Sudut mata Silvia tiba-tiba basah, sepertinya alam bawah sadar Silvia mendengar apa yang Ludius ucapkan. Tangannya mulai merespon dengan menggerakkan jarinya, kelopak matanya yang basah perlahan terbuka dengan sudut wajah melihat ke arah Ludius yang masih tertunduk.
"Suamiku, mengapa kamu terlihat putus asa seperti ini? Ada apa denganmu, mana ambisi dari Ludius Lu yang Silvia kenal?." Silvia berkata dengan suara lirih dan serak.
Ludius langsung mengangkat wajahnya begitu mendengar suara wanita yang sangat ia cintai. Dengan senyum merekah ia langsung mengecup kening Silvia kembali. "Sayang, akhirnya kamu sadar juga. Bagaimana, bagian mana yang sakit, Sayang?." Tanya Ludius serius sambil melihat ke bagian perut dan mengelusnya perlahan.
"Apakah perutmu masih sering sakit, Sayang? Bagaimana dengan resep obat yang di berikan oleh Linzy padamu? Kamu masih rutin meminumnya, bukan?." Tanya Ludius selidik, ia tahu istrinya sangat tidak suka dengan berbagai obat atau vitamin yang di berikan.
Silvia hanya nyengir, melebarkan senyumnya tanpa bersuara. Tertebak sudah kalau Silvia tidak meminum rutin obat tersebut jika Ludius tidak mengawasinya ketika meminum obat dan vitaminnya. "Kamu lupa meminumnya, atau sengaja tidak meminumnya Sayang?." Tegur Ludius,
Ludius mensentil kening Silvia. " Dasar istri keras kepala." Ujar Ludius.
"Augh.. sakit suamiku." Keluh Silvia dengan mengusap-usap keningnya sambil mensungutkan bibirnya yang ranum.
"Habisnya kamu keras kepala, makanya kalau suami bilang minum obatnya, ya di minum. Apa perlu aku cium terlebih dahulu baru kamu meminum vitaminya, Sayang?." Ludius mulai meledek istrinya yang sedang ngambek padanya.
Spechless...
Sesaat Silvia hanya bisa mengalihkan pandangannya malu mendengar perkataan suaminya yang secara terang-terangan meledeknya dngan kata ciuman. 'Dasar tidak tahu malu! Bisa-bisanya membuat alasan memberi hukuman dengan ciuman.' Batin Silvia, tapi bagaimanapun, sudut hatinya berbunga-bunga, setidaknya suaminya masih bersikap seperti biasanya.
"Salah sendiri kamu pergi nggak bilang-bilang, kamu anggap aku apa?, jahat..!." Silvia langsung berbalik membelakangi Ludius.
Diam-diam Silvia masih memegang perutnya dan bersikap seolah baik-baik saja. Rasa sakitnya justru semakin bertambah, perutnya bagai disayat-sayat ketika rasa itu menyerang. 'Mengapa rasa sakit ini semakin hari semakin sering saja? Apakah ini efek dari kejadian waktu itu? Aku harus diam, aku tidak ingin membuat Ludius merasa khawatir.' Batin Silvia.
"Maafkan aku Sayang, aku janji lain kali kalau pergi pasti akan memberi tahumu terlebih dahulu." Ludius membelai surai rambut Silvia dengan tangan kiri menyelusup masuk untuk mengusap perut Silvia, tapi sepertinya di lihat dari tangan istrinya yang terus memegangi perutnya, sepertinya Silvia sedang menahan rasa sakit yang belakangan ini sering muncul.
"Sayang, katakan. Apa kamu sedang menahan sakit saat ini?." Ludius mengusap kening Silvia yang basah penuh dengan peluh keringat yang mengucur deras.
"Ugh.." rintih Silvia, rupanya sakit itu tidak bisa ia sembunyikan dari suaminya. Ini terlalu menyakitkan bagi Silvia. Meski begitu, ia tidak bisa menyerah begitu saja terhadap janin yang ada dalam kandungannya.
Mendengar Silvia merintih kesakitan, Ludius langsung membalikkan posisi tidur Silvia menjadi terlentang. "Sayang, jika sakit mengapa kamu diam saja?." Ludius mengusap kembali perut Silvia.
"Aku baik-baik saja Ludius, ini hanya sakit yang biasa aku rasakan. Sebentar lagi sakitnya juga hilang." Silvia tersenyum tipis di depan suaminya, memberitahu bahwa keadaannya baik-baik saja.
"Sayang, jangan menganggap remeh sakitmu. Maafkan aku.."
"Jangan meminta maaf. Anggap saja ini cobaan dari Tuhan untuk mengeratkan hubungan kita." Jawab Silvia dengan santai di tengah rasa sakitnya.
"Bibi Yun, mengapa Dokternya belum sampai juga?." Gumam Ludius, ia tidak bisa melihat istrinya menahan rasa sakit yang di sebabkan karenanya.
Tidak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari arah depan pintu masuk kamar. "Permisi Tuan, Saya sudah membawa Dokter Linzy untuk memeriksa kondisi Nyonya Silvia." Seru Bibi Yun yang masih ada di depan pintu.
"Bawa dia masuk Bi!." Perintah Ludius.
"Siapa yang datang, Suamiku?." Tanya Silvia, ia mengerutkan keningnya menahan sakit yang semakin menjadi-jadi.
"Kamu tahan sebentar ya Sayang, Bibi Yun membawa Linzy kemari untuk memeriksa kondisi rahimmu."
"Uhm." Jawab Silvia dengan menganggukkan kepalanya.
Bibi Yun masuk bersama Linzy yang sudah memakai jas putih dengan tas yang berisi peralatan medis. "Permisi Tuan dan Nyonya, saya sudah membawa Dokter Linzy untuk memeriksa." Kata Bibi Yun,
"Terima kasih Bi, kau kembali dan bawakan bubur kemari untuk Nyonya."
"Baik Tuan," Bibi Yun langsung berbalik arah dan kembali ke dapur untuk membuatkan bubur.
Sedangkan Linzy menaruh tasnya di meja dan mengambil beberapa perlatan medis untuk mengecek keadaan Silvia. "Apa rasa sakitnya kembali kambuh akhir-akhir ini Silvia?." Tanya Linzy langsung tanpa basa basi. "Tuan Lu, bisa minggir sebentar. Aku akan memeriksa istrimu." Kata Linzy dengan sikap yang profesional.
Dengan memegang dadanya, Ludius beranjak dari duduknya. Dia sendiri nyatanya memang sedang terluka cukup parah di bagian beberapa tulang yang perlu di beri perawatan intensif. Linzy yang melihat gelagat Ludius di tambah ada kain putih yang membalut tubuhnya. Sudah pasti Ludius juga dalam keadaan baik-baik saja.
"Kau juga sedang dalam keadaan terluka, Tuan Lu! Sepertinya ada tulang yang retak di beberapa bagian. Kau juga harus melakukan perawatan." Tegur Linzy.
"Aku memang tidak bisa menutupinya dari penglihatan yang tajam dari orang sepertimu. Aku memang terbentur beberapa kali di saat pertempuran itu terjadi. Untung saja malam itu aku di tolong oleh seseorang dan memberikanku ramuan yang aku tidak tahu apa itu, hingga aku bisa beranjak dari berbaring lebih cepat dari perkiraan. Kau boleh melihat lukaku, tapi sebelum itu periksa dulu kondisi Silvia."
"Tentu." Linzy langsung berdiri disamping Silvia dengan Sfigmomanometer di tangannya untuk mengecek tekanan darah Silvia.
"Silvia, bagaimana rasa sakitnya akhir-akhir ini? Apakah semakin sering dari pada biasanya?." Tanya Linzy sembari memeriksa kondisi Silvia.
"Benar, akhir-akhir ini rasa sakit ini datang lebih sering dari biasanya. Katakan! Apakah luka ini akan berpengaruh pada janinku di masa mendatang? Meski aku tidak tahu mengenai dunia kedokteran, tapi jika yang terluka adalah jaringan yang ada dalam rahim, sepertinya akan berpengaruh. Benar tidak?." Kata Silvia menebak, ia berbicara lirih agar Ludius tidak mendengarnya.
"Tidak juga, ini tergantung perkembangan di trimester kedua dan ketiga. Kamu tidak boleh pesimis seperti ini, karena hal ini akan berpengaruh pada kedua janin yang ada dalam kandunganmu." Ucapan Linzy mungkin ada benarnya juga, tapi masalahnya ada pada rahim yang terluka dan hampir rusak karena peluru kaliber tinggi adalah hal yang bisa di katakan mustahil, kecuali jika menggunakan alat khusus untuk penyembuhan