan saling mencintai adalah hal yang paling berharga. Karena kehidupan yang mereka lewati bagai cermin yang buram, hari esok mungkin saja salah satu dari mereka akan tiada. Karena inilah kehidupan Mafia begitu kelam dan kotor, yang ada hanya ada saling merebut dan melukai.