'Perasaan aku sudah memakai baju berkerah tinggi dan memakai pita di bagian leher untuk menutupinya. Bagaimana Azell masih bisa melihat bekasnya? Ya Tuhan, Ludius.. kau tidak kira-kira dalam meninggalkan jejakmu ini. Bahkan Azell saja bisa melihatnya!.' Silvia langsung melirik tajam pada Ludius lalu pergi dengan perasaan malu luar biasa,
Mendapat lirikan tajam istrinya, Ludius hanya bisa terkekeh menahan tawa. Ia menutup mulutnya dengan jari telunjuk didepan Azell "Hussth.. Azell, lain kali jangan tanya hal itu pada Bunda ya! Bundamu orangnya pemalu dan bisa jadi Papamu ini akan kena amukan Bundamu nanti." Bisik Ludius sedikit keras pada Azell yang masih menikmati makanannya.
"Ehm.. Jadi benar, itu ulah Papa." Azell mengangguk-anggukan kepalanya. " Ish, Papa nih kalau nakal tidak kira-kira. Bahkan sampai buat merah-merah leher Bunda. Iya, lain kali Azell tidak akan mengatakan itu didepan Bunda." Sambungnya dengan meneruskan makannya.
Disisi lain, Silvia yang sedang berdiri didepan cermin kamar langsung memperhatikan bagian lehernya, pasalnya pas ia selesai mandi tidak sempat bercermin hanya memakai pita di leher untuk menutupinya dan langsung turun dari lantai atas. Ia tidak menyangka, banyak bekas merah yang tertinggal disana. Seketika amarah Silvia meluap seperti keluar asap dari kedua telinganya.
"Ludius! Keterlaluan sekali kamu! Bahkan tidak memberikan sela sedikitpun di leherku. Kalau seperti ini bagaimana aku bisa keluar dari rumah tanpa kelihatan bekas nakalmu!." Gerutu Silvia.
Ia mengambil bedak natural dan menutupinya sesamar mungkin, apalagi ada Azell yang jelas masih harus menghindari pertanyaan tentang hal ini atau semancanya.
"Ok, sekarang sudah mendingan. Aku harus keluar untuk mengantar Azell kesekolah." Silvia memakai kembali pita lehernya dan keluar, kembali ke ruang makan untuk bergabung sarapan bersama yang lain.
"Azell, sarapannya sudah selesai belum?" tanya Silvia yang baru saja datang. Ia langsung duduk di meja makan samping Azell dan ikut sarapan bersama.
"Sebentar lagi Bunda, habis ini Azell mau lihat buku pelajaran dulu meski semua pelajarannya sudah di luar kepal, tapi Azell tidak ingin mengabaikan nasihat Bunda dengan Papa." ujar Azell
"Pintar, terima kasih Azell mau mendengarkan nasihat Bunda. Bunda tahu pasti susah bagi Azell menyesuaikan diri dengan anak-anak lain." Silvia membelai lembut kepala Azell dengan senyuman layaknya seorang Ibu.
"Iya Bunda, ini juga demi Azell sendiri agar tidak menjadi incaran orang yang tidak bertanggung jawab. Terima kasih Bunda. Azell sudah selesai sarapannya. Azell mau ke kamar dulu." sebelum pergi, Azell terlebih dulu mencium pipi Silvia dengan senyum khas anak-anak lalu beranjak dari duduknya dan berlari keluar dari ruang makan.
Silvia menyentuh wajahnya dengan menatap kepergian Azell, ia melihat Ludius yang sedang sarapan dengan tatapan sendu.
Merasa di perhatikan, Ludius mengangkat wajahnya dan memandang istrinya. "Sayang, akhirnya kesabaranmu membuahkan hasil. Perlahan Azell mau menerimamu sebagai Ibunya. Maafkan aku Sayang, yang tidak bisa mendidik Azell dengan baik."
"Apa yang kamu katakan suamiku. Azell saat ini tumbuh menjadi anak yang lebih baik semua itu berkat dirimu. Kita hanya bisa berusaha untuk mengarahkan putra kita ke jalan yang benar. Masalah dia bisa atau tidaknya itu tergantung dari kemauannya. Ayo selesaikan sarapannya, aku ingin mengantar kalian ke Kantor dan sekolah Azell." Silvia meneruskan sarapannya sambil menunggu Azell.
