"Silahkan duduk dulu Nak, Bibi akan kebelakang dulu untuk membuat minuman. Nak Wangchu ingin minum apa?" tanya Ibu Yuliana
"Apa saja Bi, saya semua minuman suka." Jawab Wangchu dengan senyuman.
"Oh baiklah," Ibu Yuliana langsung menoleh kearah Nadia. "Nadia.. kamu temani Nak Wangchu sebentar yah, nanti baru ke lantai atas untuk istirahat." Panggil Ibu Yuliana pada Nadia yang sudah ada di penghujung tangga.
Langkah Nadia terhenti dan berbalik. Tanpa mengatakan iya atau tidak, Nadia hanya menganggukkan kepalanya dan menghampiri Wangchu yang sedang duduk sendiri di ruang tamu.
"Kau yakin mau menemaniku duduk disini? Setahuku Putri tidur sedang dalam keadaan malas, apalagi bertemu denganku."
"Diamlah! Kalau bukan karena Bibi Yuliana yang memintaku, aku juga MALAS menemanimu disini." Wajah marah dan jutek Nadia benar-benar tidak enak di lihat, membuat Wangchu ingin sekali memberinya sedikit pelajaran.
"Kalau kau membenciku katakan saja dengan jujur, tidak perlu menampakkan wajah jutekmu seperti itu. Bagaimana kalau Bibi Yuliana melihatnya? Dia pasti akan mengira kau tidak betah untuk tinggal disini barang sebentar."
Nadia yang berdiri tepat berdiri didepan Wangchu, memandangnya serius "Aku baru tahu kalau Tuan Wangchu itu pandai bersilat lidah!. Sudahlah, urus saja urusanmu sendiri. Aku tidak butuh perhatian darimu Tuan Wangchu."
"Kau memang wanita yang sulit di jinakkan!." Sedikit jengkel dengan perangaian Nadia yang keras kepala justru membuat Wangchu semakin tertantang.
Karena saat itu tidak ada orang di sekitar mereka, Wangchu langsung menarik lengan Nadia dan menjatuhkan tubuh Nadia tepat diatas pangkuannya.
"Hei Wangchu, brengsek kau ! Apa yang sedang kamu lakukan!." Nadia berbicara kasar dengan sedikit melirihkan suaranya.
Nadia mencoba memberontak dengan tangan kanannya yang mencoba memukul Wangchu, namun dengan sigap Wangchu mencekal tangan kanan Nadia.
"Tidak bisakah kau lebih lembut sedikit, Putri Nadia?." Tanya Wangchu dengan usilnya.
"Brengsek! Lepaskan tanganku, Wangchu. Biarkan aku pergi, atau semua orang yang ada disini melihatnya!." Nadia terus mencoba untuk bisa lepas dari Wangchu, tangan kirinya langsung memukul-mukul dada Wangchu dengan terus mencoba lepas dari cekalan Wangchu.
"Memangnya kenapa kalau ada yang melihatnya? Bukankah sudah ku bilang, hanya aku yang berhak menjadi calon suamimu, Putri Nadia Hadiningrat. Aku akan buktikan bahwa Takdirmu bukanlah di tangan mereka, tapi di tanganmu sendiri."
"..." Nadia terdiam, ia tidak bisa menampik perkataan Wangchu dan hanya bisa mengalihkan pandangannya.
'Ini sudah nasibku Wangchu, kau takkan mengerti akan hal ini. Lalu, apa salahnya menikah karena perjodohan, nyatanya para leluhur keluarga baik-baik saja dan saat ini mereka memiliki banyak anak. Cinta pasti juga akan tumbuh dengan seiringnya waktu. Benarkan Ibu?.' Batin Nadia membela diri. Namun semua yang ada di dalam pikirannya, tidak ada satupun yang tersampaikan pada Wangchu.
Melihat raut kesedihan dan tidak pastian Nadia membuat sudut perasaan Wangchu ikut merasakan terluka. 'Aku tidak tahu apa yang membuatmu bersikap seperti itu, tapi izinkan aku untuk mengerti tentangmu dan membahagiakanmu Nadia.'
Wangchu langsung menarik pinggang Nadia hingga membuat jarak mereka semakin dekat. Nadia yang tersentak kaget justru tidak sengaja melihat sorot mata Wangchu yang menyiratkan sebuah ketegasan.
"Lihat baik-baik mataku Nadia, apa kau melihat adanya kebohongan disana? Jika karena masa lalu kau takut jatuh cinta, maka biarkan aku menghapusnya dan menggantinya dengan kenangan yang indah. Aku menginginkanmu itu bukanlah lelucon belaka, karena ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta, dan itu padamu.."
"Cukup! Jangan mengatakan apapun lagi, tidak ada hal yang baik jika kau terus melanjutkan perkataanmu Wangchu!." Sentak Nadia dengan meninggikan suara,
Dan tiba-tiba dari arah pintu masuk, seorang pria dengan tinggi standar orang Indonesia datang dan berdiri di samping mereka. "Apa yang sedang kau lakukan Putri Nadia Hadiningrat?!." Tegur sang pria tegas,
Nadia langsung membelalakkan matanya dan melihat perlahan kearah suara dengan tubuh gemetar.. "Mahendra.." ucap Nadia lirih, dengan cepat ia memaksa Wangchu melepasnya.
Terlihat raut kebencian bercampur takut yang terpancar di wajah Nadia, membuat Wangchu semakin mengeratkan dekapannya.
"Siapa Mahendra?." Tanya Wangchu tidak kalah lirihnya.
"Dia adalah pria yang di jodohkan Ayahanda denganku. Tapi satu tahun lalu aku mengetahui fakta bahwa dia sering mempermainkan wanita dan banyak dari mereka berakhir tidak baik, dan setiap dia menatapku, tatapannya terlihat beringas. Mengerikan." Kata Nadia dengan bergidik. Setelah mengatakan kenyataannya, ia menatap tajam Wangchu dan memaksa Wangchu melepas tangannya yang melingkar di pinggangnya.
"Oh, jadi dia pria yang di calonkan denganmu." Ujar Wangchu sambil memperhatikan kearah pria yang baru saja datang.
"Kau kini sudah tahu, sekarang bisa biarkan aku pergi. Jika Mas Cakra melihat ini, dia pasti akan membencimu lebih dari yang kau bayangkan!."
"Lepaskan Putri Nadia!, siapa kau, tidak sopan dengan berani berbuat tidak senonoh pada Putri dari Bangsawan Hadiningrat!."
Wangchu tidak lantas menjawab gertakan Mahendra, ia terlebih dahulu menurunkan Nadia dari pangkuannya. "Jangan mengatakan apapun, tetaplah disini." Ujar Wangchu.
"Hei, Wangchu.. aku harap kamu tidak membuat masalah! Kita sedang di rumah orang tahu."
"Hsst... berisik, diamlah! Aku akan membereskannya!."
Wangchu beranjak dari duduknya, dengan tenang ia berjalan menghampiri pria yang tengah mengarahkan amarah kepadanya. "Selamat malam Tuan. Perkenalkan, saya Wangchu utusan dari Tuan Ludius untuk menjemput beliau Bibi Yuliana. Jika ada perlihal yang ingin dikatakan, kita bisa bicarakan baik-baik." Ucap Wangchu yang sudah berada di depan Mahendra.
Sikap Wangchu kali ini berbeda 360 derajat dari Wangchu yang biasanya terlihat. Kali ini dia begitu tenang, bahkan Nadia kaget melihat bagaimana Wangchu menghadapi Mahendra dengan sangat halus dan cukup bijaksana.
"Oh, jadi kau utusan dari Tuan Lu untuk menjemput Bibi Yuliana. Jika kau hanya seorang utusan, mengapa kau begitu lancang pada Putri Nadia? Dia bukanlah wanita biasa yang bisa kau sentuh seenaknya."
"Maaf saja Tuan yang terhormat, pada bagian mana saya memperlakukan Putri Nadia dengan tidak terhormat? Jika Tuan ingin mencari kesalahan orang lain, maka anda memilih orang yang salah."
"Memangnya aku bodoh hah! Kau seenaknya saja memangku seorang Putri dari trah bangsawan. Memang kau pikir kau siapa?."
"Anda tanya saya siapa?. Baik.. saja adalah Wangchu, kekasih dari Nona Nadia Felisia Hadiningrat. Apa perkataan saya masih kurang jelas?"
"Kau!." Ucap Mahendra dengan menunjuk Wangchu. "Lancang sekali mengatakan diri sebagai kekasih Putri Nadia!. Dia adalah calon istriku, bahkan Pangeran sendiri yang menjodohkan kami."
"Baiklah, itu memang kenyataan untuk saat ini. Tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kalau begitu nikmati kesempatan anda. Dan permisi.." Wangchu langsung berlalu dari hadapan Mahendra.
Wangchu berbalik arah dan ingin keluar dari Kediaman Ibu Yuliana, namun Ibu Yuliana keburu datang dengan membawa nampan berisi beberapa minuman dan camilan untuk tamunya.
"Nak Wangchu, Tunggu. Kamu mau kemana, Nak?." Tanya Ibu Yuliana memanggil Wangchu.
"Saya mau kembali untuk sementara waktu Bi, ini sudah malam. Tapi izinkan saya untuk menyampaikan beberapa kata sebelum pergi." Akhirnya Wangchu kembali duduk disofa melihat Ibu Yuliana menyajikan minumannya.
"Bibi Yuliana, selamat malam. Saya datang kemari untuk melihat Nadia, karena saya dengar dia kembali untuk beberapa hari." Ucap Mahendra menyela,
"Oh, Nak Mahendra yah.. mari silahkan masuk, kebetulan ada Nak Wangchu juga disini." Ujar Ibu Yuliana mempersilahkan Mahendra duduk.
"Kami baru saja saling bercakap sebentar Bi, dan ingin mengucapkan terimakasih karena sudah menjaga Putri Nadia sampai ke Indonesia dengan selamat." Ucap Mahendra, ia duduk di sofa samping Wangchu.
Mulut Mahendra yang begitu manis membuat Nadia yang sejak tadi diam berdechis. "Cih! Dasar pria bermulut manis!."
"Tuan Mahendra tidak perlu sungkan, Putri Nadia juga bagian dari keluarga Lu, bahkan Silvia sudah menganggapnya adik sendiri."
Mereka yang terlihat akrab di depan Ibu Yuliana, membuat wanita paruh baya tersebut terlihat lebih tenang, setidaknya itu tidak berdampak pada hubungan semua keluarga.