Pria berperawakan tinggi tegap itu langsung tersenyum kearah Wangchu dan berdiri menyambut kedatangannya. "Tuan Wangchu, kita bertemu lagi."
"Benar. Senang bisa bertemu dengan anda lagi Pangeran Cakra Hadiningrat. Apakah Pangeran datang menemui Bibi Yuliana untuk menjemput Putri Nadia?." Tanya Wangchu basa basi.
Ini memang pertemuan kedua mereka setelah Wangchu berada di Indonesia cukup lama untuk mengurus masalah Paman Brahmantya yang bekerja sama dengan Organisasi Black Emperor dalam penjualan senjata illegal.
"Ayo nak duduk dan gabung dengan yang lain." Ucap Ibu Yuliana sambil mengangguk pada Wangchu.
Wangchu akhirnya duduk di sofa yang masih kosong, yaitu di samping Pangean Cakra. Di ruang tamu terlihat ada 3 orang dewasa yang tidak Wangchu kenal, dan dua pria seumuran dengannya, yaitu Pangeran Cakra dan Mahendra.
'Untuk apa Mahendra datang ke kediaman Ibu Yuliana sepagi ini?. Jika itu Pangeran Chakra mungkin karena akan bertemu Nadia yang baru pulang. Tapi kalau Mahendra, memang dia ada alasan apa datang ke kediaman Ibu Yuliana?.' Batin Wangchu yang cukup penasaran dengan apa yang sedang terjadi dengan kedatangan para penatua dan mahendra.
"Pangeran Chakra, sebenarnya apa yang sedang terjadi sekarang ini? Mengapa para panatua datang ke kediaman Bibi Yuliana sepagi ini?." Bisik Wangchu pada Pangeran Chakra.
Lucu memang, seorang Wangchu bermain bisik membisik dengan seorang dari trah darah biru yang sangat di junjung tinggi derajatnya. Tapi kebetulan, sejak pertama kali betemu, mereka cukup akarab dan nyambung sekali pembicaraannya. Benar-benar seperti saudara.
"Maaf aku lupa memberitahumu, sebenarnya para panatua datang pagi ini ke kediaman Ibu Yuliana adalah proses lamaran resmi dari Mahendra. Dan alasan lamarannya berada di kediaman Ibu Yuliana karena sebenarnya untuk menghargai Ibu Yuliana yang sudah merawat Nadia dulu. yang sebelah kiri, itu adalah Ayahku. Romo Sultan Hadiningrat ke 12." Kata Pangeran Chakra memberi tahu.
'Ayah mertua? Eh salah.. calon ayah mertua?. Pantas auranya berbeda dari orang tua yang ada di sampingnya. Hufft.. mengapa ada acara lamaran di saat-saat seperti ini?! Bagaimana aku mengatakan keadaan anak dan menantunya yang ada di China saat ini?. Dan bisakah aku mengatakan kalau aku adalah kekasih Nadia di depan semua orang? Ini benar-benar hal yang tidak bisa di prediksi. Sekali lg, mengapa harus di saat seperti ini?.' Batin Wangchu berteriak.
"Pangeran Chakra, apakah anda pernah mendengar isi hati dari Nadia?." Tanya Wangchu, tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
"Maksudmu apa Wangchu?." Tanya balik Pangeran Chakra dengan mengerutkan keningnya.
"Maksudnya, apakah Pangeran Chakra pernah mengetahui apa yang ada dalam hati Nadia? Apa yang di inginkan dari seorang Putri Nadia?." Perkataan Wangchu syarat akan makna yang mendalam, ia bahkan mengatakan itu dengan wajah yang datar tanpa ekspresi apapun.
"Kami dari keluarga bangsawan, tidak pernah di izinkan untuk menentukan nasib hidup kami sendiri. Termasuk Nadia. Lagi pula bukankah cinta bisa di pupuk seiring berjalannya waktu?." Jawab Pangeran Chakra sambil memandang ke arah Nadia yang baru saja keluar dari dalam dengan membawa nampan dengan beberapa gelas diatasnya.
"Pemikiran yang kolot seperti ini tidakkah ingin di rubah suatu saat nanti? Kebahagian tidak akan di dapat dari sebuah keterpaksaan. Lagi pula wanita bukan alat untuk memproduksi anak belaka. Mereka juga memiliki impian dan harapan. Lalu untuk apa wanita berpendidikan tinggi kalau pada akhirnya hanya tunduk berada di bawah kaki seorang pria?. Pemikiran seperti ini menurutku tidak relevan dan terkesan kolot." Ucap Wangchu dengan tegas dan lugas, namun masih menggunakan intonasi yang lirih, mengingat itu di depan penatua.
"Perkataan anda terlalu sensitif Tuan Wangchu, wanita dalam keluarga Bangsawan tidak hanya menjadi alat memproduksi anak belaka. Mereka memiliki peran penting dalam menstabilkan keadaan." Balas Pangeran Chakra dengan tidak kalah tegasnya menampik pemikiran Wangchu. Sepertinya Wangchu berbicara terlalu terbuka dan membuat Pangeran Chakra tersinggung.
"Jangan salah paham pada perkataan saya Pangeran Chakra. Yang saya maksudkan disini jika pasangan Nadia tidak becuh dalam berbagai hal, tidakkah sama saja akan membuat Nadia berada di situasi demikian? Pelajari calon adik ipar anda dengan sebaik mungkin Pangeran Chakra, jangan sampai karena calonnya sama-sama dari kaum Bangsawan justru mengantarkan Putri Nadia ke dalam jurang yang terjal. Aku sebagai sahabat yang melihat bagaimana Putri tertawa dan tersenyum lepas di luar sana tidak ingin sampai hal itu terjadi." Wanchu mencoba memberi pengarahan pada Pangeran Chakra untuk menyelidiki bagaimana dengan kelakuan Mahendra di luar sana.
Wangchu dengan tatapan teduh melihat ke arah Nadia yang saat ini ada di depan matanya sedang menyajikan minuman. Raut wajah Nadia begitu datar, seakan ia sedang menyembunyikan emosinnya saat ini.
"Apa lagi maksudmu Tuan Wangchu? Apa anda sedang memberitahuku kalau Mahendra bukanlah orang yang baik?" tanya Pangeran Chakra yang masih tidak mengerti dengan jalan pemikiran Wangchu.
Di lihat dari manapun, arah perkataan Wangchu mengarah ke cemburu. Tapi apa maksudnya dengan mengatakan hal itu? Tidakkah itu semakin membuat Wangchu terlihat sedang memperburuk dirinya sendiri di hadapan Pangeran Chakra?
"Aku tidak akan mengatakan apapun lagi, aku hanya ingin anda tahu Pangeran, bahwa memutuskan hal tanpa memikirkan orang yang anda beri putusan, itu akan berakhir tidak baik. Anda secara tidak langsung memaksa Putri Nadia untuk melangkah perlahan mendekati jurang. Cegahlah sebelum itu terjadi," sambung Wangchu, ia tidak bisa mengatakan lebih dari ini, karena ia tidak ingin di anggap merusak acara sakral dengan sepatah katanya yang tanpa bukti.
Ibu Yuliana yang melihat ketegangan diantara Wangchu dan Pangeran Chakra langsung mendekat ke arah para tamu. "Silahkan Nak Mahendra, di cicipi jajanan buatan Nak Nadia," ucap Ibu Yuliana ramah.
Romo Sultan Hadiningrat melihat Putri nya menyuguhkan makanan langsung memanggilnya. "Nadia Putriku, kamu sini nak.." panggil sang Romo.
Nadia yang merasa terpanggil langsung melangkah kearah Ayahnya. "Iya Romo, ada apa Romo memanggi saya?." Tanya Nadia dengan menundukkan kepalanya.
Wangchu yang melihat Nadia begitu segan pada Ayahnya sendiri membuatnya menjadi semakin bertekad untuk membebaskan Nadia dari belenggu takdir yang mengikat.
'Terlihat Nadia saja yang menjadi putrinya begitu segan pada Ayahnya, bagaimana ia bisa melepas belenggu adat yang begitu mengikat dan mendarah daging?. Hal seperti ini, sepertinya aku memang harus ekstra keras dan lebih memperhatikan setiap detilnya. Aku harus siap ditentang semua penatua dan Ayahnya Nadia. Tapi demi kebebasan hatimu, aku tak masalah Nadia..' batin Wangchu.
"Bagaimana pendapatmu mengenai Nak Mahendra, Nadia?." Tanya sang Romo dengan bijak di depan tamu lain.