Waktu telah menunjukkan pukul 08.00 pagi, Azell yang sudah siap dengan sekolahnya dan Ludius yang sudah tampan dengan setelah jas single beastred hitam sudah berada di pelataran Mansion.
"Sayang, kamu yakin mau ikut ke kantor?." Tanya Ludius yang sudah memegang kontak mobil.
"Iya, soalnya di rumah juga malas tidak ada kerjaan. Ayo Azell, kita masuk." Silvia menggandeng tangan Azell memasuki mobil sport ferrary luxury.
Ludius sendiri duduk didepan mengemudikan mobilnya membawa mereka menuju sekolat elit kanak-kanak.
Butuh waktu sekitar 20 menit menuju sekolah elit taman kanak-kanak, meski disana di sediakan asrama untuk anak didik mereka. Ludius sementara waktu lebih memilih Azell tinggal disisi mereka. Selain untuk mengolah karakter Azell yang terlalu acuh pada orang sekitar, alasan lain adalah kejeniusan Azell yang sementara harus di sembunyikan dari khalayak umum.
Yang ditakutkan Ludius bukan bagaimana cara Azell bersosialisasi, tapi lebih kepada menghindari orang-orang yang berniat tidak baik jika mengetahui tentang kejeniusan Azell.
Setibanya dipelataran gedung besar sekolah telit kanak-kanak, Ludius menghentikan laju mobil dan mematikan mesinnya.ia keluar dari dalam mobil dan membukakan pintunya. "Ayo Azell keluar."
Azell keluar dari dalam disusul Silvia. Sementara itu Silvia berjongkok di depan Azell dan memperhatikannya untuk memberikan sedikit nasihat. "Azell, jika nanti ada yang mengatakan macam-macam, Bunda harap Azell tidak emosi dan tetap menjaga ketenangan. Azell bisa berjanji pada Bunda?." Tanya Silvia, ia beranjak dari dan berdiri dengan mengacungkan jari kelingkingnya.
"Uhm.. Azell akan berusaha untuk tetap tenang dan menjadi anak yang baik demi Bunda dan Papa." Jawab Azell juga mengcungkan jari kelingkingnya dan menautkannya.
"Pintar, sana masuk Sayang. Coba cium tangan Bunda sama Papa dulu."
"Cium tangan bagaimana Bunda?." Tanya Azell bingung.
Maklum saja, tradisi cium tangan memang jarang ada di negara China, dengan sabarnya Silvia mengjari Azell bagaimana cara berpamitan yang sopan untuk menghargai orang yang lebih tua.
Azell mengulurkan tangannya dan mencium tangan Silvia. Dengan bijaksana Silvia menerima ciuman takdim putranya sambil mengelus kepala dan punggung Azell.
"Azell berangkat sekolah dulu Bunda,"
Silvia mengangguk dan menunjuk Ludius untuk Azell berpamitan dengan Papanya juga.
"Pa, Azell berangkat sekolah dulu." ucap Azell sambil mencium tangan Ludius.
"Belajarlah yang rajin." Ujar Ludius sambil menepuk-nepuk pundak Azell dan memperhatikan kepergiannya masuk kedalam sekolah.
Setelahnya Ludius mendekap Silvia dari samping dan mengecup keningnya. "Terima kasih telah mengajari kebaikan pada Azell. Jika tidak ada kamu, mungkin Azell tidak akan seperti sekarang ini."
"Ini adalah tugas kita sebagai orang tua. Entah aku atau Shashuang pasti mengharapkan yang terbaik untuk putranya. Aku harap dimasa mendatang Azell akan menjadi pria yang lebih baik darimu." Ucap Silvia sambil mellirik Ludius.
"Jadi maksudmu aku tidak baik begitu sebagai seorang pria?." Tanya Ludius usil dengan tangannya mencubit lembut area pinggang istrinya.
"Augh.. maaf-maaf, aku salah. Iya, Ludius adalah pria sekaligus suami terbaik. Apa kamu puas suamiku?."
"Coba katakan sekali lagi, tadi sepertinya kau mengatakannya kurang keras. Aku tidak mendengarnya dengan baik." Ledek Ludius dengan menempelkan telinganya didekat bibir Silvia.
"Bohong dosa loh yah.. sudahlah, kenyang aku makan modusmu suamiku. Yuk pergi ke kantor." Ajak Silvia menghindari rayuan suaminya yang entah kapan selesainya